Jakarta, Gesuri.id - Apa yang membuat Soekarno bisa menjelaskan Marhaenisme dengan sangat baik? jawabannya Marhaen. Marhaen tidak sebatas nama petani yang dijumpainya di Desa Cigareleng, Bandung Selatan. Saat itu, Putra Sang Fajar bersepada dan tertuju pada seorang petani yang sedang mencangkul di tanahnya. Soekarno kemudian menghampirinya dan bertanya “siapa pemilik tanah yang kau garap ini”? yang luasnya kurang dari sepertiga hektare.
Dalam perbincangan, diketahui sang petani menggarap tanah sendiri (bukan dibeli, bagian warisan orang tua), memiliki sekop, cangkul, bajak (alat produksi) sendiri, tetapi hasil yang didapatkan tidak ada yang bisa dijual, untuk makan bersama istri dan empat anak saja sudah susah (lihat edisi revisi buku penyambung lidah rakyat, 2007:73-81).
Soekarno berkesimpulan bahwa Marhaen adalah rakyat kecil, punya modal, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa karena ada sistem yang menindas (dimiskinkan). Inilah yang disebut kemiskinan struktural dan fenomena ini terjadi di banyak negara berkembang. Kemiskinan struktural pada dasarnya adalah suatu bentuk kekerasan yang memerlukan analisis untuk menyadarinya dan kekerasan tidak harus fisik, bisa terjadi melalui proses hegemoni berupa cara pandang, cara berpikir, ideologi, kebudayaan, bahkan selera golongan tertentu yang mendominasi.
Soekarno kelak menggunakan nama Marhaen sebagai simbol untuk rakyat kecil yang ditindas oleh sistem. Jadi bukan hanya petani, tetapi buruh, dan proletar lain dan tidak hanya menjadi personifikasi bagi rakyat kecil. Tetapi menjadi ‘ideologi’ perlawanan pada imperialism--kapitalisme. Lantas apa antara Marhaen, Marhaenis dan Marhaenisme.
Di dalam buku “Penyambung Lidah Rakyat” Soekarno telah menyampaikan perbedaannya dalam pidato di Kongres Partindo di Kota Mataram tahun 1933. Marhaenisme adalah sosionasionalisme dan sosiodemokrasi. Jadi Marhaenisme adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya kapitalisme dan imperialisme. Marhaen ialah kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan dan kaum melarat Indonesia yang lain. Marhaenis merupakan tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang menjalankan Marhaenisme.
Marhaen dalam tulisan ini, dibatasi pada petani, setidaknya karena dua alasan: pertama, jumlahnya sangat besar dari 31,7 juta (Sensus Pertanian 2013) menjadi 38,7 juta (BPS 2022) dari 153,3 juta tenaga kerja di Indonesia; kedua, kontribusi pada PDB, data BPS (2022) menunjukan sektor pertanian menyumbang 12,4 persen (kontributor ketiga) setelah industri (18,3 persen) dan perdagangan (12,8 persen). Selama puluhan tahun, petani hidup jauh dari kata layak, mereka termarjinalkan.
Barulah di era Joko Widodo keberpihakan pada pertanian dan petani secara nyata ada, dibuktikan dengan anggaran Kementrian pertanian naik berkali-kali lipat untuk membiayai pembangunan irigasi, embung, alsintan, dan lain-lain. Dan hasilnya Nilai Tukar Petani (NTP) mengalami trend kenaikan. Per Mei 2022 sebesar 105,41 naik menjadi 106,31 pada Agustus 2022, Desember tahun yang sama naik lagi 109,00 dan ini berlanjut di tahun 2023 di bulan Maret 110,85 meskipun di bulan April turun sebesar 0,24 persen menjadi 110,58 persen. Angka ini sebenarnya sudah sesuai target pemerintah diawal, tetapi potensi untuk meningkatkan NTP menjadi lebih tinggi lagi cukup terbuka lebar.
