Oleh: Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Berita pagi ini dari Mas Pratik, Menteri Sekretaris Negara tentang dipanggilnya Mas Conny kehadirat Ilahi begitu mengejutkan saya. Seluruh perasaan campur aduk: kesedihan, duka cita, dan sekaligus terbentanglah seluruh rekam jejak sejarah perjalanan bersama Sosok Cendekiawan Soekarnois yang begitu saya kagumi.
Prof. Dr. Cornelis Lay, M.A. merupakan sosok akademisi yang mampu membuat sintesis yang tepat antara pemikiran Bung Karno dan jalan politik Megawati Soekarnoputri. Sintesis pemikiran yang lahir dari kesadaran untuk menjadikan politik sebagai keyakinan ideologis; politik sebagai dedikasi bagi kepentingan umum; politik sebagai kesabaran revolusioner untuk memerjuangkan sebuah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bebas dari berbagai belenggu penjajahan. Melaui sosok seperti Cornelis Lay, Ibu Megawati Soekarnoputri dapat berdialog berjam-jam, melakukan ‘recalling’ keseluruhan ide, gagasan, cita-cita, dan perjuangan Bung Karno yang dibumikan dalam alam kekinian. Keduanya secara intens membaca apa yang tidak tertulis, merasakan apa yang tidak nampak, dan mencari makna atas setiap peristiwa politik dengan “terang” pemikiran Bung Karno.
Ibu Megawati Soekarnoputri-Cornelis Lay, menjadi sahabat justru karena “sikap bebas” Cornelis Lay yang terus hadir sebagai sosok pemikir-intelektual. Ia tidak melibatkan diri dalam jabatan kekuasaan politik praktis. Ia lebih memilih berdedikasi di dalam mengurai dan memformulasikan sintesa setiap gagasan Bung Karno dalam praktik politik Megawati Soekarnoputri.
Tak heran, dalam setiap langkah, hingga jebakan politik yang sering diciptakan kala berhadapan dengan pemerintahan otoritarian Orde Baru, Ibu Megawati seringkali menempuh jalan diam. Diam sebagai strategi. Diam membangun ruang kontemplasi dan diam penuh kesabaran diri.
Dalam jalan diam itulah, Cornelis Lay hadir, dan menjadi teman, sahabat, sekaligus sparing-partner diskusi Ibu Megawati. Dalam diam itulah sosok Cornelis hadir dan bersama Megawati menggali pemikiran banyak tokoh, merasakan pemikiran itu dalam kesatuan akal budi dan hati.
Dalam periode 1998 hingga 2014, saya sering mendampingi, atau tepatnya mengantar Mas Conny ke Kebagusan, Teuku Umar dan di berbagai tempat, menjadi saksi atas dialog politik yang selalu terjadi dalam keheningan, sebab yang dibahas adalah masa depan negeri. Dalam keseluruhan perjalanan politik, saya sungguh bersyukur, bahwa saya berkesempatan mendapatkan “mutiara gagasan” yang ikut membentuk seluruh kesadaran ideologi, kesadaran politik, dan kesadaran berorganisasi, serta kesadaran berkebudayaan, yang dibelakang hari begitu berguna dalam seluruh perjalanan politik saya di PDI Perjuangan.
Melalui Prof DR Cornelis Lay pula, saya memahami keteguhan sikapnya untuk tetap berdiri pada jalan intelektual. Jalan yang menjaga jarak dengan politik, namun menceburkan diri dengan sikap “lepas-bebas” agar tetap bertahan pada obyektivitas dan mengawal kebenaran dalam politik. Apa yang dilakukan Mas Conny ini sejalan dengan sikap intelektual, yang berangkat dari makna ilmu pengetahuan yang digagas Bung Karno untuk diterapkan guna mengabdi pada perjuangan kemanusiaan.
Perjuangan politik kemanusiaan inilah yang terus digagas dan ditekuni oleh Mas Conny. Dengan demikian, penemuannya terhadap Jalan Ketiga Peran Intelektual sebagai Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan tidak terlepas dari dialog panjang, dan koneksitas gagasan Bung Karno yang dipraktekkan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri.
Interaksi ilmu pengetahuan dan kekuasaan sebagaimana digagas Mas Conny, pernah disampaikan Bung Karno ketika menerima gelar Doktor Honoris Causa Ilmu Hukum, 19 September 1951. Ilmu pengetahun hanya berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi pada praktek hidupnya manusia, atau praktek hidupnya bangsa, atau praktek hidupnya kemanusiaan… Itulah sebabnya mengapa Bung Karno selalu mencoba menghubungkan ilmu dengan amal; menghubungkan pengetahuan dengan perbuatan, sehingga pengetahuan ialah untuk perbuatan dan perbuatan dipimpin oleh pengetahuan. Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal!
Ilmu dan amal yang digaungkan Bung Karno, dalam praktek politik tidak mudah diimplementasikan. Apalagi ketika selama pemerintahan Orde Baru, dunia akademis sering digunakan untuk melegalisasi kebijakan pemerintah sehingga terjadi “kebekuan” antara dunia akademis dan politik pemerintahan.
Kejernihan Mas Conny terlihat ketika mensintesis pemikiran Bung Karno dengan praktek politik Megawati Soekarnoputri yang berupaya menegakkan prinsip bahwa ilmu pengetahuan dan kekuasaan politik harus berjalan seiring dalam bahasa kemanusiaan.
