Jakarta, Gesuri.id - Berkaitan dengan terbitnya SE Menag No 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musalla, yang ditanggapi beragam oleh banyak pihak, bahkan tidak sedikit mengecamnya. Terlebih setelah Pak Menteri, Yaqut Cholil Qoumas memberikan analogi antara suara azan dan suara anjing, kecaman semakin meningkat dan sudah mengarah menyerang pribadi pak Menteri.
Untuk itu, Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia perlu memberi catatan sebagai berikut:
Pertama, Bahwa yang dianalogikan dalam pernyataan Menteri Agama bukanlah menyangkut hakekat adzan dan hakekat anjing, melainkan kesamaan dampak yang diakibatkan oleh suara adzan yang keras, dan suara anjing yang menggonggong, yaitu gangguan bagi masyarakat sekitarnya. Bahkan Pak Menteri Agama menyebut bahwa suara apapun yang berdampak seperti itu, harus diatur atau ditertibkan, jadi sifatnya bersifat umum.
Kedua, Rasulullah SAW sendiri pernah mempersamakan dampak yang timbul dari anjing yang bisa memberi gangguan bagi orang bersahalat, sama dengan dampak yang timbul dari perempuan. Ini bukan berarti Rasulullah SAW merendahkan martabat wanita sederajat dengan martabat anjing, tetapi semata-mata hanya menyangkut dampaknya, yakni sama-sama menimbulkan gangguan. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, bahwa Aisyah RA pernah diingatkan oleh beberapa sahabat Nabi tentang hal yang dapat merusak shalat seseorang. Kata mereka: “Yang merusak shalat itu ialah anjing, himar dan perempuan, Aisyah berkata: kalian telah menjadikan kami seperti anjing, sungguh aku menyaksikan Rasulullah SAW bershalat, sedang aku berada di antaranya dan di antara qiblat, dalam keadaan berbaring di atas ranjang, tiba-tiba aku ada keperluan, maka aku tidak ingin (mengganggu) menghadap ke arah beliau, maka aku pun segera meluncur” (Shahih Bukhari Juz I, h. 108, hadits no. 511).
Hadits yang senada dengan itu diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Yang merusak shalatnya seorang laki-laki, jika tidak ada jarak sejengkal, yaitu himar, anjing hitam, dan perempuan” (Sunan Abi Dawud, Juz I, h. 187, hadits no. 702). Dua hadits tersebut harus dipahami secara hikmah, bukan secara zhahir (leteral), bahwa yang dipersamakan bukan hakikat-hakikatnya melainkan dampak gangguan yang ditimbulkannya.
Ketiga, Allah SWT memerintahkan agar setiap doa, termasuk tentunya adzan dan shalawat disampaikan dengan alunan suara lembut, tidak keras sebagai wujud kebajikan Muslim, sehingga tidak menggangu kenyamanan orang-orang sekitarnya. Firman Allah Q.S. Al-A’raf (7) : 55-56 yang artinya: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara lembut. Sungguh Dia tidak menyukasi orang-orang yang melampaui batas” (55); “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (dicipatakan) dengan baik, Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan” (56). Jadi suara adzan yang lembut tidak keras merupakan wujud kebaikan Muslim dan sebagai bukti bahwa agama Islam adalah rahmatan lil-‘alamin, rahmat bagi alam semesta.
Keempat, bahwa dalam pergaulan sehari-hari sering terjadi kelompok yang mengaku sebagai pejuang kebenaran, dari kalangan aktifis partai atau ormas tertentu, bahkan ada dari kalangan inetelektual dan tokoh agama, menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah untuk suatu perubahan. Jika aspirasinya tidak mendapat respon, maka kadang melahirkan ungkapan “laksana anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”. Ungkapan tersebut tidak berarti mempersamakan kelompok aktifis, intelektual dan tokoh agama itu seperti anjing, tetapi hanya mempersamakan efek dari perjuangannya yang tidak digubris, seperti halnya gonggongan anjing yang tidak digubris oleh rombongan yang lewat.
Kesimpulannya, bahwa ungkapan Bapak Menteri Agama soal suara anjing dan suara apapaun yang harus ditertibkan, termasuk suara adzan agar semua tidak menimbulkan gangguan bagi orang-orang sekitarnya, harus dipahami secara hikmah bahwa pernyataan tersebut semata-mata hanya mempersamakan dampak gangguannya, tidak mempersamakan hakikat suara adzan dengan suara anjing. Wallahu A’lam bi al-showabi.