Ikuti Kami

Negara Tidak Boleh Kalah Dalam Melawan Terorisme

Oleh: Dr. Harris Turino, Politisi PDI Perjuangan, Doctor in Strategic Management.

Negara Tidak Boleh Kalah Dalam Melawan Terorisme
Dr. Harris Turino, Politisi PDI Perjuangan, Doctor in Strategic Management.

Jakarta, Gesuri.id - Republik ini kembali berduka. Sebuah bom besar dengan daya ledak rendah kembali diledakkan lewat aksi bunuh diri di Gereja Kathedral Makassar. Pelakunya adalah sepasang suami istri yang baru menikah 6 bulan sebelumnya. Keduanya meninggal dunia di lokasi dengan tubuh terburai akibat ledakan bom yang mereka bawa.

Tidak ada korban jiwa lainnya karena sepasang pelaku bom bunuh diri berhasil dicegah masuk ke dalam gereja yang saat itu sedang merayakan acara Minggu Palem. Hanya terdapat sebanyak 20 orang yang mengalami luka-luka akibat serpihan kaca. 

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara yang paling efektif untuk menghentikan semua ini. Untuk bisa menjawabnya tentu kita perlu menelusuri lebih dahulu akar permasalahan yang ada. 

Terorisme berawal dari faham fundamentalisme yang mengarah pada radikalisme. Ini muncul akibat adanya sekelompok orang yang kehilangan daya nalar yang kemudian memonopoli arti kebenaran dan menghakimi semua orang yang tidak sepaham dengan aliran pemikiran mereka yang monolitik.

Jika sekedar merasa yang paling benar dan tanpa “menghukum” pihak lain, sebenarnya tidak terlalu berbahaya. Bahaya baru akan muncul bilamana ada orang yang mengatasnamakan Tuhan, bahkan bertindak melebihi Tuhan itu sendiri, lalu merasa berhak untuk “menghukum” dan membinasakan orang yang memiliki keyakinan yang berbeda.

Ideologi yang dianut para teroris adalah idiologi kematian. Bagi mereka kematian adalah sebuah kemenangan. Kematian juga satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan mereka. Ini yang harus dipahami oleh semua pihak bahwa persoalan hakiki dalam terorisme bukan masalah sosial dan ekonomi semata, tetapi lebih pada sesat idiologi yang mereka anut.

Maka dalam memerangi terorisme seluruh elit politik negeri ini harus memiliki visi yang sama, semangat yang sama dan tafsir yang sama tentang gerakan terorisme ini. Harus disadari bahwa bagi para teroris kematian memang jalan yang mereka pilih. Mereka akan dengan mudah memanipulasi kebenaran dan kemanusiaan ketika dihadapkan pada kekuatan bersenjata yang ampuh dan tidak kenal ampun.

Harus bisa dipilah dan dipilih, mana yang masih bisa dibina melalui pendekatan kemanusiaan dan mana yang memang sudah terpapar idiologi sesat tersebut. Menggunakan kekuatan bersenjata semata hanya akan menimbulkan dendam dan pembenaran atas langkah balas dendam yang mereka usung.

Diperlukan pola pendekatan yang berbeda, sistematik dan holistik untuk menghentikan kekerasan dengan mengedepankan budaya pengampunan, persaudaraan dan rekonsiliasi.  

Cara yang terbaik untuk menumpas terorisme sampai ke akar-akarnya adalah dengan membatasi akses dana dan ruang gerak mereka, baik di media maupun dalam kehidupan kekerabatan dalam masyarakat. Peranan media massa menjadi sangat vital. Media massa harus mampu mengajak masyarakat untuk memerangi terorisme melalui cara berpikir dan pendidikan yang kritis.

Media massa tidak boleh menampilkan mereka dalam ruang-ruang publik. Media sosial juga harus mampu dikendalikan oleh negara pada batas tertentu. Ujaran kebencian di media sosial harus segera dihentikan.

Penyebaran berita hoax yang sistematis harus diberantas lewat penelusuran sumber pendanaan yang menopang kegiatan mereka. Tokoh-tokoh yang sengaja terlibat dalam pendanaan harus dihadapkan di muka hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Para pemuka agama harus berperan mengajarkan damai, cinta persaudaraan dan bukan menebarkan kebencian, ketakutan dan kecemasan. Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang terbesar di Indonesia harus lebih diberdayakan sebagai pilar utama agama Islam yang cinta damai, ramah dan menerima kebhinnekaan sebagai sebuah keniscayaan.

Organisasi keagamaan lain harus juga mengabarkan kedamaian, bukan mengobarkan kebencian dan balas dendam. Terorisme sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama apapun dan terorisme adalah musuh semua agama. Bahkan terorisme adalah musuh bangsa karena melanggar peri kemanusiaan.  

Para politisi juga harus mampu mengekang ego politiknya, demi keutuhan bangsa dan negara. Politik itu bukan semata perebutan kekuasaan belaka, tetapi politik juga harus mampu membangun peradaban.

Para politisi harus memiliki jiwa kenegarawanan dan etikat baik untuk bukan hanya menggolkan payung hukum yang lebih tegas bagi aparat kepolisian untuk bisa melakukan langkah-langkah preventif guna mempersempit ruang gerak para teroris, tetapi memberikan dukungan politik kepada pemerintah demi keutuhan negeri.

Payung hukum dan dukungan politik ini diharapkan menjadi senjata yang ampuh untuk mencegah aksi-aksi terorisme yang memang bertujuan menghancurkan negeri.

Sebuah film berjudul “Somalia” menggambarkan bagaimana negara yang dulunya damai, kini luluh lantak tak layak huni. Suara rentetan tembakan di Mogadishu, ibukota Somalia, lebih sering terdengar dibandingkan suara knalpot bising sepeda motor di jalanan di Jakarta.

Inilah saatnya seluruh komponen bangsa bersatu, bergerak dalam satu rampak barisan dalam memerangi terorisme. Kita nyalakan suluh perjuangan demi mencapai kesejahteraan rakyat dan mempertahankan keutuhan negeri.

Mari kita patahkan idiologi terorisme dengan bahasa persaudaraan dan pengampunan, yang hormat terhadap martabat manusia dan kemanusiaan, demi mematahkan idiologi kematian yang diusung teroris.

Jiwa-jiwa yang merdeka tak akan pernah tunduk dan takut bila kita tetap setia dan bersatu di bawah panji-panji Pancasila. Kita harus bersatu karena persatuan itu adalah hakekat dari kemanusiaan, seperti yang dikatakan oleh Bung Karno. Persatuan itu juga sebagai manifestasi dari wujud kecintaan kita pada bangsa dan negara.

Negara tidak boleh kalah dalam melawan terorisme. Merdeka.
 

Quote