Ikuti Kami

Menata Ulang Peta Jalan Dagang Indonesia di Tengah Kebijakan Trump 2.0

Oleh: Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Darmadi Durianto.

Menata Ulang Peta Jalan Dagang Indonesia di Tengah Kebijakan Trump 2.0
Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Darmadi Durianto.

Jakarta, Gesuri.id - Pasca dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2025, Donald Trump menerbitkan setidaknya 50 perintah eksekutif. Dari puluhan perintah eksekutif tersebut, satu di antaranya yakni terkait kebijakan tarif impor yang ditujukan terhadap tiga negara yaitu Kanada, Meksiko dan China.

Dalam kebijakan tarif impor tersebut, Presiden Donald Trump memberlakukan kenaikan tarif pada seluruh impor produk perdagangan dari Kanada dan Meksiko sebesar 25 persen, dan tambahan bea masuk impor (BMI) kepada China sebesar 10 persen. Khusus untuk Kanada dan Meksiko, Trump belum menerapkan kebijakannya alias masih ditunda hingga 4 Maret 2025.

Tak hanya berhenti di situ, kini, Donald Trump juga  mengumumkan kebijakan baru yang ditujukan kepada negara-negara berkembang. Trump menginginkan agar tarif perdagangan dengan negara-negara berkembang bersifat setara atau tarif timbal balik (resiprocal tariff).

Atas kebijakan tersebut, berbagai negara termasuk Indonesia mewacanakan negosiasi ulang terhadap Amerika Serikat.

Negosiasi diperlukan mengingat nilai ekspor Indonesia terhadap Amerika Serikat bisa dibilang cukup tinggi. Sehingga kita perlu melakukan berbagai pendekatan agar ekspor kita menuju AS tidak mendapatkan hambatan yang terlalu besar baik tariff maupun non tariff.

Baca: Ganjar Pranowo Mempertanyakan Klaim Sawit Sebagai Aset Nasional

Selain itu, jangan lupa bahwa yang menjadi “target utama” perang dagang AS salah satunya adalah Negara China yang saat ini menjadi pasar utama produk ekspor Indonesia, sehingga jika perang dagang ini terjadi maka hitungan kami dampak tidak langsung perang tersebutlah yang akan lebih besar dibandingkan dengan dampak langsungnya.

Data Trademap.org mencatat pada tahun 2024 lalu ekspor China ke AS sebesar US$524,9 miliar, sehingga jika nilai ekspor sebesar tersebut sebagiannya dihambat untuk masuk ke AS, maka tentu China akan mencari pasar lain untuk memasarkan surplus produksinya tersebut. dan jika ini terjadi, kita harus berhati-hati barang-barang China semakin membanjiri pasar dalam negeri kita.

Belum lagi jika salah satu atau kedua negara tersebut mengalami kerugian sehingga mengurangi PDB dan permintaan impornya, maka hal ini akan mengganggu kinerja ekspor mengingat kedua negara tersebut porsinya mencapai hampir 35% dari total ekspor Indonesia.

Diketahui, nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat di sektor non migas sepanjang tahun 2024 mencapai US$26,3 miliar atau 10,57% dari total ekspor non migas Indonesia. Posisinya kedua setelah China (24,2%), dan diikuti oleh India (8,17%) dan Jepang (7,47%). 

Yang jelas, perang dagang yang lebih besar sudah di depan mata dan hal ini tidak boleh dianggap main-main dan perlu mitigasi risiko sejak awal agar dampaknya terhadap perekonomian nasional Indonesia tidak terlalu destruktif. 

Efek Kebijakan Tarif Impor ala Trump

Belum genap satu bulan pasca pelantikannya, kebijakan tarif impor AS telah menyebabkan keguncangan disejumlah bursa saham.

Pada Kamis (14/2) IHSG tercatat turun ke level 6.638,46 atau terkoreksi 6,62% dibandingkan dengan akhir bulan lalu (mtd) yang salah satunya disebabkan oleh respons pasar terhadap kebijakan dagang presiden AS tersebut.

Selain bursa saham, perang dagang juga berdampak serius terhadap harga-harga barang yang diterima konsumen. Barang akan semakin mahal dan mendorong inflasi khususnya imported inflation sehingga akan membuat suku bunga acuan sulit untuk turun bahkan boleh jadi justru malah akan meningkat apabila inflasi yang terjadi jauh di atas target yang ditetapkan. 

Dengan demikian, tekanan terhadap nilai tukar rupiah juga akan lebih besar dan biasanya juga akan memaksa Bank Indonesia (BI) untuk turut menaikan suku bunga. 

Artinya, secara global kebijakan tarif impor ala Trump ini akan "memaksa" sejumlah negara-negara mitra dagangnya yang terimbas, tak terkecuali Indonesia untuk juga mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat antisipatif. 

Menata Ulang Peta Jalan Dagang Indonesia

Di tengah kecamuk perang dagang antara Amerika Serikat dengan China, seyogyanya pemerintah harus memperkuat pasar domestik dengan meningkatkan daya beli masyarakat yang saat ini tengah tergerus. Caranya tentu saja dengan memperbanyak kesempatan kerja dan usaha dengan penghasilan yang layak. 

Baca: Ganjar Pranowo Belum Pastikan Maju Pada Pilpres 2029 

Kedua, kurangi ketergantungan perdagangan terhadap AS. Mengurangi ketergantungan terhadap AS mutlak diperlukan mengingat kebijakan Trump yang sulit untuk diprediksi.

Ketiga, sebagai negara yang telah resmi masuk kedalam BRICS, maka seharusnya bisa memperkuat posisi tawar Indonesia untuk masuk ke pasar negara-negara sesama anggota BRICS.

Terakhir, langkah yang harus dilakukan Pemerintah dalam mengantisipasi dampak pengenaan tarif impor oleh AS yaitu pengamanan pasar dalam negeri mutlak harus dijalankan.

Selain pengamanan pasar dalam negeri, pemerintah juga musti melakukan perluasan pasar international agar UMKM bisa diberdayakan dan survive di tengah gejolak perang dagang antara AS vs China.

Quote