Jakarta, Gesuri.id – Disiplin, disiplin, dan disiplin. Filosofi itu tampaknya sudah terlalu melekat pada pribadi Mayor Jenderal (Mayjen) Tentara Nasional Indonesia (TNI) (Purn) TB Hasanuddin.
Kedisiplinan telah menjadi nilai yang tertanam sejak Hasanuddin mengenyam pendidikan akademi militer (akmil) pada 1972. Lulus dari akmil, pria kelahiran Majalengka, Jawa Barat (Jabar), 8 September 1952, itu ditugaskan di Batalyon Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi hingga 1983.
Baca TB Hasanuddin Merenovasi Rumah Janda Tua Penjual Lotek di Sumedang
Karier Hasanuddin berlanjut kala ia dipercaya menjadi Instruktur AKABRI Magelang, Jawa Tengah (Jateng), sebelum akhirnya ditugaskan di Kodam I Aceh hingga 1989.
Karier kemiliteran Hasanuddin semakin bersinar saat dia diminta mengajar di Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat (Seskoad) Bandung, Jabar. Pada 1992, Hasanuddin pun dipercaya menjadi Komandan Sektor Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Irak pada 1992.
Kedekatan Hasanuddin pada dunia politik bermula saat ia menjadi ajudan Wakil Presiden Try Sutrisno dan ajudan Presiden BJ Habibie.
Perjalanan itu berlanjut. Pada 2021, Hasanuddin ditugaskan sebagai Sekretaris Militer Presiden Megawati Soekarnoputri. Ia juga didapuk sebagai Sekretaris Militer Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Mulai 2009, Hasanuddin pun mantap melanjutkan perjuangan di bidang politik. Meski tak lagi di militer, kebiasaan disiplin terus dipegang saat mengemban tugas sebagai wakil rakyat pada Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Saat di militer, urusan makan saja harus disiplin. Kebiasaan tersebut telah mendarah daging dan menjadi modal penting saat menjalankan amanah sebagai wakil rakyat,” ujar Hasanuddin saat ditemui di kantornya di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (6/7/2023).
Saat rapat, misalnya, Hasanuddin selalu datang tepat waktu. Begitu juga terkait dengan jam tiba di kantor. Ia selalu tepat waktu meski tidak ada agenda rapat.
Bagi Hasanuddin, disiplin itu nilai hidup yang harus dijga, tak hanya saat ia berkarier di militer. Ia mengaku, disiplin memengaruhi fokusnya dalam bekerja.
“Menjadi anggota dewan berarti harus berfokus kepada pengabdian (kepada masyarakat). Jangan sambil bisnis,” tegas anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan itu.
Fokus pada Ancaman Negara
Hasanuddin melanjutkan, fokus juga harus menjadi kunci bagi pemerintah dalam menghadapi potensi ancaman terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Per lima tahun, pemerintah merumuskan potensi ancaman negara dalam Rencana Strategis (Renstra) pembangunan kekuatan Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan TNI. Renstra ini diwujudkan lewat program Minimum Essential Forces (MEF),” jelas Hasanuddin.
Untuk bisa menanggulangi ancaman secara tepat, lanjut dia, pemerintah harus fokus dan berpegang teguh pada Renstra.
Hasanuddin menjelaskan, dalam ilmu militer, penanggulangan ancaman harus dilakukan secara strategis dan sistematis.
“Hal pertama yang perlu dilakukan adalah memetakan potensi ancaman. Pemetaan ini harus melibatkan berbagai pihak, mulai dari kepolisian, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kemhan,” tutur dia.
Kemudian, pemerintah perlu memahami kemampuan yang dimiliki untuk penanggulangan ancaman. Hal ini salah satunya berkaitan dengan pendanaan.
Dari situ, pemerintah dapat membuat standar penangkalan ancaman serta menyiapkan postur TNI yang meliputi tentara dan alutsista.
Berbicara tentang alutsista, Hasanuddin juga sempat menyoroti rencana Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto untuk membeli 12 jet tempur Mirage 2000-5 bekas Qatar Air Force (QAF).
"Kondisi apa yang mendesak sampai Indonesia harus membeli pesawat tua. Alutsista bekas akan membutuhkan biaya suku cadang pemeliharaan serta punya masalah umur pakai (lifetime),” ujar Hasanuddin.
Presiden Jokowi sendiri, lanjut dia, menegaskan agar pembelian alutsista TNI diutamakan berasal dari perusahaan industri pertahanan dalam negeri. Hal ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Baca Elektabilitas Menanjak, TB Hasanuddin Yakin Ganjar Juarai Jabar dan Banten
Lebih dari itu, pada Renstra Pertahanan 2019-2024, Hasanuddin menilai tidak ada potensi ancaman militer yang memaksa pemerintah harus mempersenjatai negara dengan jet tempur.
Menurut dia, saat ini, potensi ancaman kedaulatan militer Indonesia, khususnya di wilayah perbatasan, adalah pelanggaran lintas batas, penebangan liar, dan peredaran narkoba.
Pemerintah harus berfokus pada potensi ancaman tersebut. Idealnya, ancaman ini bisa ditanggulangi dengan melakukan pengetatan pemantauan di wilayah perbatasan.