Ikuti Kami

Nasib Pekerja Pertanian di Tengah Hembusan Janji Swasembada Pangan

Oleh: Anggota DPR RI/ Politisi PDI Perjuangan, Darmadi Durianto. 

Nasib Pekerja Pertanian di Tengah Hembusan Janji Swasembada Pangan
Anggota DPR RI/ Politisi PDI Perjuangan, Darmadi Durianto. 

Jakarta, Gesuri.id - Dari rezim ke rezim, narasi tentang swasembada pangan kerap diglorifikasi sebagai instrumen untuk meraih atau menggaet suara rakyat, entah itu untuk sekedar kepentingan politik elektoral atau bahkan sebagai sarana melanggengkan kursi kekuasaan.

Berbagai target dan konsep pun tak malu-malu mereka (rezim-rezim) umbar di tengah publik. Soal berhasil atau tidak, bagi mereka itu adalah hal lain atau urusan belakangan. Kebanyakan rezim pemerintahan pasca orde baru khususnya, gagal menciptakan swasembada pangan. Berbicara sukses atau tidaknya program swasembada pangan, tentu tak terlepas dari variabel-variabel penting dibelakangnya.

Terutama, variabel (kepentingan) politik. Jadi, singkatnya pangan adalah salah satu alat ukur yang bisa mendeteksi kondisi politik suatu bangsa apakah dalam kondisi yang stabil atau sebaliknya (instabilitas).

Padahal kalau bicara jujur dan realistis, bicara target swasembada pangan itu bukanlah hal yang sederhana. Tak semudah yang diucapkan. Banyak variabel-variabel kompleks (seperti dijelaskan di atas, salah satu variabel itu yakni politik) yang tak mudah diurai begitu saja.

Pada dasarnya, glorifikasi semacam itu dari sisi siasat politik (pragmatis) memang sekilas tidak ada yang keliru. Sah-sah saja diumbar, meski jika ditelaah lebih mendalam banyak keganjilan-keganjilan dibalik janji-janji soal swasembada pangan pada umumnya. Buktinya, sampai rezim saat ini pun pangan kita mayoritas masih bergantung pada skema impor.

Baca: Ganjar Pranowo Mempertanyakan Klaim Sawit Sebagai Aset Nasional

Pertanyaannya, bagaimana sikap dan reaksi publik ketika janji swasembada pangan dari rezim ke rezim tidak pernah tercapai? Baik-baik saja.

Sikap publik semacam itu, seperti digambarkan Edward Gibbon dalam bukunya berjudul "The Decline and Fall of the Roman Empire" bahwa "bagi benak-benak yang lugu, praktik glorifikasi itu sangat menyenangkan dan indah untuk didengar. Sehingga bila benak-benak lugu itu dibangunkan secara paksa, mereka menyesali hilangnya pandangan yang menggembirakan itu".

Tak ubahnya seperti presiden-presiden sebelumnya, kini Presiden Prabowo Subianto pun mencanangkan swasembada pangan sebagai program prioritas nasional. 

Bahkan, Presiden Prabowo Subianto berani sesumbar bahwa swasembada pangan ditargetkan akan tercapai dalam 4-5 tahun ke depan. Dan karenanya, Indonesia juga siap menjadi lumbung pangan dunia.  

Beragam Tantangan Dalam Mewujudkan Swasembada Pangan

Terdapat sekian banyak persoalan yang harus diselesaikan dahulu secara fundamental, barulah swasembada pangan menjadi target yang lebih rasional untuk dicapai. Salah satunya adalah nasib pekerja pertanian. 

Mengutip studi dari sigmaphi per 2023, sebanyak 75 persen pekerja pertanian berada di perdesaan. Rata-rata pendapatan bersih pekerja sektor pertanian hanya naik sebesar 12 persen selama 5 tahun terakhir. Bisa dibayangkan betapa menjadi pekerja di sektor pertanian, adalah satu hal yang berat. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus, 2024 juga mencatat bahwa rata-rata upah/gaji/pendapatan bersih pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menjadi yang terendah seIndonesia dibandingkan dengan pekerja di sektor lain. Pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya mendapatkan 1,7 juta rupiah per bulan.  

Angka tersebut masih di bawah pekerja di sektor konstruksi misalnya yang dapat mencapai 2,8 juta rupiah. Atau transportasi dan pergudangan yang berada di angka 
3,7 juta.  

Nilai 1,7 juta rupiah tadi juga sangat jauh tertinggal dari sektor yang juga sedang dikejar swasembadanya, yakni swasembada energi. Pekerja di sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara dingin bisa mendapatkan 4,5 juta rupiah.

