SITUASI perlambatan ekonomi global turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Di tengah banyak negara mencatatkan pertumbuhan yang negatif dan stagnan, ekonomi di Indonesia justru bertumbuh secara positif. Tahun lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,92 persen dan hingga akhir tahun ini, pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 5,17 persen sedikit dibawah target yang sudah ditetapkan yaitu sebesar 5,2 persen.
Di tengah perlambatan tersebut, sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) terbukti bisa bertahan dari berbagai terpaan krisis seperti krisis tahun 1998, 2008, dan 2013. Bahkan, keberadaan UMKM akan digarap serius menjadi tulang punggung untuk menggerakkan perekonomian bangsa ini. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM, sampai 2014 jumlah UMKM adalah 56,2 juta unit. Angka itu diperkirakan naik menjadi 57,9 juta unit pada tahun ini.
Kontribusi UMKM memberikan sumbangsih besar dalam peningkatan perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, keseluruhan angkatan kerja Indonesia 128 juta orang. Adapun sebanyak 97 persen tenaga kerja bergerak di bidang UMKM. Dengan kata lain, sekitar 124 juta orang diserap sektor UMKM. Tidak heran, peran UMKM dalam menggerakkan sektor ekonomi negeri ini harus diakui perannya sangat signifikan.
Menggeliatnya UMKM ikut membantu pemerintah dalam penyediaan lapangan kerja. Hal itu diperkuat dengan data Kementerian Perdagangan yang menyatakan, kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia diperkirakan 59 persen. Adapun PDB pada 2015 sebanyak Rp 11.540 triliun. Dengan begitu upaya untuk membesarkan UMKM sama artinya dengan menggiatkan ekonomi kerakyatan.
Jika perputaran ekonomi di kalangan bawah terjadi, tentu omzet pelaku UMKM dapat meningkat. Dengan bertambahnya produksi, hal itu diikuti dengan penyerapan tenaga kerja. Otomatis tingkat kemiskinan dapat berkurang. Sehingga pendapatan masyarakat terdorong naik yang diikuti kesejahteraan. Dampaknya, pemerataan ekonomi tercipta hingga membuat gini rasio di angka 0,41 dapat diturunkan.
Presiden Jokowi belum lama ini mengatakan, UMKM mampu menopang perekonomian nasional dan sudah teruji memiliki daya tahan tinggi dalam menghadapi krisis global. Di saat banyak perusahaan berskala besar limbung menghadapi krisis akibat kredit macet, kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin meningkat. Karena itu, komitmen Presiden Jokowi yang ingin meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, dengan memperkuat UMKM sebagaimana tercantum dalam Nawa Cita patut ditagih.
Dengan potensi yang besar tersebut, Perum Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) berusaha memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan sektor UMKM dengan cara menyerap risiko pembiayaan yang dikucurkan perbankan dan non perbankan kepada UMKM melalui pemberian penjaminan kredit. Sebagai salah satu perusahaan BUMN, Jamkrindo menyiapkan anggaran Rp 115 triliun untuk penyaluran pinjaman. Dan sampai dengan November 2017, Jamkrindo sudah memberikan penjaminan kredit UMKM sebesar 14,4 juta UMKM dengan jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai 20,2 juta orang
Karena itu keberadaan lembaga penjaminan merupakan salah satu hal yang penting bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta Koperasi. Sebab, dua sektor tersebut menjadi sektor yang penting untuk perbaikan perekonomian nasional. Oleh karena itu, industri penjaminan harus hadir di tengah-tengah masyarakat bank bisa memberikan tambahan yang lebih variatif.
"Keberadaan lembaga penjaminan ini penting agar kami bisa mendapatkan pendanaan bagi perbankan untuk pengembangan usaha kami," ujar Irfan Maulana, pelaku UMKM Kopi Lampung saat ditemui di sela-sela Rakornas PDI Perjuangan di ICE BSD beberapa waktu lalu.
Kendala utama yang dihadapi oleh pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yakni masalah permodalan. Bagi pelaku UMkM, keberadaan bank sebagai penyalur kredit masih belum mampu menopang kebutuhan permodalan. Kalangan UMKM kerap menghadapi banyak kendala untuk mendapat suntikan dana dari perbankan. Salah satunya yakni persyaratan agunan. Karena itu, kata dia, keberadaan Jamkrindo menjadi solusi kendala yang dihadapi UMKM. "Apa yang dilakukan Jamkrindo sangat membantu kami para UMKM," sebutnya.
Direktur Operasional dan Jaringan Perum Jamkrindo Sophia Alizsa, juga menyebut pegiat UMKM tidak bisa bebas mengakses sumber pembiayaan. Pemilik UMKM tentu tidak bisa dengan mudah mendapatkan pinjaman ke bank dikarenakan alasan legal formal. Adapun kalau mereka terus beroperasi tanpa pinjaman, besar kemungkinan usaha yang digeluti akan berkembang secara lamban atau malah bisa stagnan. Adanya hambatan aturan yang mengatur penjaminan bagi UMKM membuat mereka terbentur aturan untuk mendapat pinjaman guna mengembangkan bisnis yang dirintis.
Karena itu, kehadiran Jamkrindo membuat syarat agunan sudah tidak dipersyaratkan lagi bila bank sudah menerima jaminan kredit dari Jamkrindo. Dirut Perum Jamkrindo Diding S. Anwar mengatakan, sebagai lembaga penjamin, Jamkrindo membuat bank tidak ragu menyalurkan kreditnya kepada UMKM. Bank tidak lagi dibayang-bayangi dengan ketakutan debiturnya mengalami kegagalan usaha. Kegagalan pembayaran kredit telah diproteksi oleh Jamkrindo. Bila terjadi kegagalan pembayaran dari debitur, bank bisa mengklaim sebesar 75% dari pinjaman debitur.
Jamkrindo, telah bekerja sama dengan berbagai bank. Mulai dari bank pemerintah, BUMN, swasta, hingga BPD yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Bank asing juga diberdayakan. Hal ini terkait peraturan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Bank diwajibkan mengalokasikan 5% portofolio kreditnya ke sektor UMKM di tahun 2015 dan 20% pada 2018.
Tidak hanya bank, Jamkrindo juga menggandeng micro finance, lembaga nonbank, hingga pegadaian. Sebagai tindak lanjut arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan upaya Perum Jamkrindo dalam fokus mengembangkan UMKM nasional, maka Perum Jamkrindo telah membentuk Divisi Pemeringkatan UMKM dan Konsultasi Manajemen pada awal tahun 2016, sebagaimana diamanatkan UU No.1/2016 tentang Penjaminan serta PP No. 41/2008.