“Tetaplah tenang, tinggallah tenteram, peganglah teguh-teguh disiplin, siap-sedialah untuk berjuang guna kemerdekaan negeri kita dalam waktu yang maha genting ini!” Pidato Sukarno pada 23 Agustus 1945 atau tepatnya 73 tahun yang lalu.
Inilah untuk pertama kalinya Bung Karno berpidato secara resmi dan disiarkan melalui radio ke berbagai wilayah setelah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Baca: Pertemuan IMF-WB, Ajang Jokowi Buktikan Trisakti Bung Karno
Terdapat banyak poin penting yang disampaikan Sukarno dalam situasi yang belum stabil saat itu.
Bung Karno melalui pidatonya berkali-kali menekankan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tenang, waspada, namun selalu bersatu-padu serta tetap siap-sedia melanjutkan perjuangan yang sejatinya belum usai meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Meski, Presiden Sukarno juga mengakui tidak mudah untuk tetap tenang lantaran perubahan yang amat mendadak dan drastis.
Dalam pidatonya, dinukil dari Documenta Historica: Sedjarah Dokumenter dari Pertumbuhan dan Perdjuangan Negara Republik Indonesia Volume 1 (1953) yang disusun Osman Raliby, Bung Karno berkata: ”Pekerjaan dan perjuangan menyusun Indonesia Merdeka di alam peperangan sekonyong-konyong harus berganti menjadi pekerjaan dan pekerjaan menyusun Indonesia Merdeka di dalam keadaan internasional sekarang, yaitu dalam perdamaian” (hlm. 17).
Sukarno menghendaki agar bangsa Indonesia turut menjaga perdamaian dunia karena negara yang baru saja merdeka ini telah menjadi bagian dari lingkungan internasional dan membutuhkan dukungan dari negara-negara lain.
Demikian pula yang diserukan Presiden Jokowi saat membuka Pertemuan Tahunan IMF-World Bank, Bali Nusa Dua Convention Center Bali, Jumat (12/10). Presiden mengajak seluruh bangsa-bangsa di dunia dan khususnya bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari bangsa-bangsa di dunia untuk tetap tenang menghadapi badai krisis ekonomi global.
Presiden mengajak seluruh bangsa di dunia untuk bergotong-royong dalam bentuk bekerjasama dan berkolaborasi, dibandingkan rivalitas dan kompetisi. Sebab, konfrontasi dan perselisihan akan mengakibatkan penderitaan, bukan hanya bagi yang kalah namun juga yang menang.
Khususnya untuk dalam negeri, untuk NKRI, Presiden Jokowi mengingatkan adanya peningkatan risiko ancaman krisis ekonomi global. Untuk itu, Indonesia harus tetap waspada dan siap siaga dalam menghadapi ketidakpastian global.
Meskipun, Jokowi mengingat Indonesia pernah sukses melewati masa krisis ini, sepuluh tahun yang lalu. Indonesia mengalami Krisis Finansial Global. Namun berkat langkah-langkah kebijakan moneter dan fiskal yang luar biasa, yang membutuhkan keberanian politik yang besar, para pembuat kebijakan saat itu telah menyelamatkan dunia dari depresi global yang pada waktu itu sudah di depan mata.
Baca: Bos IMF Puji Presiden Jokowi Kelola Ekonomi Indonesia
Untuk itu, Presiden Jokowi menyampaikan selamat atas kesuksesan Indonesia dalam mengatasi Krisis Finansial Global di tahun 2008.
Selanjutnya, Jokowi mencontohkan, seperti yang disampaikan Direktur Pelaksana dan Ketua Dana Moneter Internasional (IMF) Christina Lagarde, terdapat banyak masalah yang masih membayangi perekonomian dunia.
Amerika Serikat menikmati pertumbuhan yang pesat, namun di banyak negara terdapat pertumbuhan yang lemah atau tidak stabil. Perang Dagang semakin marak dan inovasi teknologi mengakibatkan banyak industri terguncang. Negara-negara yang tengah tumbuh juga sedang mengalami tekanan pasar yang besar.
