Jakarta, Gesuri.id - Berdasarkan fakta dan data, angka kemiskinan di Indonesia terbilang masih cukup tinggi. Hal ini terkonfirmasi dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang belum lama ini merilis soal angka kemiskinan warga Indonesia.
Menurut data BPS, pada September 2019, jumlah orang miskin ada di angka 24,78 juta orang. Sedangkan September 2024, jumlah orang miskin adalah 24,06 juta orang. Artinya dari sisi jumlah, kondisi kemiskinan kita masih tetap di atas 24 juta orang.
Dari sisi persentase, kemiskinan per September 2024 telah mencapai 8,57 persen. Artinya tingkat kemiskinan untuk pertama kalinya dalam sejarah mencapai zona 8.
Itu artinya, meski secara persentase kemiskinan telah memasuki angka 8, namun secara jumlah orang miskin, dalam rentang 2019 dan 2024 tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan.
Baca: Ganjar Pranowo Berkomitmen Hadirkan Pemerataan Pembangunan
Hal tersebut mengindikasikan bahwa kebanyakan rakyat, belum sepenuhnya pulih pasca terdampak Covid-19. Sebagaimana kita ketahui, ketika Covid-19 menghantam Indonesia, jumlah orang miskin langsung mengalami lonjakan.
Dari 24,78 juta orang pada September 2019 menjadi 27,55 juta orang pada September 2020. Terdapat peningkatan 2,23 juta orang hanya dalam tempo satu tahun.
Data tersebut menekankan agar pemerintahan saat ini tidak boleh lepas dari kesadaran itu. Bahwa rakyat kebanyakan saat ini masih belum pada kondisi pulih. Dan sepantasnya pemerintah meresponsnya dengan melakukan berbagai penghematan secara besar-besaran.
Jadi sekali lagi, persentase bukanlah gambaran ideal untuk melihat angka kemiskinan secara lebih komprehensif. Karena banyak variabel-variabel penting yang tak bisa diwakili oleh persentase dalam memotret fenomena kemiskinan yang menjerat puluhan juta warga masyarakat kita saat ini.
Berbicara soal kemiskinan, naif rasanya jika kita hanya melihat faktanya atau mengukurnya dari sisi pendapatan belaka (perkapita). Sementara fakta lainnya tidak kita jadikan indikator (akses, insentif, ketidakadilan). Sebab, berbicara kemiskinan itu artinya kita sedang membicarakan nasib atau masa depan individu atau rakyat Indonesia. Nasibnya manusia Indonesia, rakyat Indonesia.
Bahkan Bapak Bangsa Kita yakni Bung Karno mewanti-wanti agar bangsa ini memiliki komitmen penuh untuk memberantas kemiskinan, kebodohan dan kesenjangan sosial.
Pesan luhur tersebut disampaikan Bung Karno saat berpidato di hadapan Anggota Badan Penyidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 1 Juni 1945, Bung Karno secara tegas menyatakan “Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita dari kemiskinan, kebodohan, dan kesenjangan sosial!”.
Selaras dengan apa yang dikatakan Bung Karno, dalam bukunya yang berjudul "The Road to Freedom: Economics and the good society, peraih Nobel ekonomi, Joseph Stiglitz juga mengingatkan, jika kemiskinan masih membelenggu dan pekerjaan sulit didapatkan, kita sejatinya belum ”bebas”.
Hentikan Perilaku Boros Para Pejabat
Yang pertama disasar tentu saja soal fasilitas. Misal, kendaraan pejabat, perjalanan dinas pejabat, rapat-rapat pejabat, fasilitas premium dan VVIP pejabat, dan berbagai keistimewaan lainnya yang menimbulkan beban APBN sudah selayaknya ditiadakan.
Itulah yang seharusnya dihemat pertama oleh pemerintah. Sehingga rakyat merasa pemerintah benar-benar bekerja dan siap “mengorbankan kenikmatan” jabatannya agar seluruh rakyat selamat.
Secara teknis agar rakyat langsung melihat keseriusan pemerintah, yakni dengan menurunkan seluruh level fasilitas VVIP pejabat. Mobil dari Toyota Alphard, turun menjadi Toyota Voxy. Dari Mitsubishi Pajero, turun menjadi Mistubishi Expander. Toyota Innova turun menjadi Toyota Avanza, dan seterusnya.
