Presiden Rakyat atau Presiden Relawan 

Oleh: Saiful Huda, Lawyer and Journalist. Inisiator pertemuan Diskusi Terbuka Mahasiswa Indonesia di Berlin untuk melawan Rezim Orba
Jum'at, 21 Juni 2024 09:32 WIB Jurnalis - Haerandi

Jakarta, Gesuri.id - Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Gubernur Lemhannas dan Sesjen Wantannas di Gedung Nusantara II DPR RI, Kamis (14/6/2024), Wakil Ketua Komisi I DPR RI yang juga merupakan Wasekjen PDI Perjuangan, yakni Utut Adianto memberikan pernyataan yang mengejutkan, bahwa menurutnya Presiden Jokowi lebih mau mendengar suara dari para relawannya seperti Projo dan Bara JP daripada mendengar Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) dan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).

Dalam kesempatan tersebut, Utut juga menyinggung soal anggota tetap Wantannas RI yang dinilainya sulit untuk bertemu Presiden. Bahkan dalam kesempatan tersebut, Utut sampai menantang akan memberi uang Rp.100 juta jika anggota Watannas selama ini pernah diundang atau bertemu Presiden Jokowi. Ututpun mempertanyakan, akan dibawa kemana Lembaga Ketahanan Nasional ini. Kalau di zaman Pemerintahan Soeharto, Lemhannas merupakan salah satu requirement untuk jabatan Bupati, jabatan Gubernur hingga orang mau datang, namun sekarang siapa yang mau datang ke Lemhannas, apalagi mau datang ke Wantannas?

Menarik sekali pernyataan Utut Adianto ini, menarik karena yang pertama Utut menyinggung soal organisasi relawan Jokowi yakni Projo, dan kedua menariknya karena kita menjadi tersadarkan, bahwa Presiden Jokowi ternyata semakin lama semakin nampak tidak cakap dan profesional dalam kinerjanya. Sebab bagaimana mungkin lembaga yang dahulu sangat strategis dan berwibawa seperti Lemhannas itu, kini menjadi tidak lagi seperti itu lantaran nyaris semua hal yang dahulu dilakukannya diambil alih oleh Presiden Jokowi.

Mungkin karena perubahan skenario politik itu, kita mungkin tak akan memiliki lagi Kepala Kepala Daerah yang qualified karena semua calon tak lagi diteliti secara cermat oleh Lemhannas melainkan langsung oleh Jokowi seorang diri. Harus dicatat, sediktator-diktatornya Soeharto dulu, beliau tidak pernah mengizinkan anak-anaknya untuk menjadi Kepala Kepala Daerah, namun sekarang di era kepemimpinan Jokowi, anak-anak, menantu dan orang-orang terdekat keluarganya telah dipersiapkan dan sebagian telah dijadikan sebagai Kepala Daerah, meskipun pada akhirnya rakyatlah yang terpaksa atau setidaknya terkondisikan untuk memilihnya.

Sedangkan untuk hal mengenai Projo yang lebih didengar oleh Presiden Jokowi dari pada Gubernur Lemhannas dan Wantannas, saya pikir itu semata karena kecerdikan Ketua Umumnya yang lihai mempertontonkan Gerbong Kosong menjadi seolah-olah Gerbong Penuh. Padahal yang sesungguhnya terjadi ya Projo itu Gerbong Kosong sungguhan. Masih ingat dengan MUSRA I yang menjaring aspirasi rakyat untuk memilih calon-calon Presiden dan Wakil Presiden? Setau saya --juga menurut kesaksian banyak teman-- yang digiring ke MUSRA itu ya organ-organ relawan lain seperti Rejo dimana Bang H. Darmizal sebagai Ketua Umumnya dan Bang Mudhofir sebagai Sekjennya, Harimau Jokowi --di Pilpres 2024 namanya saya ganti menjadi HARIMAU GANJAR (HAJAR)--dimana saya menjadi Ketua Umumnya dan Mas Dr. Soendoro Soepringgo sebagai Sekjennya, Moeldoko Center dimana Mbak Icha sebagai Ketua Umumnya dll. Namun semuanya diklaim seolah-olah mereka itu Projo.

Baca juga :