Bung Karno, dalam pidatonya berjudul: "Deklarasi Ekonomi" tanggal 28 Maret 1963, sebagai Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia menggelorakan semangat Rakyat dan Bangsa Indonesia yang kala itu tengah mengalami krisis ekonomi dan politik. Sukarno memaparkan tentang strategi dasar ekonomi Indonesia.
Tahap pertama yaitu harus menciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan bersih dari sisa-sisa feodalisme.
Baca: PDI Perjuangan di Mata Iis Sugianto
Meski demikian Bung Karno menyadari bahwa sisa-sisa kolonial dan sisa feodal dan demikian pula sifat-sifat hubungan ekonomi dan perdagangan dengan dunia luar masih juga memberikan rintangan dalam pertumbuhan ke arah Sosialisme Indonesia.
Khususnya blok-blok ekonomi negara, dan dengan demikian memperkuat dominasi ekonomi dari “the oleh established forces”. Berhubung dengan itu maka Bung Karno menekankan pemerintah berusaha untuk menghilangkan kelancaran perdagangan internasional, akan tetapi yang di samping itu terlebih-lebih menekan perkembangan pembangunan ekonomi di negara-negara yang baru saja memasuki alam kemerdekaan.
Lalu setelah 55 kemudian dari usia pidato tersebut dan 73 tahun Indonesia merdeka, apakah kemudian bangsa ini telah bersih dari sisa-sisa imperialisme dan bersih dari sisa-sisa feodalisme dari dominasi ekonomi blok-blok negara terkuat di dunia?
Seperti diketahui saat ini AS adalah negara ekonomi terkuat pertama di dunia dan China negera ekonomi terkuat kedua. Perang dagang yang dilancarkan pemimpin negara keduanya sebagai upaya memperkuat posisi ekonomi dan politik keduanya telah berdampak sangat terhadap perekonomian secara global. Tak terkecuali Indonesia, dimana negera ini sayangnya selama ini menjadi pasar AS dan China.
Apabila kita secara lengkap membaca pidato Bung Karno tentang "Deklarasi Ekonomi" itu maka dapat disimpulkan capaian ekonomi yang baik haruslah merupakan hasil perjuangan rakyat Indonesia bersama pemerintah. Hal itu lahir dari dasar pemikiran Bung Karno: “self-reliance” (jiwa yang percaya kepada kekuatan sendiri) dan “self help” (jiwa berdikari) yang kemudian disempurnakan menjadi konsep Berdikari.
Gelora dan semangat itulah yang harus diingat kembali saat ini dimana nilai mata uang Rupiah terdepresiasi sangat dalam akibat dampak krisis ekonomi global.
Seperti diketahui, Selasa (4/9) malam, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) telah menembus angka Rp 15.029. Dilansir dari laman Kursdollar.net, hingga pukul 19.20 WIB, Selasa malam, nilai tukar rupiah mencapai Rp 15.029 per dolar AS.
Dikutip CNBC, Senin (3/9), nilai tukar rupiah yang menyentuh 14.777 per dolar AS saja telah menyentuh level terlemahnya sejak tahun 1998.
Dalam situasi seperti ini sebaiknya sesama Anak Bangsa tidak saling menyalahkan apalagi tujuannya untuk menjatuhkan pemerintahan yang saat ini sedang berjuang, sedang bekerja keras, hanya demi untuk kepentingan segelintir orang dan pihak-pihak tertentu. Khususnya menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2019 mendatang.
Menanggapi depresiasi nilai tukar rupiah saat ini, Caleg PDI Perjuangan, Iis Sugianto saat mengunjungi redaksi Gesuri, Selasa (4/9), mengatakan dirinya sangat optimistis negara ini bisa melalui masa sulit ini. "Tentunya saya prihatin namun tetap optimis," ujarnya.
Iis, biduan cantik era 80-an yang memiliki daerah pemilihan DKI 3 yang meliputi Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu, juga menilai gencarnya pro dan kontra isu pelemahan mata uang saat menjelang pemilu di negara manapun merupakan hal yang biasa.
