KURBAN adalah salah satu ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Namun masih banyak yang bingung, apa sebenarnya hukum qurban itu. Apakah wajib atau sunnah? Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa hukum qurban dalam Islam itu wajib bagi yang memiliki kelapangan harta dan cukup rezeki untuk melakukannya dan bagi umat Muslim yang kurang mampu maka gugurlah kewajiban tersebut.
Merespon itu, saya sebagai Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Tuti Roosdiono, dan sebagai wakil rakyat di Daerah Pemilihan Jawa Tengah I masih menemui beberapa keluarga yang tergolong dari kalangan ekonomi kurang mampu namun masih memikirkan bagaimana bisa ikut berkurban setiap tahunnya.
Ketaatan sebagian masyarakat di Dapil saya pada ajaran Agama patut diapresiasi. Namun ijinkan saya dalam tulisan ini mengimbau kepada Umat Islam yang kurang mampu untuk tidak memaksakan berkurban jika kondisi perekonomian masih kurang memungkinkan.
Jika ada pasangan keluarga yang baru menikah dan memiliki bayi yang lebih butuh susu, popok, atau anak-anaknya yang masih sekolah, dan lebih butuh biaya pendidikan ketimbang harus memaksakan untuk berkurban yang biayanya cukup mahal bagi keluarga dari kalangan menengah ke bawah.
Memang kurban itu akan mendatangkan berkah. Menyucikan harta. Dan kisah Nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih anak kesayangannya Ismail oleh Allah, mengajarkan kita tentang arti keikhlasan dan kepatuhan terhadap perintah Tuhan untuk tidak mengutamakan harta benda atau orang yang kita sayangi sekalipun secara berlebihan.
Namun banyak dari masyarakat kita yang salah kaprah dengan menganggap kurban itu wajib. Memang niatnya mulia, ingin berusaha dengan bekerja keras agar bisa menabung untuk kurban.
Bahkan ada kisah seorang pemulung yang menabung untuk berkurban. Itu sah sah saja dan tidak dilarang. Dan saya sepakat sedekah atau kurban tidak harus menunggu sampai kaya.
Namun perlu diketahui, Rasulullah SAW pernah menegur ketika mendapati para sahabat yang hendak bersedekah namun dinilai terlalu berlebihan.
Adalah Sa’ad bin Abi Waqash sakit keras, ia menyangka ajalnya akan datang. Ketika itu ia ingin menyedekahkan seluruh hartanya. Bagaimanakah sikap Rasulullah dalam hal ini?
Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, ”Rasulullah menjengukku karena sakit keras yang menimpaku saat haji Wada’. Aku berkata, ‘Engkau sudah melihat apa yang aku alami, sementara aku adalah seorang yang mempunyai harta dan tidak ada yang menjadi ahli warisku kecuali seorang anak perempuan. Apakah aku bisa bersedekah dengan dua pertiga hartaku?’
Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana kalau separuhnya?’
Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana kalau sepertiga?’
Beliau menjawab:“Sepertiga itu banyak. Engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada manusia. Tiadalah engkau menafkahkan sesuatu dengan mengharap pahala dari Allah maka engkau akan diberi pahalanya sampai apa yang engkau masukkan ke dalam mulut istrimu sendiri’.” (Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Malik).
Inti dari tulisan ini adalah bagaimana masyarakat Indonesia yang masih di bawah garis kemiskinan untuk mengatur keuangannya secara matang. Tugas kepala keluarga dan istri untuk merencanakan sesuatu secara terukur dan tepat dalam menghidupi rumah tangganya. Bagaimana membesarkan anak, karena tumbuh kembang mereka adalah tanggung jawab orang tua.
Mirisnya, masih ada orang yang niat berkurban hanya untuk pamer atau riya'. Bukan semata karena menjalankan perintah agama.
Saya berharap masyarakat jangan memaksakan kehendak untuk berkurban. Bahkan ada yang sampai gadai motor, untuk bisa berkurban. Tapi setelah itu tercekik dengan cicilan untuk menebus BPKB motor. Dan susu anak jadi tidak terbeli.
Insya Allah, jika keluarga diutamakan, maka keberkahan akan datang dengan rizki yang semakin berlimpah, sehingga jika sudah begitu, kita bisa menysihkan sebagian harta kita untuk berkurban.