Jakarta, Gesuri.id - Banyak pihak yang meragukan jumlah kasus Covid-19 di Indonesia. Data per tanggal 18 Mei 2020 menunjukkan jumlah kasus yang dilaporkan adalah sebesar 18.010 orang. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang sebesar 267.2 juta orang, angka ini dianggap terlalu kecil. Yang sering digunakan sebagai pembanding adalah negara Amerika, yang jumlah penduduknya sebesar 328.2 juta orang dengan jumlah penderita yang mencapai 1.474.946 orang. Mereka membandingkan rasio jumlah penduduk, dan memprediksi bahwa jumlah orang yang sudah terpapar Covid-19 di Indonesia seharusnya mencapai 1.2 juta orang. Yang menjadi pertanyaan adalah, benarkah angka perbandingan ini bisa dijustifikasi kebenarannya. Mari kita cermati.
Memang harus diakui bahwa jumlah pengujian Covid-19 di Indonesia masih sangat kecil, yaitu hanya 580 per 1 juta penduduk, jauh di bawah tingkat pengujian di Amerika yang mencapai 26.700 per 1 juta penduduk. Dengan jumlah pengujian yang masih sangat kecil, mudah ditarik kesimpulan dengan akal sehat, bahwa jumlah sebenarnya penderita Covid-19 di Indonesia akan lebih besar dari angka yang dilaporkan. Tetapi benarkah angkanya mencapai 1.2 juta penduduk? Menurut hemat penulis, ini adalah simplifikasi yang mengandung lompatan logika.
Dengan perbedaan jumlah uji yang signifikan, memang sulit untuk memprediksi berapa banyak sebenarnya orang Indonesia yang sudah terpapar Covid-19. Penulis memilih menggunakan pendekatan yang berbeda, yaitu dari angka kematian yang dilaporkan disebabkan oleh Covid-19. Jumlah kematian pasien Covid-19 di Amerika adalah 88.889 orang, atau tingkat kematiannya (fatality rate) 6,02%.
Di Indonesia sendiri dilaporkan ada 1.191 orang meninggal dunia akibat Covid-19 atau fatality ratenya mencapai 6,61%, masih di bawah angka fatality rate dunia yang mencapai 6,73%. Jumlah kasus yang meninggal di Indonesia akibat Covid-19 memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Amerika. Angka kematian ini lebih mudah didapatkan dan lebih sulit untuk dimanipulasi, karena pasien yang meninggal pasti ada datanya. Tidak mungkin angka puluhan ribu kematian bisa direduksi menjadi hanya 1000an orang. Jadi dari angka ini dapat disimpulkan bahwa jumlah penderita Covid-19 di Indonesia memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Amerika.
Tetapi sebagian masih tetap meragukan dengan berargumentasi bahwa tidak semua kematian di Indonesia dicatat sebagai “disebabkan oleh Covid-19” karena keterbatasan jumlah pengujian. Ini bisa saja terjadi, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Tidak semua orang yang meninggal memang menjalani test PCR untuk mengkonfirmasi apakah yang meninggal terkena Covid-19.
Penulis akan menggunakan data mortality rate, yaitu jumlah kematian penduduk (apapun penyebabnya) per 1.000 penduduk di suatu negara. Mortality rate Indonesia di tahun 2019 adalah sebesar 6,51 per 1.000 penduduk dan meningkat menjadi 6,57 di tahun 2020. Jadi ada peningkatan sebesar 0,006 per 1.000 penduduk.
Dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 267,2 juta jiwa, maka didapatkan jumlah peningkatan kematian di tahun 2020 adalah sebesar 16.883 orang selama 12 bulan, atau 1.400 orang per bulan. Maka selama 2,5 bulan (Maret – pertengahan Mei 2020), ada tambahan jumlah kematian sebesar 3.500 orang. Mari kita asumsikan bahwa penambahan jumlah kematian ini adalah seluruhnya akibat Covid-19. Dengan menggunakan angka fatality rate sebesar 6,61%, maka didapatkan jumlah penduduk yang terpapar Covid-19 adalah 52.950 orang. Menurut hemat penulis, angka ini masih lebih masuk akal, dibandingkan dengan angka 1,2 juta yang didapatkan hanya dengan membandingkan rasio jumlah penduduk Indonesia dan Amerika.