Jokowi menganalogikan hubungan antar negara-negara ekonomi maju, semakin lama semakin terlihat seperti dalam film “Game of Thrones”.
"Dalam beberapa decade terakhir ini …, negara ekonomi maju telah mendorong kami negara ekonomi berkembang…. untuk “membuka diri”, …. dan ikut dalam Perdagangan Bebas dan Keuangan Terbuka. Globalisasi dan keterbukaan ekonomi internasional ini … telah memberikan banyak sekali keuntungan…. baik bagi negara maju maupun negara berkembang. Berkat kepeduliaan dan bantuan negara ekonomi maju, …. kami negara-negara berkembang … mampu memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi dunia…
Namun akhir-akhir ini, hubungan antar negara-negara ekonomi maju… semakin lama semakin terlihat seperti “Game of Thrones”…
Balance of power…dan aliansi antar negara-negara ekonomi maju… sepertinya tengah mengalami keretakan…Lemahnya kerjasama dan koordinasi telah menyebabkan terjadinya banyak masalah …. seperti peningkatan drastis harga minyak mentah… dan juga kekacauan di pasar mata uang yang dialami negara-negara berkembang…"
Baru saja pidato tersebut diluncurkan Presiden Jokowi pada Acara Opening Plenary
Pertemuan Tahunan IMF-World Bank, Bali Nusa Dua Convention Center Bali, Jumat (12/10), kini rupiah kembali terpuruk fatal.
Nilai tukar rupiah kembali mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (15/10). Berdasarkan data Bloomberg pukul 10.24 WIB, di pasar spot rupiah terkoreksi 0,35 persen ke level Rp 15.250 per dollar AS.
Sementara pada kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah melemah 0,03 persen ke Rp 15.246 per dollar AS.
Analis monex Investindo Futures, Faisyal mengatakan, pelemahan rupiah merupakan imbas dari menguatnya dolar AS terhadap beberapa mata uang utama dunia, salah satunya euro.
Hal ini mengingat masih banyak sentimen negatif yang menyeliputi kawasan Eropa, seperti belum selesainya masalah anggaran Pemerintah Italia dan perdebatan soal perjanjian Brexit.
Dolar AS kian kuat semenjak muncul kasus hilangnya jurnalis Washington Post, Jamal Kashoggi. Arab Saudi diduga menjadi dalang atas hilangnya jurnalis tersebut. Alhasil, baik Arab Saudi maupun AS kini sedang terlibat konflik.
Baca: IMF Kucurkan Rp2 Miliar Bagi Korban Gempa Lombok dan Sulteng
Bahkan, Presiden Donald Trump telah memberikan ancaman hukuman bagi Arab Saudi atas kasus tersebut. Konflik ini menimbulkan kekhawatiran bagi para investor bahwa harga minyak mentah dunia akan kembali melambung.
"Kekhawatiran ini juga membuat para investor menghindari aset-aset berisiko seperti rupiah," kata Faisyal.
Lebih lanjut, pelemahan rupiah juga didorong ekspektasi kembali defisitnya neraca perdagangan Indonesia bulan September yang akan dirilis siang nanti. Jika kembali defisit, hal tersebut akan semakin memperberat langkah rupiah mengingat cadangan devisa Indonesia juga terus tergerus, sementara kebutuhan akan dollar AS meningkat.
Menurut Faisyal, besar kemungkinan pelemahan rupiah akan berlanjut dan diprediksi akan berada di kisaran Rp 15.200-Rp 15.280 per dollar AS sepanjang Senin.
Rupiah Menguat Tipis
Bersyukur, hari ini, Selasa (16/10) pagi, pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, kembali menguat meski tipis 12 poin menjadi Rp15.208 dibandingkan Senin (15/10), Rp15.220 per dolar AS.
Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada menilai pergerakan rupiah masih memiliki kecenderungan yang stagnan di pasar valuta asing.
"Adanya rilis surplus perdagangan senilai 0,23 miliar dolar AS, meski mendapat apresiasi positif dari sejumlah kalangan terutama Kementerian Keuangan, belum banyak memberikan sentimen positif pada rupiah," kata dia, seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan nilai neraca perdagangan Indonesia pada September 2018 mengalami surplus 0,23 miliar dolar AS, yang dipicu oleh surplus sektor nonmigas 1,30 miliar dolar AS meskipun sektor migas mengalami defisit 1,07 miliar dolar AS.
Di sisi lain, sentimen dari kesepakatan swap antara Indonesia dan Jepang masih belum mendapatkan tanggapan yang positif.
Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) dan Bank of Japan telah menandatangani amandemen perjanjian kerja sama Bilateral Swap Arrangement (BSA) pada tanggal 14 Oktober 2018.
Sebagaimana perjanjian sebelumnya, nilai fasilitas swap masih sama, yaitu sampai dengan 22,76 miliar dolar AS.
Reza memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran antara Rp15.188 dan Rp15.215 per dolar AS.
Meski rilis dari BPS terkait surplusnya neraca perdagangan belum membuat rupiah menguat, namun diharapkan tekanan global dapat lebih berkurang.
Baca: Jokowi Lakukan Pembangunan Infrastruktur Tanpa Tebang Pilih
Ajakan Semangat Gotong Royong
Tentunya tak hanya lemah atau kuatnya kurs rupiah terhadap dolar AS yang menjadi tolok ukur satu-satunya bagi Indonesia dalam melihat pergerakan krisis ekonomi global dan dampaknya bagi Indonesia.
Masih banyak lagi, namun dengan ajakan semangat gotong royong dari Presiden Jokowi kepada seluruh bangsa di dunia dalam menghadapi krisis ekonomi global, lebih meyakinkan kita bahwa itulah jalan satu-satunya yang harus ditempuh demi mencapai kemenangan dan perdamaian serta kesejahteraan seluruh umat manusia di bumi ini.
"Ketika kemenangan sudah dirayakan …. dan kekalahan sudah diratapi …. Barulah kemudian kedua-duanya sadar …. Bahwa kemenangan maupun kekalahan dalam perang selalu hasilnya sama … yaitu dunia yang porak poranda…Tidak ada artinya kemenangan … yang dirayakan di tengah kehancuran …Tidak ada artinya menjadi kekuatan ekonomi yang terbesar …, di tengah dunia yang tenggelam…
Saya ingin menegaskan bahwa … saat ini kita masuk pada “Season Terakhir” dari pertarungan ekspansi ekonomi global yang penuh rivalitas dan persaingan.Bisa jadi situasinya lebih genting dibanding krisis finansial global sepuluh tahun yang lalu …
Kami bergantung pada Saudara-saudara semua… para pembuat kebijakan moneter dan fiskal dunia… untuk menjaga komitmen kerjasama global…
Saya sangat berharap… Saudara-saudara akan berkontribusi… dalam mendorong para pemimpin dunia untuk menyikapi keadaan ini secara tepat… Diperlukan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal… yang mampu menyangga dampak dari Perang Dagang, …. Disrupsi Teknologi, dan ketidak pastian pasar…
Saya harap Pertemuan Tahunan kali ini berlangsung produktif…
Saya harap Anda semua mampu menyerap tenaga dan memetik inspirasi …. indahnya alam Bali dan Indonesia. Untuk menghasilkan kejernihan hati dan pikiran …dalam memperbaiki kondisi finansial global… untuk kebaikan Bersama." (Presiden Jokowi, pidato 'Opening Plenary' Pertemuan Tahunan IMF-World Bank Bali Nusa Dua Convention Center Bali, Jumat, 12 Oktober 2018).