Jakarta, Gesuri.id - Menjadi Jawa jadi obrolan paling hangat di minggu minggu ini, karena ucapan Anies yang menyatakan dirinya sebagai Jawa Tulen dan asli dari Yogya. Tak ada yang salah dalam ucapan Anies, karena dalam pandangan konsep, Jawa bukanlah sebuah kesukuan yang kaku. Jawa adalah hal yang cair dan punya watak aslinya sinkretis, jadi siapapun bisa menjadi Jawa.
Rudi Hartono pebulu tangkis lebih dianggap orang Jawa ketimbang keturunan Cina, Liem Swie King yang wajahnya mirip Jacky Chan lebih diingat sebagai orang Jawa dari Kudus, Raden Saleh pelukis dianggap orang Jawa dari Semarang ketimbang keturunan Arab Yaman, di dunia kebangsawanan Mataram ada RM Setjodiningrat yang keturunan Cina tapi dianggap punya keningratan tinggi sampai keturunannya yang sekarang menggunakan nama belakang Setjodiningrat penuh dengan kebanggaan. Ahok-pun lama lama bisa dianggap Jawa karena punya isteri orang Jawa dan sudah belajar serius untuk menjadi orang Jawa.
Jawa juga menjadi perspektif penguasa melihat kekuasaan. Bung Karno tidak pernah memakai pakaian busana Jawa setelah ia tamat di HBS. Ia lebih memilih berpakaian gaya Eropa jas dan pantalon, tapi sejak awal ia dengan jenius memilih pakaian Eropa dengan watak dasar rakyat jelata. Bung Karno menggunakan jas sederhana tidak seperti pelajar pelajar Indonesia yang aristokratis ke Belanda Belandaan dan bersekolah di Leiden. Di Jalan Pangkur pada 1923 Bung Karno mencoba coba Peci sebagai tutup kepala dan ia terinspirasi ini dengan penjual sate yang suka menggunakan peci. Ia menjadikan dirinya intelektual berwatak kerakyatan di awal kebangkitan dirinya sebagai penggerak pembebasan nasional.
Di masa selanjutnya secara pakaian ia semakin revolusioner dengan kemeja bermodel safari militer dengan kantong kantong besar sampai pada puncak kekuasaannya 1958, Bung Karno dengan cerdik menggunakan baju yang mudah diingat oleh banyak orang, baju yang menjadi simbol ingatan bawah sadar : Indonesia Bangsa Yang Besar, Pemimpin Besar Revolusi dengan pakaian yang diliat sebagai Penantang ombak menggulung dan penuh dengan pertarungan pertarungan politik tingkat Internasional. Bung Karno tidak pernah mau menggunakan pakaian Jawa dalam upacara upacara tradisional sekalipun. Ia luruh dalam satu anggapan KeIndonesiaan tapi ia sangat menyukai pakaian perempuan berkebaya, bahkan pakaian perempuan kebaya adalah identitas nasional yang sampai sekarang terus hidup dalam sistem formal kekuasaan di Indonesia.