Jakarta, Gesuri.id - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah alat negara untuk menjalankan pembangunan mencapai kesejahteraan segenap rakyat. Sebagai alat utama negara menyejahterakan rakyatnya, dibutuhkan struktur APBN yang sehat, memiliki kelonggaran fiskal yang cukup, serta memiliki kemampuan fleksibilitas, dan adaptif untuk merespon seluruh dinamika ekonomi, politik, dan keamanan baik domestik maupun global.
Setiap periode pemerintahan memiliki arah kebijakan dalam menentukan postur APBN. Pertimbangannya tentu politis, tetapi yang utama adalah janji kampanye presiden dan wakil presiden terpilih. Meskipun begitu para teknokrat pembangunan selalu memberikan pertimbangan pertimbangan teknokratis dalam setiap penyusunan rencana pembangunan. Pertimbangan pertimbangan itu penting sebagai referensi agar dalam penyusunan APBN tidak kelewat optimis dan bombastis.
Sejak paska orde baru, kencenderungan APBN kita disusun dengan perencanaan defisit. Tujuannya untuk mendorong tingkat konsumsi pemerintah lebih besar, dengan harapan mendongkrak kegiatan ekonomi. Untuk menutup kekurangan karena belanja lebih besar dari pendapatan, maka pemerintah melakukan pinjaman dengan berhutang. Namun sejak Undang Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara diundangkan, kebijakan defisit APBN dibatasi maksimal 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan porsi utang pemerintah tidak lebih dari 60 persen PDB.
Pembatasan ini diberlakukan agar fiskal APBN kita sehat dan aman. Kita memiliki sejarah kelam akibat beban utang paska krisis moneter tahun 1997. Pada tahun 2000 rasio utang pemeritah terhadap PDB mencapai 88,7 persen, yang didominasi oleh utang luar negeri. Situasi ini sangat berisiko karena belanja APBN yang seharusnya untuk menyejahterakan rakyat malah untuk membayar utang. Risiko lain, negara negara kreditur besar mengontrol kebijakan ekonomi, politik, hukum dan keamanan negara kita. Kedaulatan negara tergadaikan karena utang.
Tantangan