Jakarta, Gesuri.id - Kemenangan pasangan Pramono dan Rano Karno dalam pemilihan gubernur Jakarta baru-baru ini menjadi tonggak penting bagi demokrasi Indonesia.
Berkaca pada iklim politik Indonesia pasca kontestasi Pemilihan Presiden 2024 yang dibayang-bayangi oleh aliansi oligarki dan koalisi partai-partai besar, keberhasilan pasangan ini menjadi semacam harapan baru bagi keberlanjutan sistem demokrasi yang lebih baik di Indonesia, yang bukan hanya sekedar menjadi ajang adu logistik atau politik uang semata untuk mengeruk suara sebanyak-banyaknya, akan tetapi juga menjadi ajang unjuk gigi dalam membawa gagasan dan visi terbaik untuk memimpin pemerintahan.
Hasil pemilihan ini tidak hanya menegaskan bahwa sistem demokrasi yang kita bangun selama era reformasi tidak dapat sepenuhnya diakali dengan politik uang semata, tetapi juga menjadi bukti perlawanan kepada struktur kartelisasi politik yang telah mencengkeram negeri ini di bawah koalisi gemuk bernama KIM Plus.
Koalisi KIM Plus, yang terdiri dari 12 partai politik besar, mencerminkan dinamika politik yang tidak sehat. Bentuk politik seperti ini sering disebut dengan istilah kartelisasi politik. Dalam teori yang dikemukakan Warner Fite1, Theory of Democracy, ia menegaskan bahwa demokrasi hanya dapat berkembang ketika kontestasi gagasan berlangsung beragam dan kompetitif.
Sebaliknya, konsentrasi kekuasaan politik dalam aliansi yang monolitik merusak esensi pemerintahan yang demokratis. Dalam konteks Pilkada Jakarta, pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Ridwan Kamil-Suswono, yang didukung penuh oleh KIM Plus, yang disokong Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto, dan Mantan Presiden RI yang baru saja melepas jabatan, Joko Widodo, dapat kita lihat sebagai representasi sistem yang kekuasaan utamanya terkonsolidasi di tangan elit sehingga mengurangi ruang politik bagi gerakan independen atau akar rumput.
Dan tentu saja hal ini berimplikasi pada semakin sedikitnya tawaran atas gagasan atau pemimpin yang diberikan kepada rakyat sebagai pihak yang seharusnya menjadi pemegang tampuk tertinggi di sebuah negara demokrasi.