Ikuti Kami

Jawa, Politik Identitas dan Anies Baswedan 

Tak ada yang salah dengan KeJawaan Anies, yang salah bila kemudian “The Eep Game Theory” dijadikan bagian dari permainan politik 2024.

Jawa, Politik Identitas dan Anies Baswedan 
Ilustrasi. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Gesuri.id - “Menjadi Jawa” jadi obrolan paling hangat di minggu minggu ini, karena ucapan Anies yang menyatakan dirinya sebagai Jawa Tulen dan asli dari Yogya. Tak ada yang salah dalam ucapan Anies, karena dalam pandangan konsep, Jawa bukanlah sebuah kesukuan yang kaku. Jawa adalah hal yang cair dan punya watak aslinya sinkretis, jadi siapapun bisa menjadi Jawa.

Rudi Hartono pebulu tangkis lebih dianggap orang Jawa ketimbang keturunan Cina, Liem Swie King yang wajahnya mirip Jacky Chan lebih diingat sebagai ‘orang Jawa dari Kudus’, Raden Saleh pelukis dianggap orang Jawa dari Semarang ketimbang keturunan Arab Yaman, di dunia kebangsawanan Mataram ada RM Setjodiningrat yang keturunan Cina tapi dianggap punya keningratan tinggi sampai keturunannya yang sekarang menggunakan nama belakang Setjodiningrat penuh dengan kebanggaan. Ahok-pun lama lama bisa dianggap Jawa karena punya isteri orang Jawa dan sudah belajar serius untuk menjadi orang Jawa. 

Jawa juga menjadi perspektif penguasa melihat kekuasaan. Bung Karno tidak pernah memakai pakaian busana Jawa setelah ia tamat di HBS. Ia lebih memilih berpakaian gaya Eropa jas dan pantalon, tapi sejak awal ia dengan jenius memilih pakaian Eropa dengan watak dasar rakyat jelata. Bung Karno menggunakan jas sederhana tidak seperti pelajar pelajar Indonesia yang aristokratis ke Belanda Belandaan dan bersekolah di Leiden. Di Jalan Pangkur pada 1923 Bung Karno mencoba coba Peci sebagai tutup kepala dan ia terinspirasi ini dengan penjual sate yang suka menggunakan peci. Ia menjadikan dirinya intelektual berwatak kerakyatan di awal kebangkitan dirinya sebagai penggerak pembebasan nasional.

Di masa selanjutnya secara pakaian ia semakin revolusioner dengan kemeja bermodel safari militer dengan kantong kantong besar sampai pada puncak kekuasaannya 1958, Bung Karno dengan cerdik menggunakan baju yang mudah diingat oleh banyak orang, baju yang menjadi simbol ingatan bawah sadar : “Indonesia Bangsa Yang Besar”, Pemimpin Besar Revolusi dengan pakaian yang diliat sebagai “Penantang ombak menggulung” dan penuh dengan pertarungan pertarungan politik tingkat Internasional. Bung Karno tidak pernah mau menggunakan pakaian Jawa dalam upacara upacara tradisional sekalipun. Ia luruh dalam satu anggapan “KeIndonesiaan” tapi ia sangat menyukai pakaian perempuan berkebaya, bahkan pakaian perempuan kebaya adalah identitas nasional yang sampai sekarang terus hidup dalam sistem formal kekuasaan di Indonesia. 

Bung Karno yang selalu meluruhkan identitas penguasa Jawa dalam dirinya, justru kerap dipandang ia adalah “Raja Jawa Sesungguhnya” oleh sejarawan Onghokham, Bung Karno dituding sebagai “Penerus Raja Mataram”. Psikologi kekuasaan menjadi kronologi yang berlanjut dalam sistem kekuasaan di Nusantara menurut banyak cendikiawan Republik. “Arus Revolusi”  bergantung pada kharisma, dan dalam dunia kekuasaan di Nusantara tak ada yang bisa melebihi kharisma Raja. Ini juga yang dipakai oleh Suharto dalam mengidentifikasi dirinya.

