Jakarta, Gesuri.id - Harapan bisa dibangun dari mana saja, termasuk dari sebuah persamuhan antara dua orang yang mewakili dua dunia. Saat melihat Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri bertemu dengan Imam Besar Al Azhar Ahmed El-Tayeb di Jakarta pada Kamis, 11 Juli 2024, kita tahu ada asa, cita-cita, dan komitmen bersama yang tengah dikukuhkan.
Bu Mega dan El-Tayeb memperbincangkan ikhtiar untuk menciptakan dan menjaga perdamaian maupun persaudaraan umat manusia saat ini. Di tengah pertikaian yang semakin tajam dan memakan korban, mulai dari Gaza hingga Ukraina, percakapan keduanya memberikan pesan besar bagi semua orang bahwa perdamaian adalah tanggung jawab bersama.
Dari sekian tema pembicaraan, ada sejumlah hal penting yang disinggung Bu Mega dalam percakapan penting tentang perdamaian ini: kemanusiaan dan keadilan global. Perdamaian bukan kata kosong yang berangkat dari ruang hampa sosial politik. Perdamaian bagaikan taman bunga warna-warni yang disiram dengan air kemanusiaan, disemai dengan rasa keadilan, dan dipupuk dengan empati.
Surat An-Nisa’ ayat 114 dalam kitab suci Alquran menegaskan, “Tidak ada kebaikan pada banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali (pada pembicaraan rahasia) orang yang menyuruh bersedekah, (berbuat) kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Siapa yang berbuat demikian karena mencari rida Allah kelak Kami anugerahkan kepadanya pahala yang sangat besar.”
Di sini kita tahu, bahwa perdamaian umat manusia adalah keutamaan dalam agama dan dicintai Tuhan. Dan untuk menggapai perdamaian, keadilan menjadi kata kunci. Dalam Surat Al Hujurat ayat 9, Tuhan memerintahkan manusia untuk bersikap adil. “Bersikaplah adil! Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil.”
Pertautan keadilan dan perdamaian juga sudah sejak lama digaungkan, salah satunya oleh
Martin Luther King, seorang pejuang persamaan hak dan keadilan dari Amerika Serikat. Dalam pidatonya di luar penjara California tempat para demonstran yang memprotes perang Vietnam ditahan, 14 Desember 1967, ia menyerukan: “There can be no justice without peace and there can be no peace without justice.”
Perdamaian dan keadilan adalah dua sisi mata uang. Tidak terpisahkan, dan itu menjadi kunci penyelesaian persoalan dunia saat ini. Perang di Jalur Gaza tidak akan bisa diselesaikan tanpa perlakuan yang adil terhadap rakyat Palestina. Ini prinsip yang tak bisa ditawar dalam memandang persoalan dunia internasional.
El-Tayeb pun menyampaikan apresiasi atas keteguhan Bu Mega untuk membela hak asasi kemerdekaan Palestina. Sebuah cerminan keteguhan yang sudah dipancangkan sejak era Bung Karno. “Saya mengapresiasi sikap Ibu Megawati selama ini yang kokoh mendukung kemerdekaan Palestina," kata Al Tayeb, saya kutip dari Kompas.com.
Prinsip perdamaian dan keadilan sebagai dua sisi mata uang yang terpisahkan memang telah meneguhkan sikap Bu Mega dan PDI Perjuangan untuk selalu konsisten berada di sisi rakyat Palestina—bahkan untuk keteguhan sikap itu membuat partai tersebut dan para tokohnya menjadi sasaran protes saat menolak kehadiran tim sepak bola Israel dalam Piala Dunia U20. Only time will tell. Waktu membuktikan bahwa sikap tersebut benar dan relevan, terutama setelah kita menyaksikan kekejaman Israel di Palestina. Tidak boleh ajang mulia penuh sportivitas seperti olahraga menjadi alat cuci bersih (sport washing) kekejaman politik.
Persamuhan Bu Mega dan El Tayeb menjadi sinyal betapa perdamaian harus menjadi harapan yang terus digaungkan dan diupayakan—meski tak mudah. Saat harapan sudah digemakan, maka kita tahu, sesungguhnya akan ada banyak tantangan yang terhampar di depan mata untuk mewujudkannya.
Harapan melampaui rasa takut. Namun karena bisa mengalahkan ketakutan, maka bagi sebagian orang, harapan bisa sangat membahayakan kepentingan mereka, sebagaimana diucapkan tokoh Presiden Snow dalam novel Hunger Game: “Hope. It is the only thing stronger than fear. A little hope is effective. A lot of hope is dangerous.”
Maka tugas kita semua untuk terus-menerus mengingatkan, bahwa harapan terhadap perdamaian dunia belum mati selama kita masih memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Narasi tentang indahnya perdamaian boleh jadi sudah menua, sudah terlampau sering disampaikan sejak berabad silam. Tapi ia tak boleh melemah. Bu Mega dan El-Tayeb terus menghidupkannya.