Surabaya, Gesuri.id - Waktu kecil, saya punya keinginan nyeleneh. Ingin bisa telepon dengan Ibu Megawati Soekarnoputri. Tidak ada alasan khusus. Semata-mata karena ingin mendengar langsung suara Ketua Umum PDI Perjuangan itu. Intonasinya khas. Suaranya lembut namun bisa menggelegar. Pembawaan kharismatik, dengan pitutur-pitutur keibuannya.
Saya lahir 2001, tahun sama Ibu Megawati dilantik Presiden ke-5 RI hingga 2004. Mungkin karena sejak kecil saya sering melihat pidatonya di televisi, lantas memori itu mengendap di bawah sadar. Ibu Megawati meresap sebagai figur pemimpin perempuan Indonesia yang tangguh.
Bagaimana tidak? Politik yang didominasi laki-laki, berhasil direbut Ibu Megawati hingga puncak dan bertahan lama. Menjadi ketua umum partai politik terlama. Episentrum politik saat ini yang keputusannya dinanti khalayak. Pernyataannya konsisten merajai pemberitaan media massa hampir setiap saat. Pendapatnya dikupas mulai politisi, pengamat hingga obrolan rakyat di warung kopi. Politik Indonesia modern tidak terlepas dari Megawati.
Memiliki bonding
Ibu Megawati berhasil membangun PDI Perjuangan hingga besar. Tahan guncangan dan “gempa”. Tahan puasa kekuasaan. Dikuyo-kuyo dan dipinggirkan oleh penguasa, namun akhirnya berjaya.
Berhasil membangun infrastruktur partai lengkap, dari pusat sampai level dusun atau RW. PDI Perjuangan adalah parpol yang paling berpengaruh saat ini, di hampir semua lini, dan patut dijadikan rujukan.
Baca: BMI Sulut Salurkan Bantuan ke Korban Banjir & Tanah Longsor
Pada HUT ke-50 PDI Perjuangan, 10 Januari lalu, saya menyaksikan langsung di Kemayoran. Ibu Megawati merefleksikan perjalanan PDI Perjuangan. Dari PNI yang didirikan ayahandanya, Soekarno, dan kawan-kawan pada 4 Juli 1927. Lalu melebur dalam PDI, bersama parpol lain. Hingga menjadi PDI Perjuangan.
Perjalanan panjang, penuh liku, terjal dan keras. Ibu Megawati mengajarkan kesabaran revolusiner dalam perjuangan dan kerja keras, dengan semangat api nan tak kunjung padam, dengan gotong royong dan persatuan erat. Dengan penuh keyakinan satyam eva jayate, pada akhirnya kebenaran akan menang.
Satyam eva jayate berasal dari bahasa Sansekerta. Diajarkan para sesepuh Jawa kepada Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Keyakinan itulah yang dipegang teguh Ibu Megawati dan menempa perjalanan PDIP sebagai partai ideologis ajaran-ajaran Bung Karno, dalam berbagai gelombang jaman.
Dari tangan Ibu Megawati, lahir pemimpin-pemimpin seperti Presiden RI Joko Widodo, Ketua DPR RI Puan Maharani, Menteri Sosial Tri Rismaharini, hingga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Banyak kader PDI Perjuangan yang lahir dari dialektika politik yang diorkestrasi Ibu Megawati.
Ibu Megawati mengedepankan pentingnya regenerasi. Bukan sembarang rotasi kepemimpinan. Tetapi regenerasi yang menggodok para pemimpin di kawah candradimuka keseharian rakyat. Menguji kadar kepemimpinan dari bawah. Pemimpin yang tahan banting dan mumpuni. Mampu menyatu dan berbela rasa dengan orang-orang, rakyat yang dipimpinnya.
Ibu Megawati menyebut bonding, manunggaling pemimpin dengan sel terkecil bangsanya. Kata “bonding” kerapkali diangkat dalam pidato beliau. Yakni, terjadinya kesatuan batin yang mewarnai kesadaran, pikiran dan tindakan. Kesatuan hati pemimpin dan rakyat. Antara kader partai dan pemimpin. “Yang tidak punya bonding sebaiknya keluar. Hatimu harus bergerak. Harus jadi satu dengan rakyat,” kata Ibu Megawati.