Suharto, adalah Jawa dalam arti benar benar Jawa. Di tahun 1960-an Ia hanya bisa bahasa Indonesia dan bahasa Jawa diantara para Jenderal Jenderal yang bicara dengan nada sok tau menggunakan Bahasa Belanda yang di masa itu dianggap sebagai “Bahasa Gedongan”,  dunia dia hanyalah selingkup Daerah Kemiliteran Jawa Tengah yang dulu dipegang Jenderal Gatot Subroto. Dia tidak pernah seperti Jenderal Jenderal Jakarta yang berwatak flamboyan, Suharto surut ke belakang dalam pergaulan gaya Jakarta, hiburannya adalah bertapa di tengah laut alias mancing. Ketika ia mendapatkan kekuasaannya ia tidak lantas menjadi “Jawa Yang Belanda”, ia mengindentifikasi sebagai “anak petani” .

Jika Bung Karno mengindentifikasi kesadaran Jawa-nya sebagai Pemimpin Internasional yang mencoba membentuk Indonesia sebagai mercusuar dunia, maka Suharto menyeret Indonesia ke dunianya sendiri dan tidak ikut ikut dalam arus geopolitik dunia. Indonesia diarahkan menjadi bangsa penurut, bukan bangsa pembebas. Dalam perspektif panggilan kekuasaan dia disebut “Pak” sebagai bentuk penguatan struktur komando, bukan “Bung” yang lebih egaliter dan punya semangat revolusi. “Pak Harto” menjadi bahasa pengganti dari “Mas Harto” yang lebih dikenal di kalangan Jenderal Jenderal Angkatan Darat sebelum Gestok 1965. 

Sejak 1967, sebutan “Pak Harto” menjadi panggilan jamak di kalangan kemiliteran dan kekuasaan birokrat untuk mengubah seluruh mental kekuasaan dari wataknya yang populis menjadi watak fasis franconian. 

Identitas anak petani justru jadi kebanggaan Suharto dalam melihat perspektif Jawa-nya. Ia menjadi sangat marah ketika ada sebuah majalah yang mengabarkan Suharto adalah keturunan ningrat dan jadi heboh sehingga PWI ikut ikutan menegur redaktur majalah itu. Inilah uniknya cara mengabarkan identitas Suharto menjadikan identitas sebagai paradoks, ia menyebut dirinya anak petani, tapi ia sadar wajahnya bukannya wajah petani, ia berwajah aristokrat dengan kelembutan luar biasa ala priyagung.

Ia menampik tudingan keningratannya, tapi ia menampilkan ke publik keluarga ningrat dari Mangkunegaran. Kadipaten Mangkunegaran memang agak unik dalam sisi kebangsawanan, biarpun ia tidak punya gelar Raja tapi secara kebangsawanan sangat dihormati terutama sekali di masa masa Orde Baru, banyak bangsawan Mangkunegaran mendapatkan status sosial tinggi di dalam pergaulan sosialita Jakarta. Karena kesan Bu Tien yang punya trah Mangkunegaran itu. 

Suharto dengan surjan dan blangkon ala Jogja adalah identitas terbesar Suharto dalam meneguhkan kekuasaannya. Bahkan di tahun 1988 ketika Suharto dipilih kembali, koran Kompas yang sangat berpengaruh dan punya oplah terbesar saat itu  memuat headline foto besar besaran gambar Suharto dengan blangkon dan surjan uniknya blangkon yang dikenakan Suharto adalah blangkon yang ada identitas bangsawannya tapi yang dipakai baju surjan, baju kaum jelata. Bila Bung Karno meneguhkan pencerahan Jawa, menjadi pencerahan Nusantara dengan skup Internasional yang termaktub dalam buku “Dibawah Bendera Revolusi”, Suharto hanya memuat karangan kecil pitutur Jawa. Bung Karno punya tiga kerangka Trisakti : Berdaulat dalam politik, Berdikari dalam ekonomi dan Berkepribadian dalam kebudayaan.

