Jakarta, Gesuri.id - Menatap kompleksitas dinamika eskalasi global hari ini, jelas merupakan tantangan perjuangan yang tidaklah sederhana. Terkadang dinamika sosio-politik dan ekonomi global justru terasa sangatlah menekan, dan bisa malah mengintervensi negara kita. Kenyataan ini sudah menjadi rahasia umum, sehingga menuntut pemerintah ke depan harus lebih bijak dan taktis ketika menentukan kebijakan luar dan dalam negeri.
Artikulasi sederhananya, ketika kondisi riil seperti itu terjadi, maka pertanyaannya adalah, bagaimana sikap pemerintah dalam menentukan arah setiap kebijakannya dan sekaligus disaat yang sama, bagaimana menerjemahkan penguatan logika ideologi konstitusional?. Karena jika terjadi problem yang tak terhindarkan, maka semua itu akan meniscayakan tuntutan yang harus segera dijawab dengan rasionalisasi yang pasti dan jelas.
Uraian ini tentunya, penulis tidak akan masuk mengurai persoalan teknis dan delik luasnya implikasi setiap kebijakan, tapi hanya sekedar mencoba membahas garis besar, tentang sejauh mana kebijakan geopolitik itu berbasis penguatan pada kerangka logika ideologi negara dalam ruang kekuasaan pemerintah itu diimplementasikan.
Negara kita lahir dari sebuah proses perjalanan panjang yang sangat pahit dan memilukan hingga ratusan tahun, akibat kejahatan kemanusiaan penjajahan kolonialisme. Setidaknya bahwa faktor tersebut melahirkan pondasi yang membentuk prinsip dan nilai-nilai ideologi bangsa dan negara kita, maka lahirlah Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini.
Fakta historis tersebut bukan hal yang sepele, hanya untuk menjadi catatan sejarah di dalam ruang akademik atau sekedar menjadi referensi ilmiah buku-buku sejarah yang menjadi pajangan perpustakaan saja. Substansi yang ingin tegaskan bahwa, kenyataan sejarah tersebut berkaitan dengan sebuah tuntutan rasionalisasi yang sangat prinsipil soal arah dan tujuan perjuangan, independensi, jati diri, harkat dan martabat kehormatan bangsa dan negara sampai kapanpun.
Sehingga salah satu titik penekanannya sekali lagi adalah, sangat penting untuk menjawab sebuah pertanyaan seriusnya, tentang bagaimana rekam jejak pemerintah kita hingga saat ini setelah periode reformasinya, dalam membangun karakter ideologi geopolitiknya?.
Kita tidak sedang ingin mengungkap berbagai kesalahan setiap rezim yang pernah berkuasa di setiap periodenya, tapi sebagaimana isi pidato Bung Karno, "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (Jas Merah)". Dalam konteks filosofisnya, sejarah bukan sekedar bacaan kejadian masa lalu, tapi sejarah adalah menatap masa lalu untuk membangun 'spirit progresif' sebagai ikhtiar dalam membentuk arah peradaban bangsa dan negara ke depannya agar menjadi lebih baik, dan di saat yang sama bagaimana cara meletakkan secara tepat nasionalisme kita dalam taman sarinya pada ruang global.
Yakni soal komitmen perjuangan nilai kemanusiaan dan keadilan, sebagaimana hal tersebut tertuang pada pembukaan UUD 1945 - (Menghapus segala bentuk penjajahan di muka bumi). Setidaknya itulah salah satu yang penulis maknai tentang narasi besar pancasilaisme-progresif, yang sering diserukan oleh Bung Karno di berbagai tempat pada forum-forum resmi dan tidak resmi.
Spirit perjuangan agenda kolosal Konferensi Asia Afrika
Harus dikatakan sayang seribu sayang, ketika kita menatap wajah sejarah, bahwa agenda kolosal muatan perjuangan Konferensi Asia Afrika yang dicetuskan sang Proklamator hanya menjadi museum dalam keheningan seribu bahasa. Fakta ini terlihat sangat jelas, salah satu faktor penyebabnya diawali dari akibat langsung berbaliknya seratus delapan puluh derajat konsep kebijakan Orde Baru, selama kurang lebih tiga puluh dua tahun berkuasa, setelah masa kepemimpinan Bung Karno. Maka satu statement untuk itu, "wajibnya bangsa ini untuk menggelorakan kembali prinsip garis perjuangan Sang Proklamator, dalam memaknai kesejatian arti kemerdekaan".
