Jakarta, Gesuri.id - Pandangan keagamaan yang dominan merujuk Al Qur'an secara 'tekstual' surat An Nisa' ayat 34 bahwa laki-laki lebih 'kuat' dan lebih berhak dalam kepemimpinan politik dibanding perempuan, serta hadis yang berbunyi 'tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan negara pada perempuan (HR Bukhari)' telah mengalami proses 'koreksi' secara konseptual dan kontekstual dalam forum Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tahun 1997.
Munas Alim Ulama tersebut terkait 'bahtsul masail' tentang 'kedudukan perempuan dalam Islam' telah menghasilkan pandangan keagamaan bahwa Islam mengafirmasi kesetaraan hak politik antara laki-laki dan perempuan serta mengakui kelebihan-kelebihan tertentu pada diri perempuan saat menjadi pemimpin.
Salah satu pelopor dari keputusan hasil Munas di atas adalah Tuan Guru Turmudzy Badarudin, ulama kharismatik dan pengasuh pesantren Qomarul Huda dari NTB yang baru-baru ini, Kamis (28/7), dikunjungi Ahmad Basarah, Ketua DPP PDI Perjuangan.
Baca: Cok Ace Tegaskan Pentingnya Kontribusi Wisatawan
Dalam konteks di atas itulah kunjungan Ahmad Basarah tersebut secara historis dan dalam konteks PDI Perjuangan memiliki makna sangat penting dan mendasar dalam konstruksi legitimasi keagamaan Puan Maharani dari sisi gender sebagai capres dari PDI Perjuangan dalam kontestasi pilpres 2024. Artinya, Puan Maharani memliki hak politik yang setara dengan para capres lain dari unsur laki-laki dari sudut pandang legitimasi keagamaan dalam perspektif keputusan 'bahstul masail' Munas Alim Ulama di atas.
Pijakan doktrinnya adalah Al Qur'an surat Al Naml ayat 23 yang berbunyi: "Sungguh kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar." Ayat ini saling berkait dengan satu ayat sebelumnya (ayat 22) dan satu ayat sesudahnya (ayat 24) dalam meneguhkan legitimasi keagamaan tentang keabsahan kepemimpinan perempuan dalam Islam.
Secara historis realitas kerajaan Islam tertua di Nusantara, yakni Aceh, dalam sejarahnya tidak memiliki problem keagamaan terkait kepemimpinan dan hak politik perempuan. Perempuan mendapatkan tempat dalam tradisi politik masyarakat Islam Aceh.
Terbukti kerajaan Islam Aceh pernah dipimpin empat perempuan selama kurun waktu 1641 sampai dengan 1699, yakni Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam, Sri Ratu Nuqiatuddin Nurul Alam, Sr Ratu Zaqiyatuddin Inayat Sjat dan Sri Ratu Zainatuddin Kamal Syah.
Baca: Rudi Ingatkan Kader Banteng Mulai Gerakkan Mesin Politik
Dengan demikian poin penting dari kunjungan Ahmad Basarah menemui Tuan Guru Turmudzy Badarudin di atas--yang menurutnya kunjungan tersebut atas perintah Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan--adalah untuk meneguhkan kembali komitmen pandangan keagamaan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam kepemimpinan politik sebagaimana dulu pandangan keagamaan hasil Munas Alim ulama itu mendasari legitimasi para ulama atas penerimaan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI (2001-2004).
Oleh karena itu kontestasi Pilpres 2024 harus diletakkan dalam konteks kontestasi gagasan untuk 'fastabiqul khoirot', ruang kompetisi sehat dalam kerangka 'maslahatur roiyah', yakni memajukan kemaslahatan rakyat.
Inilah seharusnya menjadi 'concern' para pemimpin ormas Islam dan para politisi untuk menghindarkan kontestasi pilpres 2024 jauh dari 'sumpah serapah' berbungkus manipulasi dalil-dalil agama untuk pembenaran ketidakadilan gender dan serangan 'politik identitas' lainnya yang dalam kurun waktu 10 tahun terakhir menunjukkan tren dan kecenderungan makin menguat di ruang publik.
Demokrasi harus dijaga sebagai jalan mulia bagi peradaban bukan ruang menumpahkan nafsu politik menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan dengan ongkos sosial rusaknya sendi-sendi kebangsaan yang tak terperikan. Itulah tantangan politik kebangsaan kita hari ini.