Maka Pak Harto dengan sederhana menyingkirkan tiga jargon itu ke dalam tiga jargon baru  : “Ojo Kagetan, Ojo Gumunan, Ojo Dumeh”. Bila Bung Karno merumuskan tahapan tahapan revolusinya lewat rangkaian pemikiran politik “Kembalinya Revolusi Kita”, “Djarek = Djalannja Revolusi Kita”, Takem =Tahun Tahun Kemenangan, Vivere Pericoloso = Tahun Menjerempet Bahaja, Berani Berdansa Dengan Maut. “Tahun Berdikari” 1965 dan Pramoedya Ananta Toer mati matian menafsirkan pemikiran Sukarno itu ke dalam tulisan tulisannya yang sangat “Sukarnois” dengan puncak penulisan “Arus Balik” dimana sejarah Jawa yang kalah dengan Eropa, dibalikkan dengan Jawa Penuh Kemenangan berwatak Sukarnois yang sangat Nusantara. Sementara Suharto lebih lembut memandang kekuasaan tapi mendalam maknanya “Kekuasaan haruslah bersifat air, matahari, laut, bumi, dan rembulan” dan itu diletakkan dalam ciri ciri “Manajemen Suharto” yang kemudian dibukukan oleh Setya Novanto, murid Suharto paling paham bagaimana kekuasaan Orde Baru bekerja. 

Beda Bung Karno juga Pak Harto maka Sri Sultan Hamengkubuwono IX punya cara lain merumuskan identitas kejawa-annya. Setiap perjalanan hidup manusia pasti dihadapkan problem eksistensi yang paling puncak sebelum manusia menemukan esensi dirinya. Dalam politik identitas yang juga berpengaruh pada kekuasaan maka identitas adalah problem psikologis yang harus dipecahkan sebelum mengubah dirinya menjadi sesuatu yang solid. Sri Sultan HB IX juga mengalami problem ini, justru di usianya yang sangat muda ketika ayahnya wafat di Hotel Des Indes, Batavia dan menunjuk Dorodjatun muda menjadi Raja Yogya. Ujian terberat Sri Sultan HB IX di masa masa awal suksesi-nya adalah saat ia bernegosiasi dengan Lucien Adam, perwakilan Gubernur Jenderal Batavia yang mengurusi masalah Yogya. 

Dorodjatun muda dibesarkan dalam alam sejarah Mataram utamanya Yogyakarta. Beda dengan Solo yang cenderung kompromi, maka inti polemik Keraton Yogya adalah persoalan dekat jauh dengan Pemerintahan Hindia Belanda. Setelah perang Diponegoro, Keraton Yogya mengalami kekalutan luar biasa. Intrik intrik lebih pada pembersihan para bangsawan Yogya dari anasir Gerakan Diponegoro dan membuat eksodus banyak bangsawan Yogya ke wilayah wilayah lain sebagai ‘pelarian politik’ yang terus diburu dan dihinakan oleh sistem feodal. Bila Kasunanan dan Mangkunegaran lebih menerima kultur Belanda dengan langsam, maka di Yogya kultur Belanda mengalami tarik ulur hebat. Jiwa pemberontakan Diponegoro masih jadi referensi diam diam bangsawan Yogya yang mengalami degradasi mental luar biasa utamanya intervensi cara hidup Belanda yang melupakan nilai nilai Jawa. Saat itu isu hedonisme Belanda menjadi isu paling besar dalam perlawanan budaya. Salah satunya yang menantang cara cara Belanda adalah sastrawan Surakarta Raden Ronggowarsito. Pengaruh besar Ronggowarsito justru berdampak pada Kesultanan Yogya ketimbang Kasunanan Solo yang sejak lama mencurigai ayah Ronggowarsito, Raden Panjangswara berkhianat dalam skandal penangkapan Pakubuwono VI.  

Di Jawa Ronggowarsito dikenal sebagai pujangga dengan puisi puisi yang sufistik, tapi beda dengan Intel Belanda yang menganggap Ronggowarsito adalah jurnalis yang Pro Diponegoro dan tulisan tulisan Ronggowarsito di surat kabar Bramartani dinilai intel Belanda sebagai sikap membangkitkan kemarahan bangsawan Mataram pada Belanda, hal inilah yang juga jadi pegangan Dorodjatun muda soal bagaimana dirinya mengantisipasi pengaruh kultur Belanda dalam alam bawah pikirnya. Pengaruh Ronggowarsito justru melekat kuat dalam alam pikiran Dorodjatun. 

