Jakarta, Gesuri.id - JAYA Suprana dalam perjalanan hidupnya yang begitu lengkap sebagai seorang pebisnis, pianis, seniman, dan kemudian menemukan keseluruhan panggilan hidupnya sebagai seorang budayawan, menyampaikan pernyataan yang begitu menarik tentang seni kuliner.
Baginya seseorang boleh saja piawai sebagai seniman, ataupun sebagai seorang yang begitu menjiwai seni lukis, seni suara, ataupun seni tari. Namun tanpa pemahaman terhadap seni kuliner, suatu seni yang begitu penting dan bersentuhan dengan kehidupan, berbagai seni yang ada tidaklah lengkap, tidak sempurna.
Baca: Hasto: Rayakan HUT Partai & Megawati, Tanam Mangrove-Cemara
Apa yang disampaikan Jaya Suprana tersebut nampaknya sederhana, terlebih ketika disampaikan dengan nada candaan. Namun jika direnungkan lebih mendalam, seni kuliner ternyata penuh kedalaman makna. Seni kuliner menyentuh state of the art akan cita rasa. Seni kuliner hadir sebagai perpaduan pemahaman terhadap segala sesuatu hal yang berkaitan dengan makanan, gizi, protein, cita rasa, dan ketrampilan di dalam memadukan bumbu-bumbuan, hingga seni menampilkan aneka rupa makanan sebagai karya yang begitu menarik, hidup, dan menggugah selera.
Pernyataan Jaya Suprana dalam pemberian Rekor MURI atas pencaian rekor resep makanan dan festival kuliner “Makanan Pendamping Beras” dalam rangka Ulang Tahun PDI Perjuangan ke-49 tersebut ditanggapi Megawati Soekarnoputri dengan tawa penuh kegembiraan. Jaya Suprana ternyata mampu membahasakan dengan cara sederhana tentang pentingnya seni kuliner.
Sudah begitu lama Megawati menaruh perhatian yang begitu besar terhadap pangan. Mungkin hanya Megawatilah yang tercatat sebagai Presiden Republik Indonesia dengan kumpulan buku kuliner terbanyak, bahkan di dunia. Karena itulah tidak heran, ketika Indonesia dihantam badai pandemi Covid-19, dengan cepat Megawati mengeluarkan instruksi agar seluruh anggota dan kader PDI Perjuangan bergerak serentak menjalankan instruksinya untuk menanam tanaman yang bisa dimakan khususnya, 10 tanaman pendamping beras, seperti jagung, singkong, umbi, talas, sukun, pisang, porang, cantel, dan lain-lain.
Tidak hanya itu seluruh kepala daerah dari PDI Perjuangan juga diperintahkan untuk mengumpulkan resep makanan yang khas di daerahnya, termasuk resep jamu-jamuan herbal, dan wajib dituangkan dalam buku.
Alhasil, gerak kepartaian PDI Perjuangan diwarnai dengan gerak menanam; gerak mencari aneka tanaman termasuk buah-buahan dan sayur-sayuran yang memiliki kandungan vitamin tinggi untuk meningkatkan daya imunitas tubuh di tengah pandemi. Dalam berbagai kegiatan yang begitu penting, PDI Perjuangan terus memompakan semangat merawat pertiwi melalui berbagai kegiatan menanam, membersihkan sungai, hingga rupa-rupa festival kuliner maupun beragam kegiatan lain yang mengangkat keseluruhan budaya nusantara.
Dalam keseluruhan gerak kepartaian tersebut nampak bagaimana ideologi Pancasila dijabarkan secara konkrit, pembumian ideologi ini termasuk di dalamnya mengangkat tema pangan yang belum banyak diangkat partai politik lain.
