Jakarta, Gesuri.id - Dari rezim ke rezim, narasi tentang swasembada pangan kerap diglorifikasi sebagai instrumen untuk meraih atau menggaet suara rakyat, entah itu untuk sekedar kepentingan politik elektoral atau bahkan sebagai sarana melanggengkan kursi kekuasaan.
Berbagai target dan konsep pun tak malu-malu mereka (rezim-rezim) umbar di tengah publik. Soal berhasil atau tidak, bagi mereka itu adalah hal lain atau urusan belakangan. Kebanyakan rezim pemerintahan pasca orde baru khususnya, gagal menciptakan swasembada pangan. Berbicara sukses atau tidaknya program swasembada pangan, tentu tak terlepas dari variabel-variabel penting dibelakangnya.
Terutama, variabel (kepentingan) politik. Jadi, singkatnya pangan adalah salah satu alat ukur yang bisa mendeteksi kondisi politik suatu bangsa apakah dalam kondisi yang stabil atau sebaliknya (instabilitas).
Padahal kalau bicara jujur dan realistis, bicara target swasembada pangan itu bukanlah hal yang sederhana. Tak semudah yang diucapkan. Banyak variabel-variabel kompleks (seperti dijelaskan di atas, salah satu variabel itu yakni politik) yang tak mudah diurai begitu saja.
Pada dasarnya, glorifikasi semacam itu dari sisi siasat politik (pragmatis) memang sekilas tidak ada yang keliru. Sah-sah saja diumbar, meski jika ditelaah lebih mendalam banyak keganjilan-keganjilan dibalik janji-janji soal swasembada pangan pada umumnya. Buktinya, sampai rezim saat ini pun pangan kita mayoritas masih bergantung pada skema impor.