Oleh: Politisi PDI Perjuangan Kapitra Ampera
Jakarta, Gesuri.id - Sejak deklarasi dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), melakukan deklarasi atas keberadaannya sebagai gerakan moral non-parlemen, telah terdapat berbagai kontroversi dan kecurigaan mengenai hadirnya koalisi tersebut..
KAMI, yang terus mendeklarasikan diri menjadi gerakan moral menyampaikan tuntutan yang lebih bernuansa politis daripada moral. Substansi yang diangkat sangat bertolak belakang jika dibandingkan dengan gerakan masyarakat sipil yang ada di Indonesia dan konsisten dalam jalur non-politik.
Gerakan ini telah menunjukkan upaya-upaya yang bertentangan dengan cara-cara yang moralistik dalam menaikkan simpati masyarakat terhadap gerakannya.
Baca: PDI Perjuangan Sumatera Utara Dorong Perda Adat
Bentuk nyata adalah bagaimana Duta Besar Palestina telah dijebak untuk datang ke acara tersebut, yang mana dalam klasifikasinya, duta besar tersebut tidak mengetahui bahwa gerakan ini merupakan gerakan oposisi non-parlementer.
Tindakan menjebak seperti ini memiliki implikasi yang sangat berisiko untuk duta besar tersebut karena dalam komunitas internasional, partisipasi dalam kegiatan politik internal negara adalah sesuatu yang dilarang.
Kita memahami bagaimana perjuangan rakyat Palestina telah dikomodifikasi dan dipolitisasi oleh gerakan politik di Indonesia untuk menarik simpati politik demi kepentingan golongan tertentu.
Sehingga, menunjukkan ke publik bahwa duta besar Palestina hadir dengan harapan agar seolah-olah duta besar tersebut mendukung, adalah penghinaan terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Lebih lanjut, undangan terhadap Meutia Hatta, putri dari deklarator kemerdekaan Indonesia Mohammad Hatta, juga mengandung kerancuan yang mengakibatkan beliau tidak mengetahui tentang apa sebenarnya gerakan ini dan berimplikasi adanya tuduhan bahwa beliau juga berpartisipasi dalam gerakan ini.
Dalam partisipasi gerakan, konsensualitas atau kesepakatan bergabung tanpa paksaan ataupun tipu muslihat merupakan hal yang paling penting, sehingga KAMI telah secara jelas menyalahi prinsip tersebut.
Kerancuan semakin dipertegas dengan munculnya deklarasi KAMI di Surakarta yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan baru mengenai wujud dari “kumpulan” ini.
Dalam sebuah statement, KAMI menegaskan bahwa mereka tidak berniat membuat partai politik, bahkan tidak berniat membuat ormas.
Namun, ekspansi gerakan yang dilakukan KAMI menunjukkan adanya pola desentralisasi gerakan yang mengkontradiksi tujuan awal yaitu mengkritik pemerintahan pusat.
Baca: Lakukan Inovasi, Tjahjo Apresiasi Kinerja Mapolresta Solo
Hal ini pun berpotensi menghasilkan gerakan yang berskala nasional, yang mana akan menjadi sangat berbahaya mengingat tuntutan yang dibawa KAMI memiliki tendensi serius untuk menurunkan Presiden Jokowi.
Mempertanyakan KAMI bukanlah mempertanyakan keabsahan dari gerakan masyarakat sipil, karena dasar dari demokrasi adalah pemberian mandat dan partisipasi dari rakyat.
Namun, gerakan politik yang berkedok gerakan moral masyarakat sipil ini dapat berpotensi menggoyahkan stabilitas politik dan memberi narasi buruk bagi keterlibatan sipil (civic engagement) yang malah didominasi oleh aktor politik, bukan masyarakat sipil yang mewakili berbagai sektor.