Yang terpenting, menurut Iis pemilik nama asli Istiningdiah Sugianto, bangsa Indonesia harus tetap optimistis dan bersatu, jangan mau dipecah-belah baik dari dalam maupun luar negeri. "Saya yakin kita akan melewati masa ini. Indonesia sangat kaya. Insya Allah bisa kembali lagi, dolar bisa turun," ungkapnya.
Tertekan 1.563 Poin
Mata uang rupiah sudah tertekan sebanyak 1.563 poin (11,6%) terhadap dolar AS terhitung sejak awal tahun hingga saat ini (year to date). Mengutip data perdagangan Reuters, dolar AS bergerak dari Rp 13.281 hingga Rp 14.825 sepanjang tahun ini.
Fakta tersebut membuat rupiah pada tahun ini menjadi salah satu mata uang berkinerja terburuk di Asia. Hal itu didorong dengan defisit transaksi berjalan hingga krisis lira Turki yang mengakibatkan kekacauan di pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Jatuhnya rupiah ke level terlemahnya terhadap dolar dalam lebih dari 20 tahun terakhir, mendorong Bank Indonesia (BI) untuk turun langsung mengintervensi ke pasar keuangan.
BI telah melakukan beberapa intervensi sejauh ini seperti menaikkan suku bunga acuan hingga empat kali sejak Mei sampai Agustus. BI juga telah menekan cadangan devisa untuk membeli rupiah di pasar valas.
Dengan cadangan devisanya berkurang, pemerintah juga memberlakukan pembatasan impor karena akan menahan defisit neraca berjalannya, yang mengukur arus barang, jasa, dan investasi masuk dan keluar dari Indonesia. Impor yang lebih sedikit juga mengurangi kebutuhan untuk menjual rupiah untuk membeli lebih banyak mata uang asing untuk memenuhi kebutuhannya.
Baca: Pelukan Jokowi-Prabowo, Iis Sugianto: Inilah Indonesiaku
Jangan Persulit Jalannya Bisnis
Tertekannya nilai rupiah yang sangat berat membuat Presiden Joko Widodo langsung mengundang Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani serta Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo untuk membahas mengenai pelemahan nilai tukar Rupiah. Rapat tersebut digelar terbatas di Istana Negara, Jakarta, Senin (3/9).
Menko Darmin mengatakan, dalam pertemuan tersebut Presiden Jokowi meminta jangan sampai pelemahan Rupiah menyulitkan jalannya bisnis di Indonesia. Selain itu, para menteri juga diminta menjaga agar investasi asing tidak keluar dari Indonesia.
"Artinya konsen pemerintah tentu saja pertama-tama. Jangan sampai Rupiah kemudian kurs buat bisnis menjadi susah dijalankan dan investasi asing di portofolio mulai pada keluar, lebih banyak ke arah itu. Ya politiknya tentu saja tidak bahas, yang dibahas ekonominya," ujar Menko Darmin di Kantornya, Jakarta, Senin (3/9).
Pertemuan itu juga membahas mengenai efektivitas upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menjaga fluktuasi nilai tukar Rupiah. Beberapa di antaranya perkembangan devisa hasil ekspor (DHE), Biodiesel 20 persen (B20) dan ekspor batu bara.
"Presiden mendiskusikan dan menanyakan perkembangan langkah-langkah kebijakan yang sudah diambil terutama mengenai kurs Rupiah, menanyakan mengenai seperti apa perkembangan soal DHE, soal B20, soal ekspor batu bara, soal kebijakan impor yang sedang dibahas di Keuangan," jelasnya.
Mantan Direktur Jenderal Pajak tersebut juga mengatakan, pemerintah akan terus menyampaikan langkah stabilisasi yang telah dilakukan kepada masyarakat. Hal ini untuk menghindari anggapan bahwa pemerintah belum melakukan langkah apapun dalam meredam pelemahan nilai tukar mata uang garuda.
"Presiden mengatakan jangan sampai kalian sudah lakukan sesuatu, masyarakat bilang belum. Komunikasinya bagaimana, selain komunikasinya juga monitoringnya. B20 bahkan TKDN sudah ngomongin ini 2 tahun berarti monitoringnya gimana? Jangan sampe B20 juga sama lagi," paparnya.
Baca: Salurkan Bantuan, Iis Sugianto Terjun Langsung Sapa Korban
Jurus Jokowi Menyelamatkan Rupiah
Jauh sebelum rupiah terdepresiasi seperti sekarang ini, Presiden Jokowi telah mengeluarkan jurus penyelamatan rupiah.