Pangan bersentuhan dengan persoalan hidup mati suatu bangsa. Hal tersebut berulang kali ditegaskan oleh Bung Karno, Proklamator dan Bapak Bangsa Indonesia. Pangan bukan hanya urusan perut semata. Dalam konsepsi Bung Karno, urusan pangan menentukan masa depan bangsa. Pangan juga memiliki keterkaitan kuat dengan politik. Sebab pemerintahan bisa turun legitimasinya, bahkan kekuasaan pemimpin tertinggi suatu negara bisa jatuh, ketika urusan yang begitu strategis tersebut tidak dikelola dengan baik.
Bagi Bung Karno, Indonesia yang berdaulat di bidang pangan menjadi elemen yang begitu penting dalam konsepsi Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Karena itulah suatu bangsa akan berdaulat apabila mampu mencukupi kebutuhan pangan bagi rakyatnya. Sekiranya ketika hal tersebut dilakukan secara berdikari, maka negara akan mencapai taraf kedaulatan politiknya.
Demi pencapaian konsepsinya untuk berdaulat di bidang pangan tersebut, Bung Karno mendorong hadirnya fakultas pertanian di setiap universitas negeri, khususnya ketika meresmikan Institut Pertanian Bogor (IPB). Tidak hanya itu, dalam memberikan pengarahan pada pembukaan Konferensi Dokter Anak Asia Afrika, Bung Karno menegaskan pentingnya kekuatan demografi bagi kepemimpinan suatu bangsa.
Baca: Tanam dan Rawat Pohon Poin Evaluasi Kinerja Kepala Daerah
Mengapa berkaitan dengan urusan pangan menjadi perhatian yang begitu luas dari Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, dan kemudian dilanjutkan oleh Presiden Jokowi? Mengapa berulang kali Bung Karno menegaskan bahwa dari lidah dan perut rakyat Indonesia tidak boleh terjajah oleh makanan impor?
Bagi Bung Karno, persoalan pangan bukanlah jargon politik. Pangan menjadi perhatian yang begitu besar karena dari pangan, Indonesia membangun kepribadian bangsa yang berakar dari tradisi Nusantara. Dari pangan, Bung Karno memerintahkan riset selama lebih dari 6 (enam) tahun lamanya dengan menampilkan pangan Nusantara ke dalam buku Mustika Rasa.
Dari buku itu terlihat betapa luar biasa kekayaan pangan Indonesia, begitu beranega ragam. Setiap daerah, setiap wilayah kepulauan, bisa diangkat jenis makanan yang khas. Dipadukan dengan bumbu-bumbuan dan juga aneka rempah, menjadikan makanan Nusantara memiliki cita rasa begitu spesial. Tidaklah heran, Nusantara menjadi begitu menarik. Dan sejarah membuktikan dari urusan pangan dan rempah menjadi pemicu persaingan hegemoni antar bangsa.
Pertarungan hegemoni yang dipicu oleh pangan dapat dibuktikan secara empiris tentang bagaimana survival suatu bangsa berkaitan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan nasionalnya di bidang pangan. Bahkan hegemoni negara maju sering dibangun melalui daya kompetensi dengan menguasai paten atas benih-benih unggul. Pilihan itu diambil akibat mereka tidak memiliki lahan yang cukup subur dengan lintasan matahari yang begitu panjang di negara-negara yang membentang di antara garis Khatulistiwa.
Atas dasar hal tersebut, negara-negara maju berpacu dalam penguasaan ilmu pengetahuan dengan mengedepankan tradisi riset dan inovasi guna menemukan benih-benih unggul dan teknik pertanian modern. Negara-negara maju terus menjaga kompetensinya sebagai daya unggul dengan menguasai hal-hal yang strategis terkait benih, teknologi pertanian, alat-alat mekanisasi pertanian, hingga pengolahan paska panen produk-produk pertanian.
