SUDAH cukup lama kita menangis, jangan menangis lagi, tegakkan mukamu menjadi manusia sejati, untuk menegakkan kebenaran.
Bait puisi pujangga India Swami Vivekananda itu dibacakan Megawati Soekarnoputri saat berpidato pada Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya 6 Desember 1993.
Di KLB PDI tahun 1993 itu, sinar kebintangan Megawati muncul. Dengan membawa harapan baru untuk jalan Perjuangan dengan keteguhan atas sebuah prinsip.
Pada titik itu, Megawati menunjukkan kualitasnya sebagai politisi perempuan yang kuat & berani melawan ketidakadilan dari sebuah rezim tangan besi yang pongah.
Dari Surabaya itulah, kali pertama tantangan terbuka dilayangkan pada rezim Orde Baru yang sedang menikmati puncak kuasanya.
Kala itu, hanya sedikit tokoh yang berani bersuara dan bertindak melawan Soeharto.Ia teguh menegakkan demokrasi & tetap melangkah maju sesengit dan seberat apapun risikonya.
Menantang kemauan rezim secara terbuka dalam kongres luar biasa itu bukannya tanpa risiko.
Sejak 1993, sebagai Ketum PDI dan kini menjadi PDI Perjuangan, Megawati tetap konsisten berjuang bersama rakyat.
Arus bawah PDI Perjuangan solid mendukung kembali kepemimpinannya untuk periode 2020-2025.
Sekali Mega Tetap Mega. Begitu aspirasi yang secara alamiah mencuat dari arus bawah kader Banteng seluruh Indonesia.
Megawati dianggap sebagai pemimpin kharismatik ideologis yang berprestasi.
Sosok perekat, solidarity maker yang mempersatukan partai. Ia dihormati karena perjuangannya di masa lalu, dan sekarang.
Salah satu legacy besarnya ialah melahirkan pemimpin-pemimpin hebat dari PDI Perjuangan & bangsa ke depan.
Karena itu, wajar jika seluruh kader dan pengurus PDI Perjuangan satu tarikan nafas perjuangan untuk mengatakan: Sekali Mega Tetap Mega!