Jakarta, Gesuri.id - Obsesi pemerintahan presiden Joko Widodo saat ini adalah menyiapkan Indonesia menjadi negara besar dengan kemampuan manusia (warga negara) yang cerdas dan tangguh pada 2045. Negara besar berarti negara yang pada saatnya nanti, sila-sila Pancasila teraktualisasi secara konkret dalam semua lini kehidupan.
Akan tetapi obsesi tersebut tidak bisa terlaksana bila negara ini tidak mempunyai strategi kebudayaan dalam bidang pangan, khususnya makanan sehat secara sistematis, terukur, dan berkelanjutan.
Selama ini persoalan pangan dan pengelolaan pangan di Indonesia hanya sebagai produk dari akrobatik dan proyek ekonomi-politik.
Dalam arena akrobatik dan proyek itu, pangan adalah objek perdagangan mulai dari hulu-hilir sampai muara. Seluruh aliran dan rute pengadaan dan peredaran pangan berlangsung dalam kerangka ekonomi-politik, yakni kerangka jual-beli demi menumpuk profit finansial para pemilik modal finansial.
Bagaimana mungkin obsesi Indonesia 2045 tersebut tercapai bila pengelolaan dan pengadaan pangan berlangsung dalam skema akrobatik dan proyek ekonomi-politik yang dimainkan oleh pemilik modal finansial? Jangan harap Indonesia cerdas dan tangguh 2045 akan terwujud.
Kita-khususnya kader PDI Perjuangan-mesti mengupayakan sebuah strategi kebudayaan melalui Sekolah Makanan Sehat.
Makanan Sehat Bagi Ibu Hamil dan Balita
Di dalam sekolah ini, kader-kader partai didik dan dilatih secara sistematis dan terukur untuk merancang-membangun-menggerakan aksi makanan sehat. Makanan sehat bagi ibu-ibu hamil dan anak-anak mulai dari usia 0 hari setelah kelahiran sampai usia 20 tahun.
Rentang usia mulai dari pembuahan awal dalam rahim sampai 20 tahun adalah usia pertumbuhan yang sangat signifikan dari aspek biologis. Pertumbuhan dan perkembangan berbagai sel dan hormon dalam tubuh manusia secara signifikan berlangsung pada rentang usia ini.
Oleh karena itu, rentang usia ini harus diatur dan dikawal sedemikian rupa melalui program makanan sehat pada Sekolah Makanan Sehat.
Sekolah Makanan Sehat tidak sekedar sekolah tata boga. Tata boga hanya salah satu agenda kecil dalam sekolah makanan sehat sebagai sebuah strategi kebudayaan.
Kurikulum Sekolah Makanan Sehat disusun berdasarkan riset terhadap pangan. Tentunya, pangan dalam riset ini adalah pangan sebagai kebudayaan manusia. Pangan tidak sekedar objek yang ditanam, dipanen, dan dijual-belikan.
Lebih dari itu, pangan adalah kehidupan manusia dalam dan bersama dengan alam/bumi. Pangan sebagai strategi kebudayaan yang dirancang, dibangun, dan dikembangkan dalam Sekolah Makanan Sehat adalah pangan kehidupan.
Generasi kita hari ini, seusia kita saat ini (30-80 tahun) adalah generasi yang tumbuh dan berkembang secara organik. Kebetulan juga kita lolos dari seleksi alam. Bila tidak lolos seleksi alam seperti dalam proses evolusi, kita mungkin sudah mati.
Kalaupun hidup, hanya hidup untuk bertahan hidup. Bukan hidup untuk mengkreasi generasi masa depan. Bersekolah di Sekolah Makanan Sehat sebagai strategi kebudayaan, berarti kita mengkreasi generasi Indonesia 2045, yang tangguh dan cerdas.
Generasi inilah adalah generasi yang mewujudkan sila-sila Pancasila dalam arti sesungguhnya, sebagaimana dicita-citakan Soekarno.
Indonesia Negara Maju di Tahun 2045
Presiden Joko Widodo (Jokowi) optimistis Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045. Dengan menjadi negara maju, Jokowi yakin Indonesia dapat terlepas dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap).
Optimisme Jokowi ini, sejalan dengan capaian Indonesia yang berhasil naik kelas menjadi negara dengan penghasilan menengah ke atas (upper middle country) yang dinobatkan oleh Bank Dunia atau World Bank. Sebelumnya Indonesia berada di posisi lower middle income country atau negara dengan penghasilan rendah.
"Apakah kita mempunyai peluang untuk keluar dari midel income trap? saya jawab tegas kita punya potensi besar. Kita punya peluang besar untuk melewati model income trap. Kita punya peluang besar untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi," tuturnya, dalam acara 'Forum Rektor Indonesia', beberapa waktu lalu.
Namun, menurut Jokowi, untuk menjadi negara maju ada syarat yang harus dilakukan Indonesia. Di antaranya adalah dukungan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) yang unggul.
Jokowi menilai, untuk mencapai semua syarat tersebut juga harus didukung dengan pendidikan. Maka, di sinilah posisi strategis pendidikan tinggi dalam proses menuju posisi negara dengan penghasilan tinggi.
Mantan Walikota Solo ini menyadari, bahwa meraih peringkat negara penghasilan tinggi bukan hal yang mudah. Bahkan, banyak negara dunia ketiga yang usianya sudah puluhan tahun hingga mendekati satu abad hanya terjebak sebagai negara berpenghasilan menengah.
Sekadar infomasi, syarat menjadi negara dengan penghasilan menengah ke atas menurut World Bank harus memiliki pendapatan nasional atau gross national income (GNI) sebesar 3.896 dolar Amerika Serikat (AS) hingga 12.055 dolar AS atau setara Rp55 juta-Rp171 juta per tahun.
Sedangkan, negara dengan penghasilan tinggi yakni yang pendapatannya lebih dari 12.055 dolar AS dan negara dengan pendapatan menegah ke bawah dengan pendapatan 996 dolar AS hingga 3.895 dolar AS atau setara Rp14 juta hingga Rp55 juta.
Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS) di tahun 2019 pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia per tahun mencapai 3.927 dolar AS atau setara Rp56 juta naik dari tahun sebelumnya 3.876 dolar AS atau setara Rp51,9 juta.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan tantangan perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun ke depan adalah melepaskan diri dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap.
Pasalnya, Indonesia membutuhkan waktu 23 tahun untuk bisa masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah ke atas atau upper middle income country dari kategori negara berpendapatan menegah ke bawah atau lower middle income country.
Sri Mulyani berujar, hanya sedikit negara yang berhasil lolos dari jebakan middle income, yaitu Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Untuk itu, menurut dia, Indonesia harus memerhatikan beberapa masalah terkait dengan produktifitas, daya saing, dan sumber daya manusia (SDM).