Jakarta, Gesuri.id - 27 Juli menjadi semakin kerdil, lewat begitu saja dan seakan tak bermakna. Yang rutin memperingatinya hanya FKK 124 korban anekdot Polri. Yah, saya serius, itu sebuah pertunjukan besar yang amat lucu dan belum ada yang menjadikannya disertasi.
Padahal bahannya sangat bagus. Orang berdiam dalam rumahnya di Jalan Diponogoro 58, diserang dengan batu dan senjata sampai banyak yang meninggal. Setelah penghuni tak berdaya, mereka pun diangkut lalu ditahan dan selanjutnya diadili dan diputuskan bersalah.
Lucu kan? Kalau anda menganggap itu tidak lucu, maka maaf, anda sebaiknya konsultasi dengan dokter jiwa. Kelompok yang bertahan di Diponogoro 58 itulah yang mengorganisir diri menjadi FKK 124 yang kini diketuai Raya Tampubolon. Dan merekalah yang setia memperingati 27 Juli, sekalipun hanya dengan tabur bunga, lalu minum wedang jahe di pinggir jalan. Ribka Ciptaning adalah satu-satunya anggota DPR RI yang setia menemani mereka karena dia memang anggota FKK 124.
Ribka Ciptaning saat ditangkap dan diinterogasi, harus membawa bayinya yang masih menyusu. Karenanya 27 Juli menjadi identik dengan FKK 124 itu. Padahal itu bukan hari mereka saja. Sebab sesungguhnya eksponen 27 Juli terdiri atas berbagai komponen daerah yang mendukung Megawati Soekarnoputri. Komponen yang lebih besar menyatu dalam MARI ( Majelis RAKYAT Indonesia) yang dipimpin Prof. Dr. Muchtar Pakpahan.
Peristiwa 27 Juli sering pula hanya dikaitkan dengan PDI Perjuangan, padahal 27 Juli adalah hari besar, yang berarti membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Hari besar walaupun kini dikerdilkan, namun memicu gerakan sehingga yang berpuncak di Mei 98 dan akhirnya menurunkan Presiden Soeharto dari tahta yang dipertahankannya selama 32 tahun.