Untuk mendukung data tersebut penulis menelusuri perjalanan penambahan pasien Covid-19 antara Indonesia dan Amerika. Acuan awal yang dipakai adalah 40 kasus pertama Covid-19. Di Indonesia 40 kasus pertama terjadi pada tanggal 13 Maret 2020, sedangkan di Amerika terjadi lebih awal, yaitu pada tanggal 21 Februari 2020. 45 hari sejak kasus pertama dilaporkan, yaitu pada tanggal 6 April 2020, di Amerika sudah terdapat 180.000 kasus dan jumlah kematian sebesar 10.746 orang, sementara di Indonesia pada tanggal 26 April 2020 hanya terdapat 8.882 kasus dan jumlah kematian sebesar 743 orang.
Dari jejak ini jelas bahwa penambahan jumlah kasus dan jumlah kematian di Amerika secara berkala memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Indonesia, sehingga terdapat lompatan logika yang cukup besar jika kita hanya menggunakan data jumlah penduduk untuk memprediksi jumlah kasus Covid-19 di Indonesia. Ini sekaligus menyisakan satu misteri yang menarik untuk dicermati, mengingat pelaksanaan PSBB di Indonesia juga tidak sepenuhnya dipatuhi oleh masyarakat.
Menurut hemat penulis, ada beberapa kemungkinan penyebabnya. Pertama Indonesia adalah negara kepulauan, sehingga pulau-pulau yang terpisah oleh lautan menjalani lockdown otomatis, terutama di pulau-pulau yang tidak banyak lalu-lintas antar penduduk. Pusat episentrum Covid-19 di Indonesia ada di kota-kota besar yang praktis banyak terjadi lalu lintas orang yang kemungkinan menularkan virus tersebut.
Kedua yang tidak dapat dipungkiri sebagai satu anugerah yang luar biasa adalah iklim tropis yang dimiliki oleh Indonesia dengan banyak sinar matahari, suhu udara relatif tinggi dan tingkat kelembaban tinggi. Kondisi iklim ini tidak ideal untuk penyebaran virus Covid-19. Sejarah flu Spanyol yang melanda dunia tahun 1918 – 1920 juga mewabah di belahan bumi utara ketika memasuki musim dingin, baik pada gelombang wabah pertama maupun gelombang wabah kedua.
Ketiga adalah dari sisi demografis penduduk Indonesia, di mana jumlah penduduk usia lanjut (di atas 65%) di Indonesia yang memang rentan terhadap kematian akibat Covid-19 jauh lebih sedikit dibandingkan dengan di negara-negara maju. Kelompok usia yang paling banyak terkena Covid-19 di Indonesia adalah 31 – 45 tahun (30,78%), diikuti oleh kelompok usia 46 – 59 tahun (30,20%), 18 – 30 tahun (20,93%) dan lebih dari 60 tahun (19,94%). Profil demografi ini berbeda jauh bila dibandingkan dengan Jepang, Itali, Inggris dan Amerika, di mana hampir sebagian besar didominasi oleh warga usia lanjut yang memang lebih rentan terhadap kematian.
Keempat ada kemungkinan bahwa daya tahan penduduk Indonesia terhadap virus corona memang lebih kuat. Kondisi ini mirip dengan di China yang menjadi pusat awal penyebaran Covid-19. Jumlah kasus di China hanya 84.494 dengan angka kematian 4.645 orang (fatality rate 5,49%). Sementara di Amerika, kelompok yang biasanya paling rentan terserang oleh Influenza tipe A adalah kelompok kaukasian.
Dalam sepuluh tahun terakhir secara rerata penyakit ini setiap tahun membunuh 64.000 orang dan menginfeksi 16 juta orang. Yang menarik untuk kasus Covid-19 ini, jumlah kematian terbanyak melanda kelompok Hispanik dan Afro-America. Secara spekulatif, penulis memperkirakan bahwa Covid-19 memang non diskriminatif dan menyerang siapa saja, tanpa memperdulikan ras, golongan, strata sosial dan agama, tetapi daya tahan tubuh masing-masing kelompok masyarakat berbeda.
Sebagai penutup, penulis berharap bahwa walaupun kasus Covid-19 Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Amerika, tetapi kita tetap harus waspada dan menjaga tingkat kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat untuk menghindari semakin merebaknya wabah Covid-19.
Indonesia dan Amerika sama-sama memiliki karakteristis sebagai negara demokratis di mana masyarakatnya terpolarisasi secara politis. Kali ini bukan saat yang tepat untuk menonjolkan kebhinnekaan kita dalam berpendapat, tetapi mari bertunggal ika melawan Covid-19. Dengan gotong-royong, kita akan lewati masa kelam untuk menyongsong Indonesia yang lebih hebat.