Di tahun 1940, Belanda ingin secara mutlak menguasai wilayah Voorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta) yang awalnya sebagai sebuah wilayah “kantong” yang merdeka menjadi wilayah yang sepenuhnya takluk pada Belanda. Penugasan Lucien Adam untuk merancang kontrak politik dengan Putera Mahkota Kesultanan Yogyakarta,  awalnya adalah soal politik ekonomi perkebunan tebu dan pabrik pabrik gula. Latar belakang Lucien Adam sebagai anak sinder pabrik gula di Panarukan yang juga ahli dalam hukum adat dinilai tepat dalam melakukan negosiasi negosiasi terhadap perundingan kepada Dorodjatun calon Sultan Yogyakarta yang ke IX.

Namun analisa intelijen Belanda yang diterima oleh Gubernur Jenderal Tjarda Van Starkenborgh, saat itu lingkaran dalam intelijen Belanda masih sangat terpengaruh pola pikir De Jonge, Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebelumnya yang anti politik pergerakan kemerdekaan. Dalam analisa intelijen disebutkan Dorodjatun berpotensi ikut arus suasana kemerdekaan yang berpotensi meluas dalam gejolak Perang Dunia ke II. 

Mendadak karena laporan intelijen itu,  kontrak kontrak politik yang awalnya njelimet dengan poin poin detil ala perjanjian hukum korporat menjadi poin poin singkat seperti nota referendum pengalihan kekuasaan. Inilah yang pada awalnya membuat Putera Mahkota Dorodjatun marah besar dan menjadi sangat lama dalam perundingan dengan Lucien Adam. Namun ditengah perundingan Dorodjatun mengalami ekstase spiritualnya ketika mendapatkan bisikan yang dipercaya dari leluhurnya, Hamengkubuwono I  “Sudah Nak, kamu tandatangani saja. Belanda sebentar lagi pergi dari sini” . Esoknya tanpa bicara lagi, Dorodjatun menandatangani sodoran kontrak Lucien Adam dan menandatanganinya dengan tenang dan membuat Lucien Adam terkaget kaget. 

Namun jawabannya pada saat jumenengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX saat ia membacakan pidato pengangkatannya “Al heb ik een uitgesproken westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereerste plaats Javaan...”  (Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa).

Ungkapan singkat ini yang menjadi dasar psikologis fundamental Sultan untuk tetap berdaulat dan kelak Republik yang baru dilahirkan diselamatkan di Yogyakarta.  Di masa masa akhir revolusi 1948-1948, Sultan mendapatkan kedudukan penting dan dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap penyelamatan Ibukota Republik dan membawa kembali seluruh petinggi Republik dari tawanan Belanda ke Jakarta. Setelah sebelumnya pada 27 Desember 1949 Sultan menandatangani  pengakuan kedaulatan dari tangan AJ Lovink di Istana Rijswijk alias Istana Gambir sebagai bentuk balasan halus terhadap kekurangajaran nota perjanjian Lucien Adam di Gedong Kuning Yogyakarta. 

Sejak saat itu Sultan secara penuh dianggap sebagai perwakilan orang Jawa sesungguhnya dalam konstelasi politik nasional dan Suharto di awal awal kekuasaannya sangat bergantung dengan Sri Sultan HB IX, sampai pada Sultan mundur menolak dicalonkan kembali dan diam memendam perasaan kecewa pada Orde Baru. 

Jokowi adalah hal unik dalam sejarah kekuasaan Indonesia. Ia datang bukan bagian dari oligarki tapi dari rakyat jelata,  dus ia datang dengan cara jenaka. Logat Jawa-nya bukan logat Jawa Ningrat Solo, tapi gaya gojekan Solo yang cenderung bebas tapi lucu kalau menciteer  istilah  TEMPO : “Enak dibaca dan perlu, bahkan Jenaka pun bisa” , di tahun 2012, Jokowi datang dengan kultur Gondes bukan kultur Mangkunegaran.  

Dalam dunia yang semakin egaliter, gaya Jokowi mengingatkan pada Dono yang asli Klaten atau Srimulatan Balekambang. Dibalik wajah lugu Jokowi ada kecerdasan yang tersembunyi ia punya mata intel yang menyelidik. Ia akan tertawa bila memandang orang tapi secara singkat matanya menyelidik. Jokowi melakukan ‘game power’ yang tak pernah terduga dengan strategi ala Solo yang ngglenik tapi harus diakui disini Jokowi dianggap paling berhasil dalam menegakkan struktur kekuasaan dan kemenangan politik daripada Presiden Presiden sebelumnya setelah kejatuhan Suharto 1998. 