Kenyataannya terjadi distorsi atau manipulasi oleh agenda kebijakan Orde Baru secara sistematis dan masif, tentang apa sebenarnya tujuan yang ingin direalisasikan sang proklamator tentang masa depan Indonesia. Soal karakter eksistensi bangsa dengan segala ketinggian nilai dan filosofi-ideologis konstitusional kita. Dapat dipastikan dari catatan sejarahnya, bagaimana posisi negara Republik Indonesia saat dinahkodai Bung Karno, sangat luar biasa capaian prestasi negara kita dalam menjawab problem global.
Sehubungan penyelesaian konflik dengan ketangguhan perisai perlawanannya atas kolonialisme, imperialisme, dan hegemoni negara atau blok negara yang menjadi poros adikuasa saat itu mampu ditaklukkan. Seiring fase perjuangan tersebut kemudian dikonstruksikan dalam agenda kolosal Konferensi Asia Afrika (Lihat Gesuri, I.Catatan Tinta Emas Sang Proklamator, II.Bung Karno dan Dinamika Perjalanan Teori Sosial Kritis, Fajar Ahmad Huseini).
Menatap eskalasi memanasnya politik global saat ini, meniscayakan tuntutan peran politik bebas aktif Indonesia dalam menentukan arah geopolitiknya dengan tepat dalam pendekatan kajian strategisnya, agar tidak menjadi 'korban' di beberapa aspeknya 'karena latah' dengan tekanan situasi pragmatisme. Sejatinya, sejak berakhirnya Orde Baru dan dua puluh lima tahun reformasi adalah waktu yang panjang, sudah lebih dari cukup untuk melihat kekurangan kita selama ini.
Maka poin pentingnya yang ingin disampaikan adalah "bagaimana spirit perjuangan dan visi-misi" proposal Konferensi Asia Afrika akan diterjemahkan kembali, agar kompatibel dengan arah kebijakan bebas aktif kita hari ini - yakni pada substansi maknanya yang utuh sebagaimana dirumuskan Bung Karno.
Hal tersebut bukan tanpa dasar, karena diskursus global dalam konteks kacamata ilmiahnya mengakui warisan agenda perjuangan tersebut - memiliki relevansi yang konstruktif dalam menanggapi dan menata ketidakadilan pergaulan global yang terjadi hingga saat ini.
Sekali lagi, sudah saatnya bangsa Indonesia bangkit kembali untuk menjadi poros utama dalam ruang global, karena faktanya kita punya akar sejarah yang memang terbukti saat itu berada pada puncak 'posisi tawar' sangat strategis. Bung Karno, memiliki ketangguhan dan kecanggihan cara menerjemahkan peran arah geopolitik kita, disamping itu karena beliau sadar betul atas amanah dukungan posisi demografi dan kekayaan alam Indonesia, untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kepentingan bangsa.
Sebagai tambahan penting, gagasan Sang Proklamator tentang perjuangan kemerdekaan dan konsep persatuan di seluruh Asia dan Afrika, tidak mencuat begitu saja. Sejarah mencatat dari berbagai sumber, ternyata beliau sudah menggaungkannya sejak tahun 1930-an, dan mempromosikan agenda tersebut di dalam berbagai forum diskusi, rapat umum, sebagaimana sejumlah besar artikel yang dimuat banyak surat kabar saat itu. Seluruh pemikiran dan prinsip idealisme yang beliau anut kemudian dituangkan dalam Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, Jawa Barat (Majalah HistorisA).
Problem distorsi ideologi negara
Latar belakang uraian ini tidak lepas dari beberapa 'catatan tersendiri' tentang kejadian aktual belakangan ini, dan tentunya tanpa harus menutup mata atas capaian prestasi dari kegigihan pemerintah saat ini. Catatannya soal kebijakan edukasi pembangunan karakter bangsa, sepertinya ada jurang pemisah soal arah implementasi nilai-nilai prinsip ideologi konstitusional kita di ruang publik, hingga pada denyut eskalasi politik kita.
