Jakarta, Gesuri.id - Entitas yang paling merdeka adalah manusia. Bahkan burung yang selalu dijadikan lambang kebebasan pada hakikatnya masih memiliki banyak batasan, seperti ketinggian, jarak, tekanan udara, dan lain sebagainya. Namun tidak dengan manusia. Yang menjadi batas atas dirinya adalah pikirannya sendiri.
Di era distrupsi, informasi bergerak begitu cepat. Berbagai informasi tentang apa, siapa, dan di mana dapat dengan mudah kita akses melalui gawai canggih di genggaman kita. kita sebagai generasi muda juga dapat mengetahui trend apa saja yang sedang ramai diperbincangkan. Dari siapa wanita paling cantik di dunia, pekerjaan paling precious, hingga skin care terbaik tahun ini.
Baca: 3 Bandara Dibangun di Era Ganjar
Segala informasi tersebut disatu sisi terkesan memberikan kebebasan bagi anak muda untuk memilih apa yang kita kehendaki karena banyaknya referensi yang tersaji. Namun disisi lain, informasi yang tersaji di gawai kita justru membentuk konstruksi sosial atas standar ideal seperti standar kecantikan, kesuksesan, hingga kebahagiaan. Secara tidak sadar, terdapat pihak yang mengeksploitasi dan mendominasi pikiran kita sehingga kita menciptakan batas atas pikiran kita untuk memilih apa yang kita kehendaki.
Kondisi yang sedemikian rupa juga akan berdampak pada krisis identitas bagi anak muda. Konstruksi sosial yang terjadi di media sosial selalu menuntut adanya pikiran tidak puas akan diri sendiri. Konsekuensi dari pemaparan yang tiada henti terhadap standar ideal bagi anak muda adalah mengakarnya rasa inferior. Tekanan untuk selalu menyesuaikan diri dengan konstruksi sosial ini dapat mengikis harga diri karena kita akan selalu merasa gagal mencapai cita-cita seperti yang tervisualisasi di media sosial. Sehingga kita akan terus-menerus mencari persetujuan dan validasi pihak eksternal.
Ketika sosial membentuk tempurung-tempurung atas klaim “ideal” dan memaksa anak muda untuk terperangkap dan mengkonsumsi apa yang mereka sajikan. Maka semangat marhaenisme harus terus dikobarkan, bahkan sejak dalam pikiran.
Anak muda harus merdeka dan berdikari atas dirinya sendiri. Jangan biarkan kita dijajah oleh dominasi yang memonopoli klaim atas kebenaran. Karena penjajahan tidak selalu berbentuk konfrontasi fisik, tetapi yang paling mengerikan adalah penjajahan pola pikir. Semangat untuk merdeka, mandiri, dan bermanfaat bagi sesama harus berkobar lebih besar untuk membakar batas-batas sosial yang mengurung kita.
Dengan semangat marhaenisme, anak muda Indonesia berdiri sebagai pilar-pilar kuat bagi kemajuan kebudayaan. Ketika anak muda sudah berdikari atas dirinya sendiri, mereka tidak lagi hanya menjadi penonton yang konsumtif, melainkan juga berusaha membawa perubahan positif bagi masyarakat dan bangsa. Dalam setiap langkahnya, generasi muda membawa harapan untuk Indonesia yang lebih maju dan berdaya saing, tanpa kehilangan akar-akar budaya yang membentuk jati diri mereka.
Baca: Lima Kelebihan Gubernur Ganjar Pranowo
Dengan demikian, melalui perpaduan antara kemandirian dan nilai-nilai marhaenisme, generasi muda dapat menjadikan Indonesia sebagai negara yang surplus secara budaya dan peradaban. Negara yang mampu menciptakan value dan standar bagi negara lain. Generasi yang mampu menjadi generasi emas, generasi yang tidak hanya mengadopsi tetapi juga mampu memberi arti dan mengangkat derajat kebudayaan bangsa. Mampu menciptakan fondasi yang kuat untuk masa depan yang lebih baik.
Semangat marhaenisme mengajarkan generasi muda untuk merdeka dalam berpikir, mandiri dalam bertindak, dan selalu bermanfaat bagi sesama. Semoga semangat marhaenisme yang menjadi jadi diri PDI perjuangan selalu menyertai setiap hela nafas perjuangan anak muda dalam memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dirgahayu PDI Perjuangan!
Jakarta, 9 Januari 2024
Oleh: Generasi Muda, Kalam Khawarizmi.