Ikuti Kami

Belajar dari Negeri Tetangga Melawan Covid-19

Oleh: Dr. Harris Turino, Politisi PDI Perjuangan dan Doctor in Stratejik Manajemen.

Belajar dari Negeri Tetangga Melawan Covid-19
Ilustrasi. Dr. Harris Turino, Politisi PDI Perjuangan (kiri) bersama Presiden Jokowi.

Jakarta, Gesuri.id - Minggu lalu media sosial kita diramaikan dengan informasi mengenai vaksin virus corona asal China yang disebut sudah disetujui badan kesehatan dunia WHO. Sejumlah akun membagikan link dan tangkapan layar berita yang memuat soal itu. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20200926095632-4-189651/china-klaim-whoberi-restu-penggunaan-vaksin-covid-19-darurat). 

Semua berteriak “Eureka” (bahasa Yunani yang artinya aku telah menemukannya), seolah semua urusan dengan pandemi akan segera berakhir. Bahkan pasar sahampun bereaksi positif setelah beberapa hari didominasi warna merah yang seolah tak kunjung henti.

Ternyata kabar baik itu kembali sirna dalam hitungan hari. Media asal China yang menjadi rujukan juga telah menghapus beritanya. Sementara, dalam situs web WHO tidak ada pengumuman soal persetujuan WHO atas vaksin Covid-19 dari China.

Penulis yang bukan ahli kesehatan dan juga bukan ahli epidemiologi memang bersifat skeptis soal vaksin. Dibutuhkan waktu yang cukup panjang sampai ditemukannya vaksin yang ampuh dan aman, apalagi untuk mendistribusikannya ke separuh penduduk dunia untuk menghasilkan imunitas masal.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah “dunia harus terus berhenti” sampai ditemukannya vaksin? Meminjam hasil analisa Prof. Pitoyo Hartono, seorang pakar matematika Indonesia yang mengajar di Chukyo University Tokyo, diketahui bahwa Jepang adalah contoh sebuah negara yang sudah mampu mengendalikan wabah corona tanpa vaksin.

Hal ini ditandai dengan Effective Reproduction Number (Rt) Jepang yang sudah di bawah angka aman 1.0 sebagaimana terlihat dalam gambar 1. 

Angka prediksi ini dibuat berdasarkan model epidemiology yang tersederhana, SIR, menggunakan approximasi dengan 4th order Runge-Kutta, dan parameter fitting dengan menggunakan Nelder-Mead Simplex Method.

Dari gambar ini terlihat jelas bahwa angka Rt Jepang awalnya sangat tinggi, tetapi berhasil dikendalikan pada minggu ke 6. Lalu terjadi gelombang kedua pada minggu ke 13 dan saat ini berada di bawah angka 1.0 artinya 1 orang yang sakit menularkan ke kurang dari 1 orang yang sehat. 

Sehingga mudah dipahami bahwa di Jepang pandemi ini sudah bisa dikendalikan dan jumlah penderita di masa yang akan datang akan semakin berkurang. Taiwan adalah satu fenomena yang lebih menarik.

Negara pulau ini adalah negara yang pertama kali menerapkan konsep “lockdown” di seluruh negara dengan menutup seluruh bandara internasionalnya, ketika hampir semua negara masih menganggap remeh virus corona. 

Akibatnya walaupun lokasi geografisnya berdekatan dengan Wuhan China sebagai pusat pandemi, tetapi Taiwan mampu mengendalikan penyebaran virus sejak awal. Angka Rt di Taiwan praktis tidak pernah melebihi angka aman 1.0. 

Bagaimana dengan Indonesia? Kondisi kita memang tidak seburuk Italia dan beberapa negara di Eropa Barat yang sedang didera oleh gelombang kedua pandemi corona. Angka Rt Indonesia ada pada 1.113 seperti terlihat dalam gambar 3. 

Khusus untuk Jakarta kondisinya masih cukup parah dengan angka Rt di 2.08. Angka Rt Indonesia memang lebih rendah dibandingkan dengan Itali yang berada pada 2.30. Tetapi harus diingat bahwa angka Rt ini adalah koefisien dari fungsi eksponential, bukan fungsi linear. Sehingga berapapun angka di atas angka 1.0 belum bisa dikatakan aman. Kondisi amam baru akan tercapai bila angka Rt berada di bawah angka 1.0 selama 2 minggu berturut-turut. 

