Jakarta, Gesuri.id - Nusantara dikenal dengan rekam jejak budaya maritim yang begitu kuat. Pada abad ke-7 Masehi, Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim yang menjadi icon penguasaan samudera raya. Kerajaan Sriwijaya pun tercatat sebagai kekuatan maritim yang mampu melakukan kendali atas perdagangan dunia melalui Selat Malaka. Sementara itu, relief di Borobudur pada abad ke-8 juga menampilkan bukti otentik tentang model kapal nusantara dengan daya jelajah yang tinggi yakni hingga ke Madagaskar, Afrika.
Pentingnya eksistensi kerajaan Nusantara terhadap penguasaan laut juga ditunjukkan pada abad ke-13, ketika Kertanegara melakukan ekspedisi Pamalayu. Ekspedisi yang dipimpin oleh Mahisa Anabrang bertujuan untuk menegaskan batas teritorial laut Kerajaan Singosari atas ancaman nyata Kekaisaran Mongolia dari utara. Pada puncak kejayaan Majapahit, pengaruh kekuatan maritim membentang jauh hingga ke Asia Tenggara. Pahang atau Semenanjung Melayu yang kini bernama Malaysia dan Tumasik yang kini bernama Singapura. Saat itu menjadi bagian dari komitmen penguasaan wilayah kerajaan Majapahit yang ditekadkan oleh Mahapatih Gajah Mada melalui Sumpah Palapa.
Dengan memasukkan Pahang dan Tumasik, kerajaan-kerajaan besar saat itu membuktikan bahwa betapa kesadaraan geopolitik dengan menempatkan pentingnya penguasaan koridor strategis perdagangan dunia saat itu telah tumbuh dan menjadi driving force sekaligus motif di dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Kesemuanya dilakukan dalam cara pandang geopolitik, bagaimana penguasaan laut ditempatkan sebagai imajinasi pengaruh dalam penguasaan perdagangan dunia, namun pada saat bersamaan, laut juga menjadi benteng pertahanan terdepan sebagaimana dilakukan oleh Kertanegara. Selain itu penguasaan laut juga menjadi visi bagi arah masa depan.
Pentingnya laut juga disadari oleh para pendiri bangsa, khususnya Bung Karno. Laut tidak hanya menyatukan wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Melalui laut itulah slogan Jalesveva Jayamahe dipatrikan dan menjadi doktrin Angkatan Laut Republik Indonesia. Kenyataan menyedihkan terjadi ketika suatu hari dalam perjalanan melalui kapal laut dari Jawa ke Kalimantan, Bung Karno melihat bagaimana setelah batas 12 mil laut, kapal Indonesia tersebut harus menyatakan dirinya masuk ke dalam perairan internasional. Atas dasar realitas itu, Bung Karno memerintahkan Perdana Menteri Djuanda untuk mengeluarkan suatu deklarasi yang menegaskan bahwa laut menyatukan keseluruhan pulau-pulau Indonesia.
Dengan Deklarasi Djuanda tersebut maka semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau termasuk daratan negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian dari wilayah negara Republik Indonesia. Laut dengan demikian tidak hanya menyatukan ribuan pulau tetapi menjadi batas kedaulatan negara Republik Indonesia. Deklarasi Djuanda terbukti efektif karena dukungan legitimasi kepemimpinan Indonesia yang dinilai berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955. Tanpa KAA, Deklarasi Djuanda belum tentu mendapatkan dukungan, terutama dari negara-negara yang tergabung dalam KAA.