Ikuti Kami

Menelaah Demokrasi yang Autoimun

Oleh: Fajar Ahmad Huseini, Kader PDI Perjuangan dan Ketua DPD Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sulawesi Selatan

Menelaah Demokrasi yang Autoimun
Fajar Ahmad Huseini, Kader PDI Perjuangan dan Ketua DPD Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sulawesi Selatan

Jakarta, Gesuri.id - Ketika survei kepuasan publik di atas delapan puluh persen atas kinerja pemerintah adalah fakta, apakah itu prestasi yang layak diapresiasi atau sejatinya justru merupakan ironi - karena sebuah keniscayaan telah memicu gugatan sehubungan dengan menumpuknya deretan permasalahan seperti, soal kemiskinan, korupsi, menurunnya kualitas proses demokrasi, merosotnya moral penegakan hukum, hingga menguapnya cita-cita arah reformasi agraria sebagai fondasi keadilan akibat terus-menerus tersandera praktek oligarki, dan berbagai catatan problem lainnya juga adalah fakta. 

Itulah kondisi realita yang menjadi polusi sangat menyesakkan suasana kebatinan kita dalam perjalanan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana terkonfirmasi dan terlihat kasat mata, wajah kemiskinan struktural di negeri kita berbanding lurus dengan 'keterbelakangan paradigma orientasi politik publik' terjadi seiring proses-proses pragmatisme politik kekuasaan itu dijalankan.

Jika menatap dari perspektif filsuf Perancis Jacques Derrida dalam konteks ini bahwa, gagasan sistem demokrasi sepanjang sejarah perkembangan dialektikanya hingga memasuki periode moderenitas saat ini, masih saja menyisakan beberapa aspek pengecualiannya. Terjadi semacam fenomena autoimun dalam kenyataan proses politik demokrasi, tentang berbagai penyimpangan yang mencederai cita-cita dan harapan berdemokrasi itu sendiri.

Sebagai salah satu referensi menarik dari pendalaman analisa Jacques Derrida tersebut, ketika dikaitkan dalam pembacaan konteks realita politik demokrasi keindonesiaan kita hari ini. Tentang kenyataan problem berdemokrasi sampai pada konklusi sementara bahwa, sebagai konsep gagasan bukanlah kenyataan final atau terikat waktu, tapi sebagai 'demokrasi yang akan datang' (democracy to come), dan masih menjadi frasa akan datangnya selalu hal lain. Sederhananya, masih saja menyisakan berbagai pertanyaan mendalam tentang "tertundanya harapan" sebagai akibat dari berbagai prahara permasalahnya. 

Rasionalitas komunikasi tanpa sensor kekuasaan

Harus diakui membaca analisa Derrida itu tidak sederhana karena kerumitan serta muatan kompleksitasnya, tapi bagi penulis seluruh karya dalam perkembangan teoritisnya begitu menginspirasi karena prinsip argumentasinya berkesinambungan secara konsisten, yakni pijakan konsepsi filosfisnya pada 'teori dekonstruksi'. Walaupun tentunya penggunaan beberapa diksi atau terminologi makna berbahasa Perancis, yang dalam bahasa kita sangat berbeda dan mungkin kita akan kesulitan dalam memahami padanannya dengan bahasa Indonesia yang familiar kita gunakan sehari-hari (Jacques Derrida, ROGUES: Two Essays on Reason - NEGARA BEGAL, Dua Esai tentang Rasio, BASABASI Yogyakarta, 2023). 

Singkatnya paling tidak sebagai pesan moralnya bahwa, diskursus tentang berbagai problem politik demokrasi atas mandat kekuasaan dalam perjalanan sistem konstitusional kita seharusnya selalu beriringan dengan penegasan serta kepastian terakomodirnya arah rasionalitas-kritik sebagai syarat wajibnya. Karena alasan catatan pentingnya, tentang adanya semacam "lingkaran irasionalitas", dalam syahwat politik kekuasaan setelah mandat legitimasi itu diberikan.
  