Ibu Megawati mengalami praktek-praktek politik kotor, homo homini lupus. Manusia dilihat sebagai serigala bagi sesamanya. Bahkan di era politik kontemporer saat ini, praktek menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan masih terus dilakukan. Aktor politik banyak melakukan pembunuhan karakter, fitnah, sampai pada penghilangan nyawa lawan politik sebagai satu hal yang biasa.
Refleksi kritis atas berbagai praktek politik kotor yang dialami Ibu Megawati dan PDI Perjuangan, bagi sosok Cornelis Lay menjadi api harapan bahwa jalan politik bukan semata-mata meraih kekuasaan tetapi bersatu dengan rakyat dalam bahasa kemanusiaan, sebab politik itu berkeadaban.
Politik berkeadaban dan jalan kemanusiaan itulah buah ‘dialog batin’ antara Ibu Megawati dan Mas Conny. “Sebagai politisi, setiap kader PDI Perjuangan harus kedepankan politik kemanusiaan, politik humanis, sebagai perwujudan ilmu dan amal”, ujar Mas Conny suatu ketika. Bahkan dalam suatu perjalanan pulang paska ‘geger politik” Sidang Umum MPR 1999, ketika saya masih awam terhadap berbagai bentuk ‘penjegalan politiik’, saya mencatat kata bijak sosok pemikir pejuang tsb: “antara pemilu legislatif dan apa yang terjadi di Sidang Umum MPR 1999 seharusnya merupakan satu nafas kehendak rakyat, one electoral processes. Etika dan moral kekuasaan politik inilah yang harus dipeganh. Untuk apa sebuah kemenangan dalam kontestasi politik bila harus mengoyak rasa keadilan dan rasa kemanusiaan serta mengabaikan kehendak rakyat yang disuarakan melalui Pemilu. Maka politik tidak boleh kehilangan watak kemanusiaan itu”.
Jalan kemanusiaan adalah esensi pokok semangat pembebasan yang dikumandangkan oleh Bung Karno. Suatu jalan yang dipraktekkan dalam politik melaui cara berpikir dialektis, berpikir kritis. “Sebab yang diubah bukan hanya tatanan hidup, tetapi juga mentalitet, dan struktur sosial yang tidak adil”, kata mas Conny yang selalu merasuk dalam pikiran saya, membentuk landasan sikap ideologis dan jalan intelektual khas bagi sosok Cornelis Lay.
Karena itulah, saya tidak heran atas gagasan jalan ketiga peran intelektual yang digagas Prof. Dr. Cornelis Lay, M.A. dalam pidato pengukuhan guru besar UGM tsb. Kesemuanya bertopang dari daya kritisnya.
Melalui daya kritis dan tradisi intelektual yang sama, Mas Conny, memberikan pemaknaan secara akademis atas label melekat yang ditujukan ke PDI Perjuangan seperti demokrasi arus bawah, mimbar demokrasi, posko gotong royong, penggembira politik, hingga label PDI Perjuangan sebagai Partai Wong Cilik. Pemaknaan secara akademis tsb menjadi basis intelektual atas proses konsolidasi demokrasi dan kristalisasi ideologi. Melalui dialog intens dengan Megawati, Cornelis Lay juga mampu mengurai kegelisahannya ketika berkiprah di dua bidang yang diperhadap-hadapkan. Ia adalah ilmuwan yang akrab dengan dunia politik. Penghayatannya pada ajaran-ajaran Bung Karno, dan pengalaman empiris selama berinteraksi dengan Ibu Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan membuktikan bahwa peran intelektual sangat dibutuhkan dalam melaksanakan kekuasaan. Akan tetapi watak dan cara kekuasaan yang terbentuk harus berinti pada kemanusiaan.
Pemikiran Mas Conny sangat kontekstual. Harus ada ruang tradisi intelektual dalam kekuasaan agar terjadi konvergensi antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan yang dipertemukan dalam bentuk pengabdian pada kemanusiaan. Jalan ketiga dalam politik Indonesia kontemporer bagi kaum intelektual sebenarnya mewujud pada diri Cornelis sendiri. Ia mampu memberikan warna intelektualitas pada praktek politik di PDI Perjuangan. Di sisi lain, ia juga tidak kehilangan kekritisan akademis ketika berada di antara para politisi.
Kebebasan ruang gerak kaum intelektual ke dalam praktek politik Indonesia tanpa meninggalkan daya kritis keilmuan atau pun menggadaikan pemikiran demi kekuasaan akan menjadi gerbang bagi kebangkitan bangsa di masa depan. Sebab bangkitnya sebuah bangsa sangat ditentukan pada kemampuan mensinergikan kekuatan politik, kekuatan kaum intelektual, dan kekuatan masyarakat.
Kepada Mas Conny, seluruh kader PDI Perjuangan ikut menghayati apa yang menjadi pesan Bung Karno, bahwa dalam setiap perjuangan, pahit-getirnya perjuangan, seluruh romantika, dinamika, dan dialektikanya perjuangan, kesemuanya tidak ada yang sia-sia. Terlebih ketika perjuangan itu didedikasikan bagi kepentingan bangsa dan negara; kepentingan ilmu pengetahuan, dan kepentingan umat manusia pada umumnya. Maka tidak ada perjuangan yang sia-sia, no sacrife is wasted!!!.
Mas Conny, Bung telah memberikan cahaya terang bagi kehidupan politik yang mengedepankan jalan kemanusiaan. Terimalah rasa terimakasih kami, rasa hormat kami dari seluruh simpatisan, anggota, dan kader PDI Perjuangan. Selamat jalan Mas Conny, engkau telah pergi, namun pemikiranmu akan semakin bersemi.