Surabaya, Gesuri.id - Ganjar Pranowo menunjukkan kearifan sekaligus keteguhan sikap, sebagaimana layaknya seorang pemimpin, kader, dan murid Bung Karno. Itu diperlihatkannya dalam wawancara selama kurang lebih 34 menit dengan presenter Najwa Shihab yang diunggah di kanal Youtube sang presenter.
Ganjar dengan jelas, tegas, artikulatif, dan tidak emosional kembali menegaskan betapa pentingnya sikap untuk menolak kehadiran tim sepak bola Israel dalam perhelatan Piala Dunia U20–bukan menolak Piala Dunia di Indonesia, tapi menolak kehadiran Israel.
Namun Ganjar juga tidak kehilangan kearifannya sebagai sosok seorang pemimpin yang menyadari, bahwa setiap tindakan bisa membawa konsekuensi yang mungkin menyakiti pihak lain. Sebagaimana halnya tokoh pewayangan Batara Wisnu yang memiliki sifat tegas, ikhlas, pemaaf, dan tanpa pamrih—Ganjar kerap memakai batik bermotif tokoh ini.
Dalam kesempatan itu, Ganjar meminta maaf kepada para pemain Timnas U20 dan fans sepak bola Indonesia jika dianggap bertanggung jawab atas pembatalan itu. “Saya betul-betul bisa memahami bagaimana perasaan adik-adik kita di Timnas U20 dan para suporter bola tentu saja. Dalam konteks ini saya meminta maaf sama mereka. Tetap semangat, tetap maju terus,” katanya.
Namun Ganjar menegaskan bahwa pembatalan bukan kewenangannya. Ganjar, Koster, dan siapa pun yang menyuarakan penolakan kedatangan Israel memang tak punya kuasa melanjutkan atau membatalkan Piala Dunia U20. Ganjar juga tidak hendak menepikan sepak bola. Publik tahu, Ganjar cinta sepak bola. Dia penggemar Manchester United, dan ikut bersorak ketika Tim Nasional bertanding.
Apa yang menjadi sikap Ganjar, dan kembali dia uraikan dengan arif, adalah dukungan terhadap Palestina sudah menjadi kontrak sosial bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 memberi penegasan soal itu. “Kita punya komitmen untuk ikut dalam perdamaian dunia, khususnya mendukung Palestina. Itu menjadi kontrak sosial kita, bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan,” kata Ganjar.
Sikap Ganjar bisa semakin dipahami karena mendapatkan konteksnya di dunia nyata hari ini. Selain kekejaman nyata Israel di jalur Gaza, serangan gas air mata terhadap pertandingan sepak bola antara dua klub Palestina di stadion yang merupakan wilayah Palestina—yang baru saja terjadi Kamis (30/3/2023) lalu—menjadi bukti betapa benarnya sikap Ganjar dan PDI Perjuangan.
Semakin sedikit saja negara di dunia ini yang masih ingat terhadap penderitaan bangsa Palestina dan kekejaman bangsa Israel. Kita seperti sudah dibiasakan untuk memaklumi dan menormalkan tindakan-tindakan biadab Israel, dan kemudian melupakannya dalam buku peradaban. Ini tentu saja tidak bisa dibiarkan. Ganjar Pranowo, Wayan Koster, PDI Perjuangan, dan berbagai elemen yang menolak kehadiran Israel ingin menunjukkan bahwa Palestina tidak sendiri dan bangsa Indonesia masih tetap konsisten.
Namun Ganjar juga tak egois. Dia membuka pintu bagi pihak-pihak yang mempersoalkan sikap penolakan terhadap Israel untuk duduk bersama dan berbicara untuk meninjau kebijakan politik luar negeri Indonesia. Dia ingin dialog dikedepankan. “Tapi ingat, sejak kita (Indonesia) berdiri sikap kita tidak pernah berubah soal itu. Dan sampai detik ini tidak berubah. Paspor saya masih ada tulisan Israel dan Taiwan yang ditandai khusus,” katanya.
Penjelasan Ganjar seharusnya sudah menutup semua perdebatan. Saatnya bangsa Indonesia dari semua elemen bersatu-padu. Musuh kita bukan sesama anak bangsa. Musuh kita bukan elemen-elemen di masyarakat yang memiliki latar belakang berbeda secara politik. Musuh kita adalah ketidakadilan dan penindasan Israel terhadap Palestina dan standar ganda yang diberlakukan FIFA. FIFA memberi sanksi mulai dari Indonesia (2015-2016), Afrika Selatan, dan Rusia karena alasan politik, tapi diam ketika Israel menganeksasi Palestina, dan bahkan menembak gas air mata ke stadion di Palestina.
Maka dukungan harus diberikan kepada pemerintah dan PSSI untuk berjuang menghindarkan kemungkinan sanksi dari FIFA, sekaligus menuntut dihapuskannya standar ganda dalam pengambilan kebijakan sepak bola dunia.