Bahkan untuk sektor pertambangan dan penggalian mencapai 4,7 juta rupiah dan menjadi tertinggi ketiga di Indonesia setelah sektor aktivitas keuangan dan asuransi, serta informasi dan komunikasi. 

Bagaimana mungkin Bangsa Indonesia dapat bergotong royong dalam kondisi sakit? Yakni ketika sektornya digaungkan menjadi prioritas nasional, namun kenyataan riil di lapangan, rata-rata upah/gaji/pendapatan bersih yang didapat, menjadi paling buncit se-nasional. 

Tentu pikiran itu bergelayut dalam benak seluruh pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Tiap hari dan saban saat melihat berita swasembada pangan adalah fokus pemerintah, namun peringkat penghasilan mereka menjadi nomor 1 dari bawah.

Inilah yang menjadi salah satu persoalan fundamental dalam upaya pencapaian swasembada pangan kita. Bekerja di sektor pertanian tidak bisa memberikan insentif uang yang konkrit. Menjadi petani bukan pilihan yang menjanjikan.

Berbeda dengan sektor lain, tak perlu digaungkan pun, secara alami sektor-sektor lain tersebut sudah banyak digandrungi orang. Sehingga ekosistem yang kompetitif dapat tercipta yang pada gilirannya menghasilkan pola kerja yang efisien. 

Presiden sudah bagus memiliki sikap yang tegas dengan hadir di tengah Kementerian Pertanian dan menegaskan akan segera bergerak memperbaiki nasib petani dan pekerja sektor pertanian di Indonesia. Presiden juga telah berpidato bahwa seluruh elemen, termasuk swasta telah siap bergerak untuk mewujudkan swasembada pangan. 

Ketegasan dari Presiden ini harus didukung dan dikerjakan di lapangan oleh aparatur di bawahnya. Misalnya untuk beras, tertibkan para pemain yang masih menikmati cuan dari panjangnya rantai pasok distribusi dan perdagangan. 

Potensi pola terpanjang distribusi perdagangan beras di Indonesia (BPS, 2024) adalah sebanyak 7 rantai. Beras dari luar provinsi, masuk ke importir dengan marjin perdagangan dan pengangkutan (MPP) sebesar 11,31 persen; berlanjut ke distributor dengan MPP 6,24 persen; subdistributor dengan MPP 11,58 persen; agen dengan MPP 8,75 persen; pedagang grosir dengan MPP 10,17 persen; supermarket/swalayan dengan MPP 7,76 persen; pedagang eceran dengan MPP 8,27 persen hingga sampai di konsumen akhir. 

Dengan potensi rantai yang sangat panjang itu, efisiensi harus benar-benar dikerjakan di lapangan. Sehingga semangat efisiensi, bukan hanya ada di dalam APBN, melainkan juga dalam ekosistem pertanian agar nasib pekerja di sektor pertanian dapat membaik. 

Bayangkan, berapa persen yang dapat “dikembalikan” ke pekerja pertanian jika rantai tadi diefisiensikan secara serius. Sehingga keringat pekerja dalam menghasilkan pangan, dapat dihargai dan terinstitusionalisasi dalam ekosistem pangan nasional. 

Dan jangan lupa, memperbaiki nasib pekerja pertanian, adalah juga memperbaiki perdesaan. Karena kembali mengutip studi sigmaphi (2024), 89,3 persen desa di Indonesia bertumpu (sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk) pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.  

Baca: Ganjar Pranowo Dukung Efisiensi Anggaran

Sedangkan tanaman pangan (56,9 persen) adalah subsektor yang paling banyak digeluti oleh desa/kelurahan ada di Indonesia.  

Artinya, sekali bergerak secara masif dan serius, maka efek ikutannya akan benarbenar dirasakan oleh sebagian besar rakyat. Ketika nasib pekerja sektor pertanian diperbaiki, hasilnya swasembada pangan dapat tercapai, dan sebagian besar desa juga menjadi sejahtera. 

Sehingga target swasembada pangan adalah suatu keharusan, meski tantangannya tidak sederhana. Presiden sudah memulai, dan memberikan pengarahan yang jelas dan tegas. Tinggal bagaimana para pembantu-pembantunya, apakah mampu bekerja sesuai ekspektasi presiden? Kita lihat pasca seratus hari pertama. 

Yang jelas, atau nampaknya Presiden tidak main-main dengan hak prerogatifnya. Jika tidak perform, maka reshuffle adalah opsi yang bukan mustahil. Dan dapat dilakukan kapan saja, juga terhadap siapa saja.

Quote