Revisi Satuan Biaya Masukan (SBM) juga dapat dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kemenkeu dapat menurunkan standar eselon I dan II, untuk sama-sama mendapatkan pagu kamar hotel yang sama dengan eselon di bawahnya, yakni III dan IV. Sehingga tidak perlu lagi negara mengeluarkan anggaran yang besar hanya untuk menyediakan kamar VVIP untuk para pejabat menginap.
Pun demikian juga dengan uang representasi. Komponen tersebut sebaiknya dihilangkan dalam momen keprihatinan ini. Pejabat tidak perlu mendapatkan komponen “uang saku” tambahan yang berbeda dari pejabat dan staf di bawahnya. Mereka telah cukup dengan besaran gaji, tukin, dan lain-lain. Tidak perlu lagi diberikan “uang tambahan” dalam perjalanan dinas oleh APBN.
Tak berhenti di situ, ruangan pun dapat dimodifikasi dengan adanya penambahan jumlah menteri, wakil menteri, dan pejabat terkait. Pemerintah menetapkan rentang luas ruangan yang standar untuk para pejabat, khususnya batas atas. Sehingga APBN tidak perlu terbebani oleh biaya perawatan, dan perabotan yang tak perlu.
Ruangan eselon menteri, wakil menteri, dan eselon I yang sebelumnya luas, dapat disekat untuk diberikan kepada staf terkait. Toh selama ini ruangan anggota DPR RI sudah lama hanya beberapa petak saja. Seharusnya bukan hal yang sulit bagi menteri, wakil menteri, dan eselon I untuk mengikuti langgam luas ruangan ala anggota DPR RI.
Sehingga upaya penghematan benar-benar terlaksana di lapangan, di hadapan rakyat, dan dimulai dari atas. Bukan dari bawah. Dengan begitu, anggaran yang dihemat dapat difokuskan untuk pengentasan kemiskinan yang masih di atas 24 juta orang.
Dengan adanya Inpres 1 tahun 2025 yang telah diterbitkan oleh Presiden Prabowo beberapa waktu lalu, harus benar-benar terlaksana di lapangan.
Dan jangan sampai target penghematan yang dituju salah sasaran. Yang harus dihemat itu yang sebelumnya boros, bukan yang sebelumnya “ngepas” atau bahkan “kurang”.
Memetakan Kemiskinan
Selanjutnya, dalam melihat angka kemiskinan, kita juga tidak boleh berhenti pada angka nasional. Harus dilihat juga secara kewilayahan. Dari sisi tersebut, di seluruh wilayah mulai dari Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku dan Papua, persentase penduduk miskin mayoritas memang berada di perdesaan.
Namun demikian, berbeda kondisinya jika kita lihat dari sisi jumlah. Jumlah penduduk miskin untuk wilayah Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, memang mayoritas di perdesaan. Tetapi khusus untuk Jawa, jumlah penduduk miskin mayoritas justru terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Jumlah penduduk miskin di perkotaan Jawa adalah 7,43 juta orang. Sedangkan di wilayah perdesaan Jawa, jumlah penduduk miskin adalah 5,19 juta orang.
Hal tersebut cukup berbeda dengan situasi pada September 2019, ketika jumlah penduduk miskin di Jawa perkotaan sebesar 6,3 juta orang dan perdesaan sebesar 6,2 juta orang. Hanya selisih sekitar 1,1 juta orang antara perkotaan dan perdesaan di Jawa. Sedangkan selisih pada September 2024, sebesar 2,24 juta orang.
Artinya, terjadi peningkatan selisih jumlah penduduk miskin antara perkotaan dan perdesaan. Jumlah penduduk miskin di perkotaan semakin “menjauh” dari perdesaan.
Sehingga dengan adanya data tersebut, maka paradigma dan pendekatan pengentasan kemiskinan harus juga harus sejalan dengan data di lapangan. Jangan terjebak dengan angka persentase semata.
Untuk wilayah Jawa misalnya, program pengentasan kemiskinan tidak melulu hal-hal yang cocok dengan masyarakat perdesaan. Harus juga disediakan opsi-opsi yang lebih banyak untuk tipologi pengentasan kemiskinan di perkotaan. Karena jumlah orang miskin di Jawa, mayoritas telah berada di perkotaan. Bukan di perdesaan.
Terlebih, penduduk miskin di perkotaan juga masih harus menghadapi ketimpangan yang cukup akut di depan mata. BPS mencatat Gini Ratio daerah perkotaan mencapai 0,402, atau jauh di atas gini perdesaan yang hanya berada di level 0,308. Gini perkotaan juga tercatat masih di atas gini nasional yang berada di angka 0,381.
