Ikuti Kami

Konstitusi Nadi Ketatanegaraan: Refleksi Peringatan Hari Konstitusi

Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH, M.H adalah Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan

Konstitusi Nadi Ketatanegaraan: Refleksi Peringatan Hari Konstitusi
Anggota DPR I Wayan Sudirta. ANTARA/HO-DPR.

Jakarta, Gesuri.id - Tanggal 18 Agustus 1945 merupakan hari bersejarah bagi Indonesia karena pada tanggal tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) diresmikan sebagai konstitusi negara.

UUD 1945 lahir dari proses panjang perjuangan kemerdekaan dan menjadi landasan hukum tertinggi yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi ini menetapkan struktur pemerintahan, hak-hak dasar warga negara, dan prinsip-prinsip dasar negara, seperti kedaulatan rakyat dan keadilan sosial.

Pentingnya peringatan ini tidak hanya terletak pada pengakuan terhadap sejarah konstitusi, tetapi juga sebagai momen refleksi untuk mengevaluasi implementasi konstitusi serta relevansinya dalam konteks kekinian.

Peringatan ini memberikan kesempatan untuk menilai bagaimana konstitusi berfungsi dalam menghadapi tantangan-tantangan baru dan bagaimana prinsip-prinsip dasar konstitusi dapat terus dijaga dan diperkuat.

Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, wacana untuk melakukan perubahan UUD 1945 muncul di tengah arus politik ketatanegaraan Indonesia, mulai perubahan yang sifatnya terbatas hingga perubahan yang bersifat menyeluruh.

Bahkan muncul wacana untuk membatalkan Amendemen 1999--2002 dan mengembalikan UUD 1945 ke versi aslinya.

Konstitusi atau undang-undang dasar adalah hukum tertinggi dalam suatu negara. UUD merupakan kontrak sosial antara Pemerintah dengan rakyat dan merupakan sumber legitimasi yang memuat aturan dasar penyelenggaraan negara.

Konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengarahkan agar penegakan hukum di Indonesia secara prinsip menganut secara seimbang segi-segi baik dari konsepsi rechtsstaat dan the rule of law sekaligus, yakni menjamin kepastian hukum dan juga menegakkan keadilan substansial.

Lebih dari itu, UUD 1945 juga menekankan pada asas manfaat, yaitu asas yang menghendaki agar setiap penegakan hukum itu harus bermanfaat dan tidak menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Sejalan dengan perkembangan kehidupan kebangsaan dan ketatanegaraan negara Republik Indonesia pasca-Reformasi, maka dengan melalui amendemen UUD 1945, istilah rechtsstaat secara jelas dan tegas disebutkan dalam Batang Tubuh UUD 1945 yang sebelum amendemen hanya ditemukan dalam Penjelasan UUD 1945.

Hal ini mempertegas komitmen bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, bukan negara kekuasaan yang otoriter.

Tantangan dan dinamika permasalahan bangsa

Indonesia bertransisi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis dengan ditandai amendemen UUD 1945, antara tahun 1999--2002, opsi amendemen dipilih karena pandangan kesakralan UUD 1945 sebagai dokumen simbolik perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Meski sudah mengambil keputusan untuk mempertahankan UUD 1945, transisi Indonesia masih terlihat sebagai keberhasilan karena amendemen berhasil mendemokratisasi konstitusi dan mengadopsi prinsip konstitusionalisme.

Misalnya saja, perubahan yang terjadi menyebabkan adanya checks and balances di Indonesia dengan memberikan kontrol yang lebih besar kepada DPR.

Sekarang UUD 1945 terdiri atas 194 paragraf (ayat), hanya 29 yang asli dan selebihnya merupakan amendemen. Setelah hampir 20 tahun pelaksanaannya, UUD 1945 hasil amendemen tahun 1999--2002 diakui masih menyimpan potensi kelemahan, baik bersifat materiil-substantif ataupun sekadar kekurangan formalitas-teknis.

Kelemahan aspek materiil-substantif hasil amendemen UUD 1945 dapat dilihat salah satunya berkaitan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, yakni mengenai RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden tetapi tidak disahkan Presiden. Akibatnya, beberapa undang-undang lahir tanpa pengesahan (tidak ditandatangani) oleh Presiden.