Cara unik Jokowi menggambarkan orang Jawa yang lucu dan menyenangkan ternyata telah memenangkan hati banyak orang. Selama ini cara bahasa Jawa dianggap bahasa orang tua, bahasa penuh kekuasaan tapi oleh Jokowi, ke Jawaannya menjadi sesuatu yang santai dan penuh tawa. Popularitas santai gojekan cara Solo inilah yang membuat orang orang di luar Jawa jatuh hati. Di Bali Jokowi menang hampir 90%, di periode kedua bahkan  nyaris 100%. Jawa sebagai kultur yang paling hegemonik dalam alam bawah sadar orang orang Nusantara menjadi unik di bawah Jokowi. 

Ciri Jawa menjadi sangat penting di tahun 2024. Karena sifatnya yang hegemonik dan diterima secara bawah sadar sebagai identitas besar Nusantara bahkan selama 32 tahun di masa kekuasaan Suharto, struktur kekuasaan formal dibawa ke dalam suasana ke Jawaan yang kental dan ini tidak pernah ditampik di masa masa setelah reformasi.

Susilo Bambang Yudhoyono sangat khas dalam aristokrasi Jawa yang formil, tapi beda dengan Suharto yang cenderung bersuasana keraton sentral Mataraman, kultur Jawa SBY cenderung kultur Tumenggung. Kultur Tumenggung mirip dengan kultur Panji di masa Mataraman, sebuah priyayi halus  namun pinggiran (periferal) dan sadar secara penuh akan teritorial militeristik. SBY bukan seperti Tumenggung Wiroguna yang galak secara militer tapi ia seperti Pangeran Pekik yang menyenangkan banyak orang demi politik kompromi.  

Polemik pengejaran identitas Jawa tampaknya juga dilakoni Anies Baswedan. Kalau ditilik dari seluruh diri Anies, yang ‘tidak jawa’ hanya fam-nya saja. Seluruh diri Anies adalah Jawa, ia mungkin berpikir dalam bahasa Jawa, ia bermimpi-pun kemungkinan besar dengan bahasa Jawa. Cara bicaranya dengan logatnya yang sangat Yogya lebih mirip anak anak Sayidan yang menuangkan air kedamaian ketimbang gaya anak anak Jakarta  seperti Sandiaga Uno.

Anies pun merupakan paradoks, secara bawah sadar ia sangat nyaman dengan posisi intelektual akademisnya ketimbang bergabung secara frontal dengan kelompok politik agama, inilah yang menjelaskan kenapa Anies lebih memilih tokoh perempuan berpikiran amat liberal macam Nursjahbani Katjasungkana ketimbang tokoh penting gerakan jalanan macam Habib Novel Bamukmin yang fenomenal itu.  

Tak ada yang salah dengan pengakuan Anies sebagai “Orang Jawa Tulen” yang salah adalah kecurigaan jangan jangan Jawa Tulen ini akan dibentuk menjadi “Gerakan Politik ala Eep” tau sendiri kan bagaimana gerakan politik ala Eep yang mengedepankan emosi identitas ketimbang rasionalitas pemilihan berdasarkan jejak rekam keberhasilan. Kemenangan politik bisa dilakukan dengan pengawalan konflik identitas menjadi tren yang berhasil mengalahkan sampai memenjarakan Ahok.

Inilah yang kemudian menjadi kekuatiran banyak pihak, dalam pola polemik sekarang RUU HIP saja bisa dipelintir oleh para spin doctor menjadi gerakan untuk mengganti Pancasila. “Hantu PKI” menjadi bentuk solid ketakutan politik yang dibentuk eforia-nya. Dan kini “Jawa Tulen” mulai pelan pelan disodorkan menjadi polemik baru yang terus menjadikan kredit rating Anies dalam permainan permainan panggung politik. 

Ya...tak ada yang salah dengan KeJawaan Anies, yang salah adalah bila  kemudian “The Eep Game Theory” dijadikan bagian dari permainan politik 2024. 

Selamat menikmati hari minggu...........

Quote