Bahkan gini perdesaan September 2024 menjadi yang terendah kedua, setidaknya sejak Maret 2018. Sebaliknya, gini perkotaan menjadi yang tertinggi kedua, dalam rentang waktu yang sama.
Oleh karena itu, persoalan kemiskinan di perkotaan harus betul-betul ditangani secara holistik. Karena relatif lebih kompleks dengan dinamika problem yang terus bergerak dan ketimpangan yang lebih tinggi dari perdesaan.
Dan itu semua, dapat dikerjakan. Bahkan mudah untuk dikerjakan. Jika penghematan yang nyata dan riil di lapangan, benar-benar dikerjakan oleh pemerintah, dan seluruh elemen negara.
Meniru Model Pengentasan Kemiskinan ala China
"Carilah ilmu sampai ke negeri China". Demikian salah satu hadist yang pernah diucapkan Nabi Muhammad Saw beberapa abad silam. Hadist tersebut rasanya sangat relevan jika dikaitkan dengan kondisi China saat ini. Negara dengan kemajuan ekonomi yang sangat memukau dan bahkan mengejutkan negara-negara dunia pertama (baca, Barat).
Bayangkan, hanya dalam waktu empat dekade (40 tahun) China melesat menjadi negara adikuasa menyaingi Amerika Serikat (Inggris butuh tiga abad untuk jadi negara maju ekonominya, USA butuh kurang lebih satu abad).
Bahkan, kini China jadi negara super power ekonomi dunia mengalahkan dominasi Amerika Serikat. Dalam waktu singkat (4 dekade) juga China mampu melepaskan rantai kemiskinan yang menjerat 800 juta warganya. Pertanyaannya, apa yang membuat China berhasil mengangkat ratusan juta rakyatnya dari lubang kemiskinan?
Singkatnya, China sejak era kepemimpinan Deng Xiaoping mengubah doktrin ekonominya yang tadinya bersifat eksklusif di era Mao Zedong, China mengubah paradigma ekonominya menjadi lebih inklusif (membuka kran investasi, mendorong industrialisasi, mengirim pemuda/pemudinya bersekolah ke luar negeri). Meski inklusif dari sisi konsep ekonominya, sistem politik China tetap tak berubah dari era Mao Zedong hingga Xi Jinping saat ini (eksklusif).
Lantas Pertanyaannya, apa yang mesti dilakukan Indonesia agar berhasil seperti China, sebuah negara yang mampu melepaskan rantai kemiskinan yang menjerat ratusan juta rakyatnya?
Sebelum menjadi negara kaya seperti sekarang, China adalah negara yang juga sama seperti Indonesia yang berjibaku melawan penyakit korupsi.
Menyadari bahwa korupsi adalah salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan ketimpangan, China melakukan transformasi di bidang hukum utamanya dalam pemberantasan korupsi. Seperti diketahui, cara China menerapkan hukuman kepada para koruptor terlihat ekstrem (hukum mati) namun efek dari hukuman tersebut membuat China melesat jadi negara maju.
Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan Kembali Aparat Harus Netral di Pemilu
Apa yang dilakukan China, sudah semestinya dilakukan juga oleh Indonesia dalam menangani penyakit korupsi. Karena korupsi selama ini juga menjadi salah satu faktor penghambat kemajuan bangsa ini, khususnya di sektor ekonomi.
Berdasarkan data indeks persepsi korupsi, Transparency International menunjukkan bahwa negara-negara berkembang, tingkat korupsinya sangat tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa korupsi berkorelasi dengan rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi, PDB per kapita, kesenjangan ekonomi, hingga tingkat pertumbuhan sumber daya manusia.
Selain pemberantasan korupsi, Indonesia juga mesti memangkas budaya birokrasi yang begitu memusingkan. Sebab, budaya birokrasi selama ini menjadi salah satu penghambat iklim investasi.
Korupsi juga bisa menurunkan tingkat investasi sebuah negara, terutama foreign direct investment (FDI) atau investasi langsung dari luar negeri.
Mereka beranggapan, investasi di negara korup akan menyebabkan biaya transaksi yang tinggi akibat pungli dan suap.
Padahal, investasi sejatinya bisa berefek positif terhadap kesejahteraan warga. Mengurangi pengangguran, menciptakan banyak lapangan pekerjaan, mengurangi tingkat kemiskinan dan lainnya.