Jakarta, Gesuri.id - "For my friends, everything. For my enemies, the law.” (Untuk teman-teman saya, segalanya. Untuk musuhku, hukum.) Óscar Benavides, 1933–1939
Perusakan dan pembunuhan demokrasi ditempuh, antara lain, melalui ”penggunaan hukum sebagai senjata politik”. Ide brilian Profesor Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt di Harvard ini dituangkan dalam karya terbarunya, Tyranny of the Minority (2023: 50), yang menempati rak buku-buku karya para Profesor Harvard di Harvard Coop, Harvard Square.
Perihal hukum yang digunakan oleh dan untuk kepentingan politik menandai karakteristik utama kepimpinan populisme otoritarian. Pemimpin otoriter yang berjubah populisme hanya di atur oleh "hukum" Yang menguntungkan kepentingannya diri. Jika tak sesuai dengan kepentingan dirinya, ia mengubah hukum dengan cara yang secara teknis legal, tetapi sebenarnya bentuk tindakan ekploitasi konstitusional secara kasar.
Baca: Ganjar: Perlu Ada Ruang 'Check and Balances' di Pemerintahan
Profesor Mark Tasnet di Harvard Law School menyebut praktik itu sebagai constitutional Hardball (2004). "Betapa pun brilian desainnya" Demikian Levitsky dan Ziblatt mengingatkan, "konstitusi apa pun dapat digunakan untuk merusak demokrasi dengan cara yang secara teknis legal. Justru itulah yang memang membuat praktik kasar konstitusional sangat berbahaya."
Dengan mengeksploitasi konstitusi secara kasar untuk kepentingan plotok dirinya, pemimpin populis otoriter melakukan apa yang Thomas Power (2020: 298) sebut sebagai the executive weoponization of law enforcement. Penegak hukum sebagai senjata politik oleh kekuasaan eksekutif yang otoriter dilaksanakan sepenuhnya dengan sangat efektif. Terhadap elite politik yang mau beraliansi dengan pemimpin otoriter populis hukum tidak ditegakkan sekalipun mereka berlumuran dengan kejahatan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Asalkan loyal dan tunduk pada kehendak kekuasaan mereka mempermainkan proteksi hukum. Inilah faktor di balik aliansi jahat mayoritas elite politik dengan tiren populis.
Sebaliknya, penegakan hukum sebagai senjata politik dipaksakan dengan cara diskriminatif terutama kepada mereka yang kritis pada pemimpinan populisme otoritarian. Kepada pada pesaing dan musuh politiknya, hukum diberlakukan secara diskriminatif dan represif.
Dengan kekuasaan yang tiranik, tiran populis meniru dan melanggengkan praktik kekuasaan kolonialisme yang diskriminasikan dan memenjarakan warganya. Praktik penegakan hukum yang dipersenjatai dengan kepentingan politik tiran populis ini mengingatkan pada apa yang dikatakan diktator dari Peru. Oscar Benadives, hampir 100 tahun silam: "Untuk teman-teman saya, segalanya. Bagi Musuhku, hukum."
Baca: Ganjarist Komitmen Setia Dukung Ganjar Pranowo di Pilpres 2029
Itulah sebabnya, mayoritas elite pemimpin memilih sikap politik yang aman, sekalipun menjadi budak politik dari pemimpin otoriter populis. Padahal mereka yang menggadaikan kebebasan politik demi penghambaan pada kekuasaan tiranik jauh lebih hina dari budak.
Dalam konteks ini, Republik ini menuntut setiap warga negara menyuarakan kebenaran kepada penguasa otoriter populis dengan keberanian. Megawati Soekarnoputri merepresentasikan warga negara yang berani melawan segala bentuk penyalahgunaan hukum sebagai senjata politik. Perlawanan itu sebagai ikhtiar mulia menyelamatkan konstitusi dan demokrasi dari bahaya populisme otoriter. Ikhtiar itu ditempuh melalui dua peran kenegarawanan Megawati. Pertama, sebagai "penjaga demokrasi" Kedua "penjaga konstitusi". Rekam jejaknya yang panjang berbicara sendiri tentang dua peran kenegarawanan itu.
Sebagai "penjaga demokrasi", Megawati merisaukan kondisi demokrask yang mengalami dekonsolidasi menuju populisme otoriter. Tipe pemimpin yang melegitimasi gaya pemerintahannya dengan pelbagai kebijakan populis demi kepentingan politik elektoral sambil berperilaku otoriter dengan merusak substansi, norma dan etika demokrasi yang tak tertulis.
Sebagai "penjaga konstitusi", Megawati merisaukan maraknya praktik manipulasi hukum, permainan konstitusional secara kasar dan intervensi kekuasaan pada lembaga eksekutif dan yudikatif. Kondisi ini memanggil sikap kenegarawanan Megawati untuk mewaspadai bahaya populisme otoriter bagi keberlangsungan demokrasi dan konstitusi RI, sambil menghidupkan kembali kepercayaan publik pada perwujudan negara Republik demokratis yang paripurna yang bersendikan pada supremasi hukum, mekanisme kontrol dan penyeimbang, pers yang merdeka dan masyarakat sipil yang kuat.
Seperti yang ditulis pengamat kebhinekaan, Sukidi dalam harian Kompas edisi Kamis 13 Juni 2024