Jakarta, Gesuri.id - Baru-baru ini Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputeri menganjurkan tiap kota mendirikan patung Bung Karno. Anjuran Megawati ini sesungguhnya bermakna “untuk mengembalikan ingatan rakyat” pada tujuan-tujuan nasional yang pernah digagas Bung Karno dan dikerjakan Bung Karno pada masa pemerintahannya terutama sekali sejak era “Demokrasi Terpimpin” 1959-1965 karena ternyata di masa itu Indonesia menjadi kekuatan besar dunia, melakukan tujuan negara berdikari dan mengembangkan geopolitik perdamaian ala Bung Karno yang dikenal sebagai “Ko-Eksistensi” kalau menurut istilah dalam pidato Bung Karno “Elu Ada, Gue Ada”.
Sejak era Orde Baru memang de-Sukarnoisasi terus dilakukan, ingatan rakyat pada Bung Karno hanya dibatasi pada peristiwa Proklamasi 1945. Padahal arti penting Bung Karno itu ada justru setelah dibubarkannya Demokrasi Liberal 1959 dan disitulah Bung Karno melakukan pengembangan militer Indonesia dengan tujuan menjadi “Negara Pembebas” kolonialisme, membentuk poros negara-negara baru “New Emerging Forces”, mengembangkan politik berdikari yang tidak condong ke kiri dan ke kanan, mengembangkan Sosialisme ala Indonesia yaitu Gotong Royong, ekonomi mandiri berdasarkan kekuatan bangsa sendiri.
Dalam melakukan Demokrasi Terpimpin Bung Karno merenung tentang Geopolitik dan dalam pemikirannya faktor geopolitik-lah yang paling menentukan perjalanan sejarah Indonesia dan sejak 1959 ia melakukan banyak lawatan ke negara-negara yang dianggap penting untuk melakukan politik diplomasi dalam rangka besar mendamaikan dua poros yang berseteru poros barat yang dipimpin Inggris dan Amerika Serikat serta poros timur yang dipimpin Uni Sovyet.
Pemikiran geopolitik Sukarno masih sangat relevan untuk hari ini perkiraannya RRC akan menjadi negara besar dan kuat sudah terbukti, melemahnya pengaruh Amerika Serikat, menguatnya poros baru BRIC (Brasil, Rusia, India dan Cina) akan mempengaruhi peta politik di Asia Tenggara. RRC yang dulu dianggap “Raksasa Sakit” oleh dunia barat kini telah menggeser Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi dunia, sementara Rusia berkembang menjadi pengaruh penting di belahan benua Eropa menggeser posisi Inggris dan Perancis.
Poros dunia baru perlahan dibentuk, tatanan negara-negara kekuatan baru mulai bermunculan dan Indonesia diramalkan akan jadi kekuatan ekonomi nomor empat pada tahun 2030 sesuai prediksi Standard Chartered. Prediksi ini rupanya sudah dipikirkan Bung Karno sejak awal 1950-an dan kemudian ia eksekusi dalam usaha raksasa pembentukan tatanan dunia baru Negara-Negara New Emerging Forces lalu mengembangkan pembebasan ekonomi dan daya hisap kapitalisme di wilayah Asia Tenggara.
Dalam pemikiran Sukarno langkah pertama setelah ia berpidato “Kembalinya Revolusi Kita” tahun 1959 adalah menyempurnakan wilayah Hindia Belanda yang masih dikuasai Kerajaan Belanda. Kembalinya Irian Barat sebagai hutang politik Belanda pada Perjanjian KMB harus disegerakan. Untuk itu Bung Karno melobi pemerintahan Amerika Serikat untuk menekan Belanda dan mengajak Uni Sovyet membantu persenjataan.
Komunikasi dua arah ini berhasil dengan baik dilakukan ‘orang-orang Sukarno’ seperti Subandrio yang berhasil melobi Amerika Serikat dan Inggris untuk menekan Belanda juga Jenderal AH Nasution yang melakukan diplomasi politik bantuan senjata kepada Uni Sovyet sehingga Uni Sovyet melengkapi atribut militer persenjataannya kepada Indonesia. Dari gerak diplomasi geopolitik dua arah ini Indonesia berhasil mengusir Belanda dari Irian Barat dan Negara Proklamasi 1945 sempurna wilayahnya.
Setelah konflik Irian Barat, gerak diplomasi geopolitik Bung Karno diarahkan untuk pembebasan wilayah Asia Tenggara dari tangan Nekolim. Bung Karno melihat Malaysia dan kemudian hari Singapura dibentuk sebagai “negara boneka” mainan Kapitalis Amerika-Inggris dan jadi pusat sumber daya alat pengerukan Kapitalis yang mengepung Indonesia. Sementara di sebelah selatan Indonesia sudah ada Australia yang sejak lama mengincar Irian Barat. Problematika wilayah Asia Tenggara inilah yang menjadi pusat pemikiran Sukarno agar Indonesia sepenuhnya berdaulat dan terbebas dari ancaman Nekolim.