Terlepas kemajuan tersebut, memang petani dalam sejarah dunia selalu menjadi pihak yang kalah. Kaum Marhaen menjadi manusia yang tidak merdeka-tidak kreatif. Padahal menyetir pendapat James Scott bahwa petani Indonesia itu sangat rasional, tanggap terhadap teknologi dan ingin maju. Namun ada faktor yang membatasi mereka yaitu penghasilan yang pas-pasan karena luas usaha yang relatif kecil.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh William Collier dimana keterlambatan dalam pembangunan pertanian disebabkan oleh hambatan faktor-faktor ekonomi seperti terbatasnya luas lahan, modal, dan kesalahan kebijakan pemerintah. Misalnya tanah sebagai basis produksi utama petani rataan kepemilikan mereka hanya 0.3-0.5 ha dan bahkan tak bertanah. Dengan lahan seperti itu, tentu sangat tidak ekonomis untuk usaha pertanian sekalipun dengan input teknologi dan benih unggul. Belum harga jual komoditas yang kadang jatuh saat panen tiba, dan faktor-faktor lainnya.
Kita tidak mungkin menjadi bangsa yang kuat selama petani masih lemah. Oleh karenanya mereka harus dilindungi oleh nagara bukan saja karena petani adalah produsen pangan dan memperkerjakan banyak orang, tetapi tolak ukur bangsa berdaulat adalah tingkat kedaulatan pangannya dan ini menjadi pertaruhan. Seperti yang selalu diingatkan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Prof. Dr. (H.C) Hj. Megawati Soekarnoputri bahwa bangsa Indonesia harus berdikari salah satunya dengan berdaulat pangan. Inilah salah satu inti ajaran “Trisakti” Soekarno.
Soekarno selalu mengingatkan bahwa “Petani adalah Soku Guru Bangsa”. Apa yang diperjuangkan (Marhaenisme) melalui perjuangan politik nasionalisme adalah mewujudkan keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan perikemanusiaan yang beradab pasca Indonesia merdeka. Dalam pandangan J.Eliseo Rocamora (Nasionalimse Mencari Ideologi, 1991:149) bahwa ideologi yang dikonsepkan Soekarno tentang “sosial ekonomi” adalah membebaskan wong cilik dari belenggu kapitalisme-imperialisme dan feodalisme lokal.
Soekarno menyadari rakyat yang lapar, tidak dengan serta merta kenyang hanya dengan dilemparkan kitab konstitusi. Ia sadar rakyat yang lapar bisa memicu kerusuhan sosial bahkan dis-integrasi bangsa. Itu mengapa Soekarno mengingatkan bahwa soal pangan adalah hidup matinya suatu bangsa.
Hal yang juga pernah diucapkan Mahatma Gandhi “bagaimana negara bisa sepenuhnya merdeka, bila pangan rakyatnya tak bisa dicukupi sendiri”. Dalam perspektif lebih luas, politik luar negeri, pangan menempati posisi strategis, bisa menjadi senjata untuk memukul dan menguasai negara lain. Seperti yang dikatakan Henry Kissinger (Mantan Menlu AS) kuasai minyak, maka Anda akan menguasai bangsa-bangsa. Kuasai pangan, maka Anda akan menguasai rakyat.
Petani mempunyai hak asasi untuk merasakan kesamaan minimal dengan sesama warga dari kelas lain. Negara harus menjamin bahwa petani berhak menikmati kekayaan alam bumi Indonesia secara adil. Negara harus memfasilitasinya. Sejarah tidak selamanya milik yang kalah, suatu waktu sejarah itu akan jadi milik petani. Harus dipahami bahwa pembangunan pertanian harus menjadikan petani merdeka dan kraetif. Manusia merdeka-kreatif hanya bisa ada, bila ada rasa aman dan bahagia.
Artinya, pengelolaan pertanian tidak boleh direduksi dalam sudut pandang homo-economicus, baik yang berpihak pada kepentingan pemodal yang dibangun dalam narasi pertumbuhan ekonomi. Jika masih demikian, maka pertanian masih akan diterjemahkan secara simplistik sebagai masalah-maslah ekonomi semata. Misalnya produksi, distribusi, efisiensi. Jangka pendek sah-sah saja, namun pendekatan semacam ini tidak menyelesaikan masalah. Disinilah kiranya penting melihat pembangunan pertanian Indonesia seperti yang di ingatkan Soekarno bahwa kemiskinan kaum marhaen (petani) akibat eksploitasi dari kapitalisme.
Oleh karenanya diperlukan cara pandang holistik, inovasi paradigma dalam melihat ini dengan bertumpu pada manusia (petani) sebagai pusat pembangunan pertanian. Hanya dengan seperti itu cita-cita kemerdekaan “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” teraktualkan 100 persen.