Gerakan aktivis perempuan telah dikenal bersamaan dengan perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme di Indonesia. Tercatat beberapa sosok seperti R.A. Kartini, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said, dan lain-lain yang telah ikut berjuang melawan penjajah.
Timbulnya kesadaran perempuan akan panggilan dan pengakuan terhadap peran perempuan dalam Bela Negara dapat dikatakan sama tuanya dengan perjuangan pembebasan atas penjajahan.
Namun jika dirunut lebih jauh lagi ke belakang, kehadiran perempuan juga tercatat dalam era kerajaan di Nusantara. Nama-nama seperti Maharani Shima (Kalingga, sekitar 670 M), Dyah Tulodong (Lodoyong, sekitar 1020 M), Tribhuwana Wijaya Tunggadewi (Majapahit, sekitar 1330 M), Sultanah Nahrasiyah (Kesultanan Pasai, sekitar 1410 M), adalah beberapa perempuan yang telah diakui kepemimpinannya.
Tidak bisa dipungkiri, emansipasi perempuan dalam mendapatkan hak politik dan persamaan derajat di Indonesia telah mendapatkan pengakuan dalam waktu yang sangat panjang.
Hari Ibu adalah Peran Perempuan
Tanggal 22 Desember menandai peringatan pada Kongres Perempuan Indonesia yang Pertama di Yogyakarta. Kongres yang diselenggarakan sejak tanggal 22 hingga 25 Desember 1928 tersebut menandai awal perjuangan politik dan budaya dalam mencapai kesetaraan untuk meningkatkan peran perempuan dalam masyarakat yang masih belum merdeka.
Sekitar 600 perempuan dari berbagai latar belakang pendidikan dan usia hadir dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama ini. Organisasi-organisasi yang terlibat dalam penyelenggaraannya antara lain: Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyah, Wanita Mulyo, dan perempuan-perempuan Sarekat Islam. (Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang - 2007).
Pada Kongres Perempuan Ketiga di Bandung tahun 1938, 22 Desember secara resmi diakui sebagai tonggak dalam gerakan perempuan di Indonesia. Kemudian dengan Keputusan Presiden RI No. 316 Tahun 1953 Presiden Soekarno mengumumkan 22 Desember sebagai Hari Nasional untuk menghormati Perempuan Indonesia. Saat itulah pertama kalinya disebut Hari Ibu.
Makna Hari Ibu mengalami perubahan sejak Soeharto mengambil-alih kekuasaan pada tahun 1966. Di bawah rezim Soeharto, Hari Ibu telah mengalami reduksi pemaknaan menjadi hari menghormati peran Ibu yang lebih mengarah kepada sifat keibuan sebagai orangtua.
Perayaan lebih menekankan ungkapan cinta dan syukur kepada kaum ibu. Hal ini bahkan masih berlanjut di sebagian masyarakat sampai sekarang, mirip dengan peringatan Mother’s Day. Pengertian ini sebanding dengan Hari Ayah, atau Father’s Day.
Fenomena akhir-akhir ini dengan munculnya terma “emak-emak” yang terekspos penuh kegembiraan dalam pergaulan masyarakat menyongsong pesta demokrasi yang sementara sifatnya, kiranya juga belum cukup menunjukkan peran perempuan yang signifikan sesuai dengan yang dimaksud dalam Hari Ibu.
Hari Ibu adalah Kesetaraan Gender
Di awal tulisan diuraikan bahwa perempuan Indonesia telah mengambil peran yang sederajat dalam kehidupan bermasyarakat. Revitalisasi peran telah digaungkan kembali oleh aktivis perempuan yang sadar dan berjejaring dengan Kongres Perempuan Indonesia 1928. Bukan kebetulan jika kongres itu dilaksanakan dua bulan setelah Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda 1928, yang pesertanya juga melibatkan perempuan.
Dalam bukunya “Sarinah”, Bung Karno mengatakan, “Kita tidak dapat menyusun negara dan menyusun masyarakat jika (antara lain) kita tidak mengerti soal-soal wanita.” Perempuan harus dipahami juga memiliki “hak illahi” yang sama dengan laki-laki untuk berjuang meraih cita-cita Bangsa dan Negara.
Ukuran utama keberhasilan pemerintah adalah untuk memungkinkan semua orang menjalani kehidupan yang bermartabat — bukan untuk memberi mereka martabat (illahi), karena itu bukan dalam kekuasaan pemerintah, melainkan untuk membuatnya dapat diakses oleh semua warganegara.
Sebuah masyarakat negara yang damai, inklusif dan maju memungkinkan peluang partisipasi dari semua peran gender, sambil menjaga masyarakat Negara ini untuk generasi berikutnya. Oleh karenanya, kita harus bertekad untuk mengadopsi dan memperkuat aturan yang jelas dan dapat diterapkan, serta tindakan transformatif untuk mempromosikan kesetaraan gender serta pemberdayaan perempuan dan wanita dalam tingkat apapun.
Memastikan hak-hak akses dan peluang identik wanita untuk partisipasi dan manajemen dalam sistem tata-kelola, menghapus kekerasan dan diskriminasi berbasis gender di semua tatanan birokrasi.
Kini semakin dipahami bahwa diperlukan kebulatan tekad guna memperkuat sebuah kompilasi sosial baru untuk menyediakan struktur dan perlindungan sosial yang berkelanjutan bagi semua warganegara.
Kemitraan lokal ini harus diupayakan secara lebih menguntungkan yang bertujuan untuk mendorong kemakmuran ekonomi yang merata dan inklusif, yang pada gilirannya berhilir kepada meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Semua warganegara, laki-laki maupun perempuan, hendaknya mampu memberi inspirasi dari kemitraan ini untuk terus-menerus merevitalisasi diri dalam perbaikan yang berkelanjutan sehingga tidak ada pihak manapun yang ditinggalkan di belakang. Semua berdedikasi dalam menyiapkan sistem keselamatan, kesejahteraan dan keadilan sosial untuk penawaran yang penting yaitu kesehatan dan pendidikan, kemudian membuka serta membagikan akses agar terjangkau bagi semua warganegara.
“Kebodohan di abad 21 bukan lagi semata tidak mampu membaca (reading) dan menulis (writing). Tetapi juga tidak mampu menghapus dari ingatan (unlearn) perihal perbedaan. Kemitraan dalam kesetaraan adalah masa depan.”
SELAMAT HARI IBU
22 DESEMBER 2018