Kalau melihat keluasan teori Derrida pada keseluruhan konsep pendekatan pemikirannya adalah bentuk fenomenologis, dan pastinya berdasarkan analisa fakta dalam mengamati ketimpangan proses sistem demokrasi yang dianut berbagai negara.

Dalam konteks ini juga, Jurgen Habermas filsuf dan sosiolog Jerman, walaupun harus dikatakan konsep Marxisme sebagai fondasinya dalam mengembangkan teori-teorinya, tapi di saat yang sama Habermas juga memodifikasi atau dengan kata lain memoderenkan pemikiran sosiologi Marxis, sebagaimana paparan George Lichteim pengamat perkembangan dinamika intelektual di Barat.

Dalam menelaah karyanya terlihat kekuatan proposisi argumentasinya telah mengungkap berbagai akibat dari efek ketimpangan liberalisme dalam sistem demokrasi moderen.

Habermas dalam kerangka teorinya tentang demokrasi deliberatif dibangun dengan pendekatan yang sangat komprehensif dari berbagai disiplin ilmu. Di mana salah satu garis besarnya bahwa, sistem demokrasi pada ruang politik publik harus memaksimalkan 'rasionalitas komunikasi'. Artikulasinya, kritik rasional, egaliter (kesetaraan), dan transparansi harus berdasarkan pendalaman analitik bersifat dialogis dua arah - seharusnya terlegitimasi pada implementasi instrumen sistem politik demokrasi, dan yang menjadi titik terpenting penekannya adalah tanpa adanya dominasi dan sensor kekuasaan (Habermas, Legitimation Crisis, Beacon Press 1975). Teori Ini mungkin bisa dikatakan saling melengkapi dengan analisa filosofis Derrida soal fenomena diksi demokrasi yang autoimun. 

Jika mengacu pada lanskap pemikiran Habermas artinya, sebagai pemenuhan syarat rasionalitas-komunikasi dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan, tuntutannya agar motif seluruh kebijakan dalam bahasa instrumen kekuasaan harus jujur dan transparan, sehingga relevansi teori tersebut bisa termaknai.

Setidaknya ini bisa menjadi poin penting sebagai salah satu bagian skema interpretasi dalam merawat kesinambungan esensi cita-cita nilai luhur sistem demokrasi Pancasila yang merupakan warisan paling berharga dari para proklamator kita - sebagaimana realitasnya hingga hari ini masih saja tercederai oleh perilaku kekuasaan manipulatif, sehingga mengakibatkan berbagai luka rakyat Indonesia yang sangat serius dan belum bisa disembuhkan. 

Problem ketidakjujuran politik kekuasaan 

Sebuah 'keputusan rasional' menuju tata kelola kebijakan berkeadilan adalah hal yang prinsipil sebagai timbangan pada proses politik kekuasaan itu dijalankan, dalam keniscayaannya di antara lingkaran pesimisme dan optimisme berdemokrasi. Misalnya saja salah satunya, kalau menatap fakta atas rendahnya kualitas pelayanan publik dan pada saat yang sama dinaiknnya pajak adalah salah satu indikator sederhana yang konsekuensi politisnya akan menggerogoti legitimasi kekuasaan yang sedang berjalan. Tentang definisi survei kepuasan publik akhirnya memang seharusnya dipertanyakan kembali, karena betapa pentingnya upaya rasionalisasi terhadap framing kebijakan yang telah diasumsikan populis, yang terindikasi bersifat pragmatis hanya untuk merawat dangkalnya kepentingan politik elektoral semata. 

Beberapa indikator keberhasilan atau kegagalan kebijakan dari kekuasaan membutuhkan pengujian secara komprehensif dan objektif, serta yang terpenting adalah sejauh mana motif instrumen birokrasi kekuasaan dalam konteks rasionalitas komunikasi itu diimplementasikan. Sederet catatan problem serius di awal tulisan adalah kenyataan bahwa, sejatinya terdapat kebuntuan akibat ketidakjujuran praktek politik kekuasaan yang terjadi selama ini, dan pastinya telah mengonfirmasi diskursus demokrasi autoimun sebagai pembacaan terhadap realita yang faktual terjadi di negara kita. Akhirul kalam, 'Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa' (Milan Kundera, Novelis).

Quote