Kepal Tangan Perlawanan Bu Mega: Hukum Bukan Alat Kekuasaan

Oleh: Saiful Huda Ems, Lawyer and Pemerhati Politik
Rabu, 10 Juli 2024 11:00 WIB Jurnalis - Haerandi

Jakarta, Gesuri.id - Morat-marit, begitu istilah yang tepat bagi Orang Jawa untuk menggambarkan keadaan yang hancur lebur, berantakan, kondisi kepercayaan rakyat pada Pemerintahan Jokowi secara faktual, bukan berdasarkan survei dari lembaga survei yang kerap menerima pesanan. Betapa tidak, semenjak Gibran Rakabuming Raka dipaksakan menjadi Cawapres 2024 melalui serangkaian operasi rekayasa keputusan hukum, Pemerintahan Jokowi selalu mendapatkan protes dan cibiran dari rakyat.

Protes dan cibiran rakyat tersebut semakin dahsyat, manakala berbagai kasus korupsi dan penegakan hukum yang sangat gegabah, penuh rekayasa satu persatu mulai terungkap, meski sangat nampak sekali Rezim Jokowi sangat berusaha menutup-nutupinya, atau bahkan malah terkesan berusaha cuci tangan, seolah itu bukan domain atau ranah dirinya (Rezim Nepotis), melainkan hanya domain personal atau satu institusi yang berkepentingan dengan kasusnya saja. Lah kalau mau cuci tangan terus begitu, lalu apa gunanya rakyat mempunyai Presiden?.

Contoh mutakhir dari itu adalah gegernya penanganan proses penegakan hukum terhadap Kasus Pembunuhan Eki dan Vina di Cirebon, dimana Pengadilan Negeri Bandung pada Senin (8/7/2024) telah mengabulkan semua permohonan Praperadilan Pegi Setiawan. Dengan dikabulkannya seluruh permohonan Praperadilan Pegi Setiawan, maka Pengadilan Negeri Bandung telah membatalkan penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka pembunuhan Eki dan Vina, serta memerintahkan pembebasan Pegi Setiawan.

Kasus pembunuhan Eki dan Vina di Cirebon ini sudah menjadi pembicaraan umum di masyarakat, mulai dari kelas bawah hingga elit sampai berbulan-bulan, dan rakyat di berbagai pelosok daerah dan kota itu masih terus bertanya-tanya, kok pembunuh yang sebenarnya masih belum ditangkap-tangkap? Apa seperti ini wajah sebenarnya dari penegakan hukum di negeri ini? Dan ketika rakyat mulai resah dengan fenomena penegakan hukum yang dirasanya sangat tidak transparan dan penuh kepalsuan, ingatan rakyat tentu tertuju pada sosok Presiden Jokowi yang dianggapnya mulai berubah dan menunjukkan karakter aslinya yang sangat pengecut dan manipulatif.

Kasus berikutnya yang kali ini nampaknya lebih banyak diketahui oleh para akademisi atau masyarakat yang melek hukum, adalah soal Rancangan Undang-Undang POLRI. Pada Perubahan ketiga atas Undang-Undang No.3 Tahun 2002 tentang POLRI, sangat terlihat sekali bagaimana POLRI telah coba dijadikan sebagai alat politik kekuasaan. Ini bisa dibaca ketika di RUU POLRI ini terdapat penambahan kewenangan POLRI tanpa diiringi oleh mekanisme kontrol dan pengawasan yang kuat. Pun demikian dengan perpanjangan usia pensiunnya, bagaimana kita tidak melihat hal itu bisa berpotensi terjadinya abuse of power?.

Baca juga :