Misalnya salah satu implikasinya, soal kenyataan adanya upaya mengaburkan komitmen prinsip sejarah perjuangan Bung Karno atas keberpihakannya pada tuntutan kemerdekaan Palestina. Hal tersebut menjadi 'pengadilan opini liar' belakangan ini dan bukan tidak mungkin bisa menjadi gerakan sistematis, karena tendensi pragmatisme politik menjelang pemilu 2024.
Opini penghakiman sepihak terlihat makin menguat terhadap sikap PDIP atas penolakan tim U-20 Israel dan pembatalan FIFA menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah. Walaupun logika sebenarnya jelas menyatakan tidak bisa disimplifkasi seperti itu, bahwa apa benar itu karena statement penolakan dua Gubernur kader PDIP?. Dan ini sebenarnya sudah terjawab dengan lengkap dari paparan kader PDIP di beberapa media.
Mengutip kembali ungkapan Bung Karno, "Dan untuk Israel selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina maka selama itulah bangsa Indonesia menentang penjajahan Israel (1962)".
Gamblang, tegas, dan bernuansa perjuangan pembebasan yang sangat edukatif. Seruan tersebut adalah bentuk konkret dari pengamalan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Setidaknya bagaimana kemudian hingga detik ini 'tidak berubah' substansinya dalam perspektif hukum yang diterjemahkan dalam kebijakan Kementerian Luar Negeri RI. Landasan empiris dalam investigasi logika-intelektualnya jelas, untuk membantah 'adanya upaya terselubung' agenda menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel.
Pertama, karena fakta lapangannya hingga beberapa hari ini di bulan suci ramadhan 2023, sikap Israel tidak berubah sama sekali, bahkan intensitas pelanggarannya makin tak terkendali, terlihat jelas beberapa kesepakatan upaya resmi konsensus perdamaian lembaga internasional dilanggar berulang kali-atas langkah Israel yang tetap saja melakukan perluasan wilayah ilegalnya dan tindak pelanggaran kejahatan kemanusiaan yang kian meningkat.
Dengan fakta tersebut apakah mungkin normalisasi itu menjadi relevan?. Walaupun penulis bukan ahli hukum hubungan internasional, tapi setidaknya itulah fakta kejadian sebenarnya dari beberapa potret investigasi faktual yang diberitakan media mainstream nasional maupun internasional yang kredibel. Singkatnya, ketika narasi normalisasi itu mengemuka maka jelas itu sangat mencederai akal sehat dan nurani kita, serta sekaligus bisa dikatakan skenario tersebut sangat melecehkan garis perjuangan ideologi konsitusional negara, serta prinsip Sang Proklamator.
Kedua, muatan komitmen keberpihakan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina itu bukan perjuangan yang didasari sentimen identitas, tapi sejatinya itu dalam konteks perjuangan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Dan juga di sini harus ditegaskan akan artikulasi prinsip Bung Karno, "harus dibedakan perlawanan atas kejahatan kemanusiaan Zionis Israel, itu bukan berarti anti Yahudi sebagai bagian dari solidaritas kemanusiaan!".
Ketiga, satu poin untuk menjawab situasi hangatnya narasi sepihak, politisasi yang mencoba menunggangi dibatalkannya kegiatan penyelenggaraan piala dunia U-20 oleh FIFA. Sejatinya, Ganjar Pranowo dan I Wayan Koster itu warga negara Indonesia dan sekaligus kepala daerah, beliau memiliki tanggung jawab moral konstitusional atas ketentuan sikap resmi negara, bahwa FAKTANYA TIDAK ADA HUBUNGAN DIPLOMATIK RI - ISRAEL. Justru konstruksi pertanyaan keberatan yang benar dan seharusnya mengemuka, diarahkan kepada SIKAP DIAMNYA para kepala daerah yang lain!.
Dan sebagai penutup, mengutip pernyataan tegas Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, yang menyerukan kepada seluruh bangsa Indonesia dan terkhusus bagi putra putri ideologis Bung Karno dimana pun mereka berada,"Bahwa PDI Perjuangan berpegang teguh pada mandat perjuangan ideologi konstitusi, dan tidak akan pernah berkompromi dengan selera pasar". Sekali merdeka tetap merdeka!.