Setelah kemenangan gemilang Sukarno mengusir Belanda dari Irian Barat kemudian Bung Karno melakukan “Politik Ganjang Malaysia” yang kemudian berakhir tragis atas kejadian Gestok 1965. Sejak Gestok 1965 nama Bung Karno direbus habis oleh kelompok kanan pro Kapitalis Amerika-Inggris berwatak fasis.
Ingatan rakyat pada Bung Karno dilebur habis-habisan dan dibatasi hanya sebatas Proklamator padahal dia adalah: Konseptor Indonesia Modern. Di masa Orde Baru Bung Karno dilenyapkan dalam ingatan rakyat dan Indonesia benar-benar condong ke kanan serta jadi eksploitasi negara-negara barat Pro Amerika Serikat.
Di masa Orde Baru ribuan intelektual diasingkan di Pulau Buru, sebagia menjadi eksil di luar negeri satu generasi intelektual dihilangkan dengan paksa namun benih-benih Sukarnois tetap tumbuh di tengah ilalang, di tengah kejumudan jaman. Tiba-tiba pada Pemilu 1987 gambar Bung Karno ditegakkan di tengah-tengah jalan, kaum muda yang notabene tidak merasakan jaman Bung Karno bangkit melawan Orde Baru dengan penuh kebanggaan memasang poster-poster Bung Karno di tengah aksi militer Orde Baru.
PDI sebagai kekuatan politik yang ‘di pariahkan’ oleh Orde Baru menjadi kekuatan tumbuh dan berkembangnya kesadaran Sukarnois ditengah-tengah massa. Lalu perkembangan jaman mulai menyingkirkan Suharto dan kemenangan di kubu Sukarnois semakin menguat setelah tampilnya Megawati Sukarnoputeri yang mengkonsolidasi kekuatan Sukarnois menjadi satu komando.
Rekayasa penggembosan PDI oleh agen-agen politik Suharto di tahun 1996 berhasil digagalkan dan dua tahun kemudian Suharto jatuh. Tahun 1999 politik Indonesia menganut Demokrasi Liberal dengan basis voting, dan mau tidak mau PDI yang saat itu berubah nama menjadi PDI Perjuangan ikut dalam kontestasi politik alam liberal tapi terbukti PDI Perjuangan dan kekuatan Sukarnois tetap mendominasi peta kemenangan politik di Indonesia.
Singkat cerita sejak 2014 kekuatan Sukarnois dalam percaturan politik Indonesia sangat kuat, PDI Perjuangan menang berturut-turut dalam dua Pemilu yaitu: 2014 dan 2019 dan sebagai Partai PDI Perjuangan mencapai taraf organisasi modern dan menmpunyai mesin politik yang organik di tengah massa-rakyat. Setelah kemenangan politik ini sudah selayaknya-lah pemikiran geopolitik Sukarno kembali di kedepankan dan insepsi ke alam pikiran bawah sadar publik soal ‘Kesadaran Sukarno’ selangkah demi selangkah dilakukan oleh kader-kader PDI Perjuangan sebagai agen perubahan politik pembawa cita-cita Sukarno yang terorganisir.
Pemikiran geopolitik Sukarno dikembangkan dalam diskursus Sekolah Partai PDI Perjuangan, pola-pola hubungan luar negeri dipelajari dengan analisa kerangka Ko-Eksistensi dan juga pembagian dominasi wilayah dunia seperti Asia Tenggara, Asia Pasifik dan pertumbuhan kekuatan ekonomi baru seperti RRC, India dan Brasil harus jadi perhatian Indonesia.
Geopolitik adalah salah satu bidang penting dalam aspek pemikiran Sukarno yang menghendaki negara-negara terbebas dari l'exploitation de l'homme par l'homme (eksploitasi manusia atas manusia lainnya) dan terciptanya perdamaian dunia lalu menjadikan Indonesia sebagai mercusuar peradaban dunia.
Masa depan Indonesia suatu saat akan berjalan pada ‘rel sejarah-nya Sukarno’ untuk itu diperlukan gerakan dari Partai Kader dan PDI Perjuangan adalah salah satu sumber penting sumber daya menghidupkan pemikiran Sukarno terutama dalam pemahaman geopolitik dunia.
Inilah kenapa Megawati menghendaki di setiap wilayah berdiri patung Bung Karno, karena itu salah satu dasar mengetuk alam bawah sadar publik bahwa bangsa ini mempunyai tujuan-tujuan nasional yang pernah diarahkan Bung Karno dan terus dilanjutkan pada generasi yang lebih muda.