Berkaca dari kader-kader banteng, menunjukkan karakter kepemimpinan yang lugas. Tanpa tedeng aling-aling. Cerminan politik egaliter. Ada api perjuangan Bung Karno dalam diri Ibu Megawati. Keteladanan Sukarno yang anti-feodalisme ditampakkan dalam pentas politik nasional oleh Ibu Mega.
Meminjam istilah pengamat politik, Airlangga Pribadi, Ibu Megawati adalah teladan politik lugas. Menjadi anti-tesis dari politik basa-basi yang sudah terlalu sering ditampilkan kalangan politisi di negeri ini.
Teladan Generasi Masa Depan
Saya tidak menikmati detail kepemimpinan Ibu Megawati semasa presiden. Usia saya saat itu masih balita. Tapi saya menikmati buah dari kepemimpinan Ibu Megawati. Saya merasakan melalui pemimpin-pemimpin yang dilahirkannya. Melalui platform kebijakan para kadernya. Saya menikmati perjalanan lancar melewati jalan tol yang dibangun Presiden Jokowi.
Saya berbahagia sekali tatkala Mbak Puan (Ketua DPR RI Puan Maharani) mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang melindungi sekian banyak kawan saya, yang tanpa henti memperjuangkan keamanan dirinya di kampus dan sekolah-sekolah.
Saya merasakan taman-taman hijau dan pendidikan gratis dari kebijakan Bu Risma ketika menjabat Walikota Surabaya. Di Surabaya, saya juga merasakan kota besar yang nyaman dan harmoni, ketika dipimpin Pak Bambang DH, kader banteng senior loyalis Megawati. Saya menikmati teladan cinta tanah air dan toleransi yang terus digaungkan Mas Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah.
Melalui kebijakan kader-kadernya, Ibu Megawati memberikan warisan kepada anak-anak muda. Generasi masa depan yang bakal memegang tongkat estafet. Warisan itu: politik adalah berpihak pada rakyat. Terutama rakyat jelata atau wong cilik.
Keberpihakan pada cita-cita besar Indonesia Raya, ideologi Pancasila dan sesanti Bhineka Tunggal Ika. Inilah kebenaran kesadaran politik yang harus meresap hingga balung sumsum, mengaliri segenap pembuluh darah hingga yang kecil-kecil sekalipun.
Ibu Megawati kerap bersuara lantang tentang nasib rakyat miskin dan balita stunting. Keberpihakan kekayaan Indonesia. Mengangkat pelestarian hayati, flora dan fauna nusantara, hasil bumi dan laut, makanan pendamping nonberas, masakan yang direbus, tidak bergantung minyak goreng.
Baca: Gibran Rahasiakan Isi Pembicaraan Dengan Megawati
Mengangkat anak-anak muda, kaum milenial. Keberpihakan pada kemajuan masyarakat, pada ilmu pengetahuan, riset dan teknologi.
Secara konsisten dan konsekuen, kesadaran itu mewujud dalam berbagai keteladanan yang bergema di hati masyarakat Indonesia. Keberpihakan pada rakyat – yang menjadi basis kekuatan dan spirit Ibu Megawati Soekarnoputri dan kader-kader PDIP – adalah kunci utama. Kekuatan dahsyat bagi siapapun anak-anak muda yang tertarik untuk berbuat lebih banyak bagi negerinya.
Ibu Megawati mengajarkan, “Menangis dan tertawa bersama rakyat!” Apabila rakyat berbahagia, maka kader PDIP menyelami rasa bahagia itu lebih dalam. Ketika rakyat menderita, penderitaan itu harus diresapi para kader. Hati, pikiran dan tindakan menyatu. Saya bangga. Di manapun saya memandang dan menjejakkan kaki di negeri ini, ada suara Ibu Megawati yang terdengar jelas.
Tanggal 23 Januari lalu, Ibu Megawati berulang tahun ke-76. Dengan hormat, saya mengucapkan terimakasih atas segala keteladanan bagi kami anak-anak muda. Merdeka…!!!