Ikuti Kami

Corona dan Daulat Reformasi Pendidikan Indonesia

Amilan Hatta, Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia Bidang Hubungan Antar Lembaga.

Corona dan Daulat Reformasi Pendidikan Indonesia

Jakarta, Gesuri.id - Dibutuhkan 74 tahun sejak kemerdekaan pembaharuan dunia pendidikan dapat digalangkan. Begitu sulitnya  menemukan treatment pada manusia menjadi PR yang cukup berat bagi pemerintah. Mengakomodir jutaan orang dengan pandangan berbeda adalah resiko yang harus ditanggung bangsa besar seperti ini. Tapi pikiran yang lapang tidak pernah lebih sempit dari luasnya tanggung jawab. Seperti itulah yang dapat kita saksikan saat ini. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan putuskan pembatalan ujian nasional akibat dampak pandemi virus corona atau yang dikenal juga dengan sebutan Covid-19 yang telah menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia. Ujian nasional ini memang telah lama menjadi momok bagi peserta didik dari masa ke masa. Dimulai dari kasus depresi sampai dengan aksi bunuh diri. 

Memang benar bahwa mengukur kompetensi adalah sesuatu yang dibutuhkan. Tapi dalam dunia pendidikan, pengukuran dilakukan untuk menentukan perlakuan ajaran, bukan sebatas klasifikasi intelektual. Manusia punya masa kembang yang berbeda antara satu dan yang lainnya.Tapi tidak berarti juga setiap siswa memiliki satu guru pada masing masing mereka. 

Eloknya pendidikan hari ini, standarisasi ujian sekolah tidak diperkenankan menjadi ukuran ketuntasan kurikulum. Mungkin sedikit aneh, tapi kita perlu berterimasksih pada pandemi hari ini. Covid-19 memaksa kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung dengan sistem daring. Dengan demikian, materi pembelajaran mengalami penentuan skala prioritas. Tapi justru inilah yang dibutuh sedari dulu dalam penanganan pendidikan Indonesia. 

Pemerintah melalui Kemendikbud menginstruksikan KBM dominan pada materi kecakapan hidup. Maka dari itu stimuli untuk mengembangkan diri bagi siswa akan terbangkitkan. Kemendikbud mencontohkan salah satunya adalah tentang bagaimana menyikapi dan mengkonter pandemi Corona. Meskipun sebenarnya, hukum dasar dari pelarangan pendidikan di sekolah semetara ini adalah mencegah adanya kerumunan massa untuk memutus sebaran virus.

Nampaknya corona juga menjadi alasan kebijakan ini tidak dipersoalkan masyarakat. Sebelumnya perdebatan tentang keberadaan ujian nasional (UN) maupun ujian sekolah selalu menjadi isu yang menarik. Belum lagi tentang ketentuan penerimaan peserta didik baru yang tidak lagi disandarkan pada hasil ujian. Pemerintah menetapkan lima semester terakhir nilai raport siswa sebagai acuan. 

Kita mungkin belum bisa melihat hasilnya secara nyata. Tapi setiap orang akan bersepakat putusan ini adalah kebijaksanaan dalam sebuah kebijakan. 

Prestasi akademik dan non akademik siswa kini memiliki tempat penting dalam penilaian. Kelas pendidikan mulai berubah  menjadi strata baru yang menuntut adanya pencapaian. Sederhananya, setiap orang berhak memperoleh apresiasi dari minatnya sendiri. Kurikulum 13 sebelumnya telah menerapkan sistem yang sama. Namun saat ini, titik prematur mulai bisa dibahasakan matang. 

Tentunya kebijakan ini mempertimbangkan beberapa hal. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan perpanjangan status siaga tertentu darurat Covid-19. Peningkatan jumlah pasien terdampak tentu menjadi sorotan utama. Belum lagi masih kurangnya ketersediaan alat bantu medis dan peningkatan korban meninggal. Putusan BNPB yang tertuang pada nomor 13.A tahun 2020 ini merupakan pijakan utama kebijakan Kemendikbud.

Sekilas dalam surat keterangan Badan Standar Nasional Pendididakan (BSNP), daerah sebelumnya telah mengajukan penundaan Ujian. Terlebih BSNP juga merujuk pada data monitoring dan evaluasi ujian nasional SMA/MAK anggota Litbang dan pembukuannya. Artinya kebijakan ini telah mengikuti tahap dari jenjang ke jenjang. Maka mekanisme kedepan yang perlu diperhatikan adalah perihal software yang digunakan.

Ada beberapa aplikasi yang memungkinkan tatap muka antara guru dan murid. Beberapa juga hanya sebatas Focus Group Discussion (FGD).  Namun Perangkat yang secara resmi diturunkan dari pemerintah juga belum dirilis. Sejauh ini yang menjadi permasalahn adalah efektifitas belajar. Tidak bisa disamakan antara KBM eksklusif dengan KBM perantara jejaring sosial.  

Dalam kondisi wabah seperti ini, tinggal bagaimana para guru mengolah sistem belajar dengan siswanya. Pemerintah menginginkan konstruksi pendidikan kreatif yang tetap memerhatikan kesenjangan akses fasilitas belajar dirumah. Mugkin terlihat sedikit memaksa. Guru seolah mengalami uji kelayakan dengan momentum ini. Ya, uji kelayakan apakah secara kapasitas mereka sanggup bersaing di era digital dalam persaingan global dunia pendidikan?. Metode pembelajaran pun disusun untuk tetap pada kualitas yang normal dalam rentang waktu yang relative singkat dan dadakan.

Kita bermasalah pada kualitas guru. Transisi menuju media daring dari face to face sudah cukup menjadi jawaban. Tidak ada yang mampu menjamin bahwa setiap guru melazimkan e-learning.Terlebih persoalan yang tengah dihadapi bukan sebatas KBM, tapi juga mengkondisikan ujian akhir. Untuk dipahami, pemerintah menghimbau pembelajaran mengikuti minat belajar siswanya.

Alat peraga adalah instrument yang akan dibutuhkan. Memperhatikan kesenjangan alat rumah juga menjadi tantangan untuk disesuaikan. Berbicara sedikit realistis, metode semacam ini sejatinya baik diterapkan sebelum atau sesuadah pandemi berlangsung. Tetapi  mungkin lebih elok mengambil jalan tengah terkait minat siswa dengan kelengkapan alat belajar di rumah dengan standar yang dimiliki oleh setiap siswa di rumah. Karena mengakomodir secara keseluruhan adalah sebuah hal mustahil. 

Sebagai masyarakat, kita pun harus memahami keterbatasan pemerintah saat ini. Adapun kebijakan yang berjalan adalah murni untuk mempertahankan kualitas hidup di tengah wabah. Stigama akan pendidikan yang kaku setidaknya dapat terpatahkan. Harus diakui, gagasan dan kebijakan yang muncul telah sampai pada putusan yang berani dan perlu diapresiasi. 

Penugasan online bagi siswa adalah solusi dari keterbatasan akses.  Pemerintah juga memberhentikan sistem zonasi, semua adalah cara memahami minat siswa untuk tetap berada pada semangatnya. Kondisi ini memperjelas dua peta capaian yang hendak diraih. Pertama, pemerintah ingin tetap memperjalankan pendidikan di rentang masa sulit ini. Kedua adalah, pemerintah ingin mengajarkan treatment baru tentang cara mendidik manusia dan memanusiakan manusia.

Quote