Jakarta, Gesuri.id - Pilkada 2024 kembali menjadi panggung kontroversi, dengan tuduhan adanya skenario politik yang dirancang untuk mengontrol hasil kontestasi di berbagai daerah. Fenomena ini tidak hanya menyoroti kerentanan demokrasi di Indonesia terhadap dominasi kekuasaan, tetapi juga memicu kesadaran rakyat untuk bersuara melawan ketidakadilan. Berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil, mulai mempertanyakan dugaan campur tangan elite politik yang memanfaatkan instrumen negara untuk menekan pasangan calon tertentu. Rakyat kini dihadapkan pada tantangan mempertahankan demokrasi dari cengkeraman kepentingan kelompok elite.
Dalam sebuah pernyataan sebagaimana dikutip Tempo.co (24/11/2024), Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI-Perjuangan, Bapak Hasto Kristiyanto, mengungkapkan dugaan bahwa Pilkada kali ini digunakan sebagai momentum untuk memperluas kendali kekuasaan, meskipun pihak yang dituduh sudah tidak lagi menjabat secara resmi. Tuduhan ini melibatkan penggunaan aparat keamanan seperti kepolisian untuk melakukan tekanan politik terhadap lawan, serta pengaturan skenario yang menguntungkan kelompok tertentu.
Rakyat Bangkit Melawan Intervensi Penguasa
Pada Pilkada 2024, masyarakat Indonesia menunjukkan peningkatan kesadaran akan pentingnya pemilu yang jujur dan adil. Berbagai elemen masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah, dan individu di media sosial aktif mengkritisi dugaan intervensi dalam proses Pilkada. Di Jawa Timur, misalnya, sejumlah elemen masyarakat mendesak netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dan aparat kepolisian sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, setelah menemukan berbagai laporan kecurangan. Selain itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong netralitas aparat negara dalam Pilkada 2024 untuk memastikan proses pemilihan berjalan secara demokratis dan sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Gerakan-gerakan ini mencerminkan harapan rakyat Indonesia untuk perubahan menuju demokrasi yang lebih bersih dan transparan.
Dukungan elemen masyarakat ini menjadi sinyal bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan pengawasan publik yang aktif. Seperti yang disampaikan Larry Diamond, pakar demokrasi dari Universitas Stanford, Demokrasi yang sehat membutuhkan netralitas institusi negara, terutama militer dan birokrasi, untuk memastikan proses politik yang adil dan bebas dari tekanan. Hal ini relevan dengan kondisi Indonesia hari ini, di mana dugaan intervensi oleh aparat keamanan mencederai kepercayaan publik terhadap integritas Pilkada.