Polemik perubahan UUD 1945 sampai saat ini juga disebabkan UUD 1945 merupakan UUD sementara (kilat). Para pendiri bangsa menyadari bahwa UUD yang mereka bentuk merupakan UUD yang bersifat sementara, sifat kesementaraan dihadapkan pada berbagai tantangan internal dan eksternal dan mendorong perubahan UUD, walaupun tidak melalui amendemen resmi.

Perubahan paling mencolok dimulai dengan Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tanggal 16 Oktober 1945 yang mengubah status Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang semula badan yang semata-mata membantu Presiden, berubah menjadi badan dengan fungsi legislatif, demikian juga yang dilakukan melalui Maklumat Pemerintah Tanggal 4 November 1945 yang mengubah sistem presidensial ke sistem parlementer.

Sifat kesementaraan UUD 1945 ini menandai krisis konstitusional dan krisis politik yang menimbulkan legal risk berupa produk-produk hukum seperti dekrit, surat perintah, penetapan presiden yang tentunya belum dikenal dalam hukum positif di Indonesia sesuai UUD 1945.

Pancasila dan konstitusi sebagai solusi 

Pancasila yang berakar dari kehidupan bangsa Indonesia tersebut pada hakikatnya mengandung pandangan yang mengutamakan harmoni dalam kehidupan masyarakat. Pengutamaan demikian karena harmoni merupakan sikap budaya Indonesia yang sama dalam semua kebudayaan Indonesia, yakni manusia Indonesia yang selaras (harmoni) dalam hubungannya dengan alam semesta dan masyarakat.

Sebagai sebuah nilai, Pancasila kemudian diadopsi dalam UUD 1945 (khususnya pembukaan). UUD dipahami bersifat futuristik dalam meletakkan dasar dan memberi arah kehidupan berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan di masa depan.

Apa yang digariskan oleh UUD tersebut kemudian diuji apakah dapat berjalan efektif atau tidak dalam gerak dinamis kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila dalam perkembangan/pelaksanaannya UUD dinilai tidak berjalan efektif sebagaimana yang diharapkan maka lahirlah tuntutan perubahan.

Hal ini menegaskan bahwa UUD tidak hadir dalam ruang hampa. Ia diharapkan dapat merespon kebutuhan kekinian (now and present) sehingga UUD bersifat dinamis dan tidak tabu untuk mengalami perubahan.

Tentu saja perubahan yang dimaksud haruslah sesuatu yang bersifat fundamental bagi bangsa dan negara, yang kemudian diharapkan menjadi milestone bagi arah kehidupan berbangsa dan bernegara berikutnya.

Tuntutan perubahan terhadap UUD tidak dapat dilepaskan dari kematangan dan kemapanan suatu negara yang terentang dalam dimensi waktu terbentuknya suatu negara bangsa.

Kian lama suatu negara berdiri akan semakin mapan sehingga kian berkurang tuntutan perubahan terhadap UUD. Bisa kita tengok sejarah Amerika Serikat yang berdiri sejak tahun 1776, Konstitusi AS —yang merupakan konstitusi tertulis tertua dalam sejarah— yang ditetapkan tahun 1787, telah 27 (dua puluh tujuh) kali mengalami perubahan. Terakhir yakni amendemen ke-27 pada tahun 1992.

Namun, makin ke sini perubahan konstitusi AS kian berkurang seiring dengan kemapanan dan stabilitas sistem ketatanegaraan yang mereka bangun.

Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat tahap dalam kurun 1999 hingga 2002 sejalan dengan desakan reformasi yang begitu kuat saat itu.

Perubahan tersebut pada dasarnya dapat dipahami dari perspektif/pendekatan kesejarahan (historical approach) di mana para pendiri bangsa menyusun UUD 1945 dalam kondisi yang tergesa-gesa untuk memenuhi kebutuhan Indonesia merdeka.

Sebagai sistem konstitusi, UUD 1945 belumlah sempurna. Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pendiri bangsa ketika merumuskannya. Dalam risalah seputar kegiatan perumusan UUD 1945, Bung Karno pernah menyatakan bahwa UUD tersebut bersifat sementara dan kilat.

Kata Bung Karno, “Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekadar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna”.

Meski kemudian--karena dinamika perjuangan dan politik pascakemerdekaan--upaya penyempurnaan UUD tersebut tidak sempat terlaksana. Hingga saat reformasi bergulir kuat pada tahun 1997/98 dirasakan kebutuhan untuk melakukan perubahan UUD 1945, yang hasilnya berlaku hingga saat ini.