Presiden Joko Widodo segera akan mengeluarkan kebijakan baru guna memperbaiki neraca perdagangan dan menahan pelemahan nilai tukar rupiah. Kebijakan tersebut diperkirakan membuat neraca perdagangan Indonesia mampu mencetak surplus US$4-6 miliar pada akhir tahun ini.
Defisit neraca perdagangan yang terjadi pada awal tahun ini menjadi salah satu biang keladi tertekannya nilai tukar rupiah. Sepanjang semester pertama tahun ini, neraca perdagangan defisit US$1,02 miliar. Defisit tersebut sebenarnya sudah turun dibandingkan Januari-Mei yang mencapai US$2,83 miliar.
Memang nilai tukar rupiah sejak beberapa bulan terakhir melemah hingga sempat menembus level terendah dalam lima tahun terakhir. Pada awal pekan ini, rupiah bahkan sempat menyentuh level Rp14.564 per dolar AS.
Presiden Joko Widodo bakal segera mengeluarkan kebijakan baru guna memperbaiki neraca perdagangan dan menahan pelemahan nilai tukar rupiah. Kebijakan tersebut diperkirakan membuat neraca perdagangan Indonesia mampu mencetak surplus US$4-6 miliar pada akhir tahun ini.
Defisit neraca perdagangan yang terjadi pada awal tahun ini menjadi salah satu biang keladi tertekannya nilai tukar rupiah. Sepanjang semester pertama tahun ini, neraca perdagangan defisit US$1,02 miliar. Defisit tersebut sebenarnya sudah turun dibandingkan Januari-Mei yang mencapai US$2,83 miliar.
Memang nilai tukar rupiah sejak beberapa bulan terakhir melemah hingga sempat menembus level terendah dalam lima tahun terakhir. Pada awal pekan ini, rupiah bahkan sempat menyentuh level Rp14.564 per dolar AS.
Perlu diketahui, pemerintahan Jokowi merupakan pemerintahan pertama dalam sejarah Indonesia yang tak merubah APBN-nya sejak era reformasi. Hal itu karena fakta membuktikan bahwa APBN 2018 tidak mengalami defisit, bahkan mencapai surplus. Itu juga sekaligus membuktikan bahwa meskipun republik ini masih memiliki hutang namun penggunaan dan pengelolaan anggaran negara telah dipergunakan dengan sebaik mungkin.
Tercatat, pada APBN 2018, asumsi awal keseluruhan penerimaan negara sebesar Rp 1.894 triliun. Tapi, justru keseluruhan penerimaan negara pada tahun 2018 sebesar Rp 1.903. Pendapatan negara itu diperkirakan lebih tinggi sebesar Rp 8,3 triliun.
Baca: Iis Sugianto Cinta dan Ingin Berjuang Bersama PDI Perjuangan
Dari sisi belanja negara, diperkirakan dengan penyerapan sekitar 95 persen hingga 96 persen, akan mencapai Rp 2.217,3 triliun hingga akhir tahun.
Untuk itulah Presiden Joko Widodo memutuskan tidak mengajukan perubahan terhadap rancangan anggaran perubahan, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2018 kepada DPR.
Mengapa Jokowi tak merubahnya? Sebab, Jokowi menilai postur dari APBN sebelumnya yang sudah baik, dan tidak mengharuskan pemerintah merubah anggarannya.
Meski demikian Presiden Jokowi tetap mengingatkan bahwa kondisi ekonomi global masih sulit diprediksi. Presiden Joko Widodo menyatakan kondisi perekonomian dunia saat ini masih diwarnai dengan ketidakpastian sehingga sulit diprediksi dan dikalkulasi.
Presiden Jokowi saat audiensi dengan sejumlah bupati di Istana Kepresidenan Bogor, belum lama ini bahkan mengatakan pemerintah harus bicara apa adanya terkait dengan pertumbuhan ekonomi.
"Berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, kita harus bicara apa adanya bahwa situasi ekonomi dunia sekarang ini masih betul-betul pada posisi yang sangat sulit," kata mantan Gubernur DKI Jakarta itu.