Bagaimana dengan negara tetangga seperti Vietnam, Thailand dan Singapura, sesama negara Asean yang sudah berhasil mengendalikan pandemi covid-19. Ketiga negara tersebut memiliki Angka Rt kurang dari 1.0, juga tanpa harus menunggu ditemukannya vaksin. Bahkan angka kematian (fatality rate) di ketiga negara tersebut relatif sangat kecil. 

Yang menjadi pertanyaan adalah apa sih rahasia kesuksesan negara-negara yang telah berhasil mengendalikan pandemi? Pertama adalah penerapan protokol kesehatan secara tegas. Harus dipahami bahwa corona adalah penyakit kerumunan (crowd desease). Maka untuk mencegah penularannya harus diterapkan 3 M secara tegas, yaitu memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. 

Hal ini harus dibarengi dengan peningkatan akuntabilitas penanganan pandemi, terutama di daerah zona merah. Kedua adalah 3 T, yaitu testing, tracking dan treatment. Peningkatan kapasitas tes dengan metode reaksi rantai polimerase atau PCR, mutlak dilakukan. Ini sangat diperlukan untuk melakukan deteksi, pengobatan sedini mungkin dan mencegah terjadinya fatalitas atau kematian akibat covid-19.

Sebenarnya Indonesia sangat diuntungkan karena posisi geografisnya yang berupa negara kepulauan. Laut yang menghubungkan (sekaligus memisahkan) antar pulau adalah tabir isolasi dari penyebaran pandemi yang sangat ampuh. Apalagi di pulaupulau di mana lalu lintas penduduk antar pulau relatif terbatas. Maka bisa diterapkan strategi yang berbeda antara satu pulau dengan pulau yang lain. Untuk kawasan di luar pulau Jawa dan Sumatera, fokusnya awalnya pada menurunkan angka infeksi.

Lalu dilanjutkan dengan menerapkan 3 T yang dijalankan secara masif dan dibarengi dengan pengawasan jalur-jalur masuk ke pulau-pulau tersebut. Dalam hal ini kita harus belajar dari kasus di Taiwan yang mengunci penyebaran covid di perbatasan, yaitu di bandara dan pelabuhan. 

Begitu pandemi berhasil dikendalikan, maka ekonomi dibuka secara normal. Keberhasilan pengendalian pandemi di pulaupulau tersebut akan membawa spirit positif bagi langkah-langkah penanganan yang lebih besar.

Untuk pengendalian transmisi pandemi antar propinsi di Pulau Sumatera, kita perlu belajar dari kasus penanganan pandemi di Vietnam dan Thailand yang menjaga perbatasan negaranya dengan ketat. Mereka mengawal dan mengawasi lalu lintas penduduk antar negara lewat jalur darat secara ketat. Jadi kata kuncinya adalah pengendalian di jalur-jalur perbatasan dan lintas propinsi agar pendemi bisa dikendalikan. 

Sementara di dalam propinsi itu dilakukan penegarakan 3 T secara masif yang dibarengi dengan penanganan virus. Bagaimana dengan pulau Jawa yang sarat dengan lalu lintas penduduk antar
propinsi, antar kota bahkan juga menjadi pintu masuk dari negara lain? Ini memang menjadi tantangan tersendiri. Tidak mungkin membatasi lalu lintas penduduk tanpa mengorbankan ekonomi secara besar-besaran. 

Maka di pulau paling padat ini, penerapan 3 T harus dibarengi dengan implementasi dan penerapan 3 M secara tegas agar ekonomi dan pengendalian pandemi bisa berjalan bareng. Harus dipahami bahwa pulau Jawa menyumbang lebih dari 70% pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tidak mungkin pandemi bisa diselesaikan sendiri oleh pemerintah.

Partisipasi masyarakat, terutama kesadaran masyarakat akan perlunya menjalankan protokol kesehatan yang dibarengi dengan penerapan sanksi yang tegas perlu dijalankan. Dalam hal ini kita perlu belajar dari kesadaran dan kedisiplinan masyarakat di Jepang dan Singapura untuk penanganan pandemi di pulau Jawa. 

Inilah momentum yang tepat untuk menata ulang penanganan pandemi covid-19. Langkah cerdas ini jauh lebih baik dibandingkan hanya memimpikan ditemukannya vaksin yang masih butuh waktu lama. Mari kita bergotong-royong melawan covid-19.
 

Quote