Ikuti Kami

27 Juli 1996, Peristiwa Besar yang Dikerdilkan

Oleh: Jacobus Kamarlo Mayong Padang, aktivis PDI Perjuangan.

27 Juli 1996, Peristiwa Besar yang Dikerdilkan

Jakarta, Gesuri.id - 27 Juli menjadi semakin kerdil, lewat begitu saja dan seakan tak bermakna. Yang rutin memperingatinya hanya FKK 124 korban anekdot Polri. Yah, saya serius,– itu sebuah pertunjukan besar yang amat lucu dan belum ada yang menjadikannya disertasi. 

Padahal bahannya sangat bagus. Orang berdiam dalam rumahnya di Jalan Diponogoro 58, diserang dengan batu dan senjata sampai banyak yang meninggal. Setelah penghuni tak berdaya, mereka pun diangkut lalu ditahan dan selanjutnya diadili dan diputuskan bersalah.

Lucu kan? Kalau anda menganggap itu tidak lucu, maka maaf, anda sebaiknya konsultasi dengan dokter jiwa. Kelompok yang bertahan di Diponogoro 58 itulah yang mengorganisir diri menjadi FKK 124 yang kini diketuai Raya Tampubolon. Dan merekalah yang setia memperingati 27 Juli, sekalipun hanya dengan tabur bunga, lalu minum wedang jahe di pinggir jalan. Ribka Ciptaning adalah satu-satunya anggota DPR RI yang setia menemani mereka karena dia memang anggota FKK 124.  

Ribka Ciptaning saat ditangkap dan diinterogasi, harus membawa bayinya yang masih menyusu. Karenanya 27 Juli menjadi identik dengan FKK 124 itu. Padahal itu bukan hari mereka saja. Sebab sesungguhnya eksponen 27 Juli terdiri atas berbagai komponen daerah yang mendukung Megawati Soekarnoputri. Komponen yang lebih besar menyatu dalam MARI ( Majelis RAKYAT Indonesia) yang dipimpin Prof. Dr. Muchtar Pakpahan.

Peristiwa 27 Juli sering pula hanya dikaitkan dengan PDI Perjuangan, padahal 27 Juli adalah hari besar, yang berarti membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Hari besar walaupun kini dikerdilkan,–  namun memicu gerakan sehingga yang berpuncak di Mei 98 dan akhirnya menurunkan Presiden Soeharto dari tahta yang dipertahankannya selama 32 tahun.

Orde Baru Bubar

Hari besar karena merupakan puncak dari perjuangan panjang komponen pro demokrasi melawan tirani kekuasaan Orde Baru. Melalui itulah terjadi perubahan yang besar sekali,– kekuasaan Orde Baru pimpinan Soeharto yang sangat besar dan sangat kokoh, runtuh. Bahkan komponen Orde Baru sendiri yang amat kekar tak tersentuh selama 32 tahun menjadi berantakan.

Tidak hanya dari gerakan luar pemerinrah. Malahan pada lingkup internal pun, 14 orang menteri dipimpin Ginanjar Kartasasmita yang kesemuanya adalah orang yang dibesarkan dan diberi kebesaran oleh Soeharto selama bertahun-tahun, tiba-tiba kabur tanpa pamit. Dan, ini dia yang paling monumental,– Harmoko, orang yang bisa menduduki berbagai posisi penting atas petunjuk bapak Presiden Soeharto,– tiba-tiba dari kursinya, Ketua DPR RI yang juga bisa didudukinya tak lain karena petunjuk bapak Presiden Soeharto,– tanpa sungkan sedikitpun meminta Soeharto mengundurkan diri.

Maka kekuasaan Orde Baru yang sedemikian kokohnya setelah terbangun dengan apik selama 30 tahun menjadi berantakan. Mereka bubar tanpa pesta perpisahan.

Itulah ujung perjalanan panjang kekuasaan yang dikelola dengan sistim diktator. Itu pula puncak dari perjuangan sulit para oposan yang memberanikan diri di bawah tekanan yang luar biasa selama puluhan tahun.

“Jangan orang pikir perubahan itu tiba-tiba saja. Dan jangan berpikir Peristiwa 27 Juli itu terjadi begitu saja. Itu klimaks perjuangan panjang sejumlah putra-putri bangsa yang ingin memperbaiki keadaan bangsa ini,” ujar Prof. Dr. Muchtar Pakpahan salah satu dedengkot asli Reformasi. Sayangnya, Muchtar Pakpahan guru besar Fakultas Hukum UKI Jakarta, satu diantara segelintir orang yang memiliki keberanian luar biasa melawan Soeharto, tak pernah menikmati kue reformasi yang diperjuangkannya.

Bukan hanya Muchtar, masih ada sejumlah pemain utama yang begitu gigih berjuang tetapi kemudian menjadi penonton hiruk pikuknya orang berebut jabatan dalam era Reformasi. Ada Sri Bintang Pamungkas, Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin, HJ. Princen, Yenny Rosa Damayanti dan beberapa tokoh yang pada zaman itu disebut sebagai orang-orang “gila”. Disebut “gila” karena berani melawan disaat mayoritas orang sedang merunduk ketakutan sekalipun menyadari terjadi kesalahan.

