Dialog Budaya Indonesia - Iran

Oleh: Prof. Dr. Hamka Haq, MA, Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia.
Minggu, 05 September 2021 07:30 WIB Jurnalis - Elva Nurrul Prastiwi

Jakarta, Gesuri.id - Pada tahun 2014, penulis dalam satu delegasi diundang ke Iran menghadiri Konferensi Internasioanl tentang Perdamaian dan Takfiri, di kota Suci Qom Iran. Juga sempat berkunjung ke Universitas Internasional Al-Mushtafa, dan berdialog dengan pimpinannya. Pada satu sesi Konferensi tersebut, penulis mengemukakan bahwa Indonesia dengan beragam agama dan etnisnya dapat hidup damai dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika berdasarkan ideologi Negara Pancasila.

Pengalaman singkat selama empat hari di Republik Islam Iran, sebagai Negara berpenduduk mayoritas Muslim Syiah, menambah pemahaman tentang budaya Iran dan madzhab Syiah yang moderat. Banyak pemahaman tentang Syiah yang beredar sebelumnya ternyata berbeda bahkan bertolak belakang dengan fakta yang disaksikan dan didengar langsung dari referensi asli tentang Syiah itu sendiri.

Jika selama ini beredar pemahaman bahwa kitab suci Syiah berbeda dengan kitab suci Al-Quran kaum Sunni, ternyata itu tidak benar atau hoaks menurut istilah sekarang. Konkretnya, kitab suci Al-Quran, hadiah dari Universitas Al-Mushtofa, dan mushhaf Al-Quran yang sudah kami beli sebelumnya di Qom, semuanya tidak berbeda dengan mushhaf yang kita miliki di Indonesia.

Juga mengenai status Khalifah Abu Bakr RA, Umar RA dan Utsman RA, ternyata mereka tetap hormati sebagai Khalifah, walaupun tetap meyakini Khalifah Ali RA sebagai yang paling mulia dari yang lainnya. Dengan alasan itu, mereka menerima mushhaf Al-Quran Utsmani sebagai hasil jerih payah tiga khalifah tersebut sebelum Khalifah Ali RA. Tanpa dipungkiri bahwa memang terdapat aliran Syiah Ghulat, Syiah yang kebablasan, yang secara ekstrim menolak tiga khalifah sebelum Sayidina Ali RA itu.

Begitupun tata cara sholatnya juga persis sama dengan kita; kalau ada yang berbeda mungkin hanya soal turbah, yakni lempengan tipis tanah liat yang diletakkan sebagai sandaran dahi saat bersujud. Lempengan tanah liat ini sudah menjadi karya seni yang dijual di setiap tokoh perlengkapan sholat setempat. Tetapi yang sangat filosofis kami temukan saat bersholat Jumat di Masjid Azam Qom itu, yaitu tempat Imam sengaja dibuat lebih rendah dari lantai sekitar 20 Cm. Sementara lazimnya di tanah air, tradisi kita kaum Sunni, justru sebaliknya tempat Imam ditinggikan seperti panggung. Bagi kaum Syiah, hal tersebut merupakan simbol bahwa pemimpin haruslah merendah, sebagai pelayan umat, bukan sebagai sosok yang harus diagungkan di atas singgasana.

Baca juga :