Kemudian setelah lebih dari 20 tahun pelaksanaan UUD 1945 hasil perubahan tersebut, ternyata masih dirasakan ada ketimpangan antara normatif UUD dengan praktik sistem ketatanegaraan, maka lahirlah kembali tuntutan perubahan UUD 1945.

Hal ini bisa dipahami kembali berdasarkan pendekatan kesejarahan bahwa memang perubahan UUD 1945 pada tahun 1999--2002 dilakukan secara reaktif dan terburu-buru akibat tekanan politik reformasi yang begitu kuat.

Selain itu, perubahan UUD 1945 lebih mengakomodasi pelbagai kepentingan politik daripada kepentingan pembangunan sistem ketatanegaraan yang semakin mapan sehingga secara substansi memiliki keterbatasan dan kelemahan yang tidak dapat dipakai sebagai rujukan konstitusional yang memadai. Pun, desakan perubahan UUD 1945 saat ini juga semakin gencar dilakukan oleh beragam kelompok masyarakat.

Dalam praktik ketatanegaraan yang berjalan ditemukan sejumlah keterbatasan dan kelemahan dalam sistem ketatanegaraan, yang jika ditelusuri, bersumber dari pengaturan di dalam UUD 1945.

Keterbatasan atau kelemahan tersebut menyebabkan proses-proses bernegara berjalan tidak sebagaimana mestinya. Dinamika terhadap konstitusi ini mungkin terasa sulit mengikuti perkembangan zaman.

Apalagi, konstitusi merupakan kesepakatan lembaga yang membuatnya sesuai keadaan sosial, politik, dan ekonomi pada saat dibuat.

Oleh karena itu, agar menjadi tidak tertinggal dengan kebutuhan masyarakatnya, perubahan konstitusi menjadi suatu yang niscaya. Secara hukum, keniscayaan tersebut pulalah yang menjadikan dasar sebuah konstitusi harus merumuskan pengaturan bagaimana mengubah konstitusi itu sendiri.

David A. Strauss dalam bukunya "The Living Constitution" menyebutkan bahwa peradaban selalu mengalami perubahan sehingga mustahil bagi konstitusi mengikuti lajunya perubahan tersebut.

Konstitusi sebagai hukum dasar suatu negara  sering kali dianggap sebagai dokumen yang kaku dan sulit diubah.

Namun, dalam kenyataannya, konstitusi yang baik adalah yang bersifat dinamis, mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, dan mampu menjadi solusi atas permasalahan bangsa. Hal ini untuk mengikuti dinamika perubahan sosial, perkembangan teknologi maupun dampak dari globalisasi.

Kesimpulan

Konstitusi merupakan landasan fundamental dalam sebuah negara, menetapkan prinsip-prinsip dasar yang mengatur struktur pemerintahan dan hak-hak warga negara.

Namun, pentingnya konstitusi bukan hanya terletak pada eksistensinya sebagai dokumen hukum, melainkan juga pada penegakan yang konsisten dan efektif.

Penegakan konstitusi adalah aspek yang lebih krusial karena memastikan bahwa prinsip-prinsip yang tertulis dalam konstitusi diimplementasikan dengan adil dan merata dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks Indonesia, konstitusi tidak hanya sekadar teks, tetapi merupakan refleksi dari pemikiran dan cita-cita para pendiri bangsa. Konstitusi adalah manifestasi dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dirumuskan untuk melindungi dan memajukan kepentingan seluruh rakyat.

Daya lestari konstitusi mencerminkan komitmen untuk menjaga warisan intelektual dan ideologis dari para pendiri bangsa serta memastikan bahwa konstitusi tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman.

Dengan demikian, meskipun konstitusi adalah dokumen yang sangat penting, penegakan konstitusi yang konsisten dan tanpa pandang bulu adalah kunci untuk memastikan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya benar-benar diterjemahkan dalam praktik pemerintahan dan kehidupan masyarakat.

Penegakan yang efektif memastikan bahwa konstitusi tidak hanya tetap sebagai dokumen bersejarah, tetapi juga sebagai alat hidup yang membimbing negara menuju keadilan, kesejahteraan, dan kemajuan.

Sumber www.antaranews.com

Quote