Di zaman itu, orang setipe Muchtar Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, Adnan Buyung, Gus Dur, Megawati, Muchtar Lubis, adalah orang-orang yang langka. Langka karena berani disaat orang sedang ketakutan.

Kampus Yang Gersang

Begitupun di lingkungan kampus, wilayah yang sejatinya menyuarakan kebenaran tetapi toh para penguasa kampus takluk di bawah kekuasaan Orde Baru yang memang otoriter. Kecuali beberapa yang konsisten menyuarakan kebenaran. Mereka adalah Dr. Arbi Sanit dari UI Jakarta, Dr. Arief Budiman dari UKSW Salatiga, Dr. Affan Gaffar dari UGM, Dr. Ishak Ngelyaratan di Universitas Hasanuddin lalu kemudian Dr. Dimyati Hartono dari Universitas Diponogoro, Semarang. Mau cari 5 orang yang berani dari setiap kampus? Ho ho……jangan berharap.

Sekarang semua orang teriak dan mengaku reformis bahkan digelari bapak reformasi, padahal di zaman itu kampus amat gersang. Bahkan mahasiswa pun hanya segelintir saja. Justru gerakan Buruhlah yang menonjol terutama melalui SBSI yang dipimpin Muchtar Pakpahan. Sebabnya karena tangan Orde Baru ibarat gurita yang menjangkau seluruh sudut kehidupan. Tak ada yang tak terjangkau.

Keadaan baru berubah setelah peristiwa 27 Juli 1996. Peristiwa yang terjadi di sekertariat PDI Jalan Diponegoro 58 itu ibarat hujan di penghujung kemarau demokrasi yang sangat panjang. Maka sesudah peristiwa itu, demokrasi yang lama dibonsai, mulai bertunas.

Karenanya 27 Juli adalah peristiwa penting bagi republik ini. Sayangnya kini menjadi kerdil, setiap tahun berlalu tanpa arti. Hanya ada tabur bunga di Jalan Diponegoro 58, itupun dilakukan FKK 124. Padahal peristiwa itu bukan hanya milik FKK 124, bukan pula hanya milik PDI Perjuangan. Karena sebelum peristiwa itu, kekuatan pro demokrasi yang selama puluhan tahun hanya tertatih-tatih, mulai menggelembung. Wujudnya, Muchtar Pakpahan berhasil menghimpun 34 elemen menjadi MARI ( Majelis RAKYAT Indonesia), lembaga yang aktif melakukan mimbar bebas di Jalan Diponegoro 58. Menjadi tungku memanaskan gerakan Reformasi.

Tetapi kini menjadi biasa-biasa saja. Bahkan di kalangan PDI Perjuangan saja sekarang menjadi sayup-sayup saja. Malahan memunculkan anekdot. Suatu saat seorang anggota DPR RI dari PDI Perjuangan bertanya kepada dr. Ribka Ciptaning. “Mbak, apa sih dua tujuh Juli itu?”

Penumpang Reformasi

Sungguh menyedihkan. Padahal kalau 27 Juli tidak terjadi, yang bersangkutan tidak mungkin duduk di Senayan, karena sebelumnya yang bisa masuk Senayan hanyalah orang-orang tertentu, orang yang dipoles dan dipelihara untuk menjaga kelanggengan kekuasan. Yah, orang seperti Harmoko lah, orang-orang kepercayaan Soeharto. Itulah sebabnya DPR di masa Orde Baru di kenal sebagai tukang stempel, alat untuk melegitimasi kemauan Soeharto.

Karenanya aneh seorang anggota DPR, dari PDI Perjuangan pula, tidak tahu peristiwa 27 Juli. Padahal, sekali lagi jika tanpa perubahan, ia mustahil bisa duduk di DPR.

Sama dengan Joko Widodo, jika tidak terjadi peristiwa 27 Juli, mustahil lah beliau menjadi presiden. Maka Jokowi adalah salah satu warga negara yang paling diuntungkan dengan Reformasi.

Bicara Reformasi jangan lalu berasosiasi pada Amin Rais karena beliau juga hanyalah satu di antara ribuan penumpang Reformasi. Buktinya sampai peristiwa 27 Juli nama beliau belum muncul. Jadi maaf, Amin Rais hanyalah tipe yang terampil membaca dan memanfaatkan momentum. Karena walaupun beliau orang kampus, jelas tidak bisa disandingkan dengan Arbi Sanit dan Arief Budiman yang konsisten sebagai ilmuwan terus menyuarakan kebenaran tanpa terpengaruh cuaca. Jadi sangat jelas, beliau adalah satu di antara ribuan orang yang diuntungkan Reformasi,– dan reformasi itu tungku besarnya di Jalan Diponegoro 58 yang meledak pada 27 Juli 1996.

Sama dengan Jokowi, bahkan Jokowi orang yang lebih beruntung lagi, menjadi presiden tanpa pernah repot mengurus partai. Dan kini, Gibran anaknya pun sedang menyiapkan jas untuk pelantikan sebagai Walikota Solo tanpa pernah repot mengurus organisasi.

Hmmm…… kekuasaan memang nikmat, makanya orang berebut. Beda jauh di saat perjuangan, teramat berat mengajak orang. Karenanya kata Muchtar Pakpahan, orang yang berjuang hanyalah orang yang berani “bunuh diri kelas”.

Padang, 23 Juli 2020.

 

Sumber

Quote