Sementara Indonesia yang begitu kaya dengan aneka rupa jenis makanan serta bumbu-bumbuan, belum mampu melihat keseluruhan aspek strategis pangan melalui pendekatan hulu-hilir. Riset di bidang pangan tidak sepenuhnya menjadi daya tarik peneliti Indonesia. Demikian halnya dengan pengembangan hasil riset dalam skala ekonomis yang berguna bagi perekonomian dan kemajuan bangsa. Persoalannya terletak pada mentalitas. Juga anggapan bahwa urusan pangan sering dianggap sepele. Di luar itu, ekosistem pangan yang berada di wilayah pedesaan dianggap tidak mewakili “status sosial” bagi kemajuan.
Kesalahan serupa juga terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa itu, hal-hal yang berkaitan dengan pangan, termasuk kehidupan petani, hanya dipandang dari aspek sistem produksi semata. Atas nama sistem produksi, berbagai bentuk efisiensi dilakukan, seperti penyeragaman benih padi. Dampaknya, berbagai sumber benih padi lokal yang khas sesuai sifat tanah dan unsur hara, tidak dikembangkan melalui riset, inovasi, dan pengembangan teknologi pertanian.
Implikasinya pun jelas. Penyeragaman benih, keserentakan masa tanam yang mengabaikan diversifikasi pangan, serta proses penggundulan hutan, menyebabkan berkembangnya hama baru wereng akibat tidak bekerjanya ekosistem yang memperhatikan kelestarian lingkungan.
Ditinjau dari politik tata ruang untuk pangan, Orde Baru juga membuat kesalahan fatal. Kalau pada jaman Bung Karno pembangkit tenaga listrik dibangun dengan mengedepankan posisi kehadiran bendungan-bendungan yang terintegrasi dengan sistem irigasi pertanian dan pariwisata, sebagaimana nampak dari pembangunan Waduk Jati Luhur, pada jaman Orde Baru justru sebaliknya.
Atas nama pembangunan, wilayah subur seperti Gresik, dan Tuban di Jawa Timur, dan Bekasi, Karawang, Cibitung, hingga Cikampek di Jawa Barat telah berubah fungsi secara masif menjadi daerah industri. Hasilnya, Ibu kota Jakarta dikepung oleh ledakan migrasi penduduk untuk mencari pekerjaan di kawasan tersebut. Politik tata ruang guna melindungi lumbung pangan diabaikan dan hilanglah tradisi lokal tentang seni menanam.
Apa yang terjadi di wilayah subur sebagai lumbung pangan yang diubah menjadi kawasan industri ikut merubah sistem sosial kemasyarakatan, dan melunturnya akar kebudayaan berikut simbol kebudayaannya. Banyak penduduk lokal yang tidak siap dengan modernisasi, lalu terkena bujuk rayu untuk menjual tanah sumber pangannya dengan harga murah, hingga akhirnya tercerabut peri-kehidupannya.
Bayangkan, seandainya di wilayah bertanah subur tersebut dipertahankan menjadi wilayah pertanian, yang kemudian ditransformasikan secara modern, betapa Jakarta akan dikelilingi oleh pemandangan hijau yang menghampar di sekeliling perbatasannya. Seandainya hal tersebut terjadi, maka Indonesia yang tercermin melalui DKI Jakarta tidak akan tercerabut dari basis kebudayaannya, namun akan nampak modernitas dalam balutan budaya agraris.
Hal inilah yang tidak terjadi. Karena itulah ketika Ibukota Negara akan dipindahkan ke Kalimantan Timur, kesalahan yang sama tidak boleh terjadi. Demikian halnya daerah Papua, Sumatera, Sulawesi, dan wilayah Indonesia lainnya. Saatnya untuk menjaga sumber kehidupan, ruang vital yang sangat penting bagi bangsa: yakni pangan dengan menjaga dan memertahankan lahan-lahan subur yang menjadi lumbung pangannya.
Baca: HUT Megawati, Banteng Jatim Akan Tanam Pohon Secara Massal
Politik tata ruang harus menjamin kelangsungan hidup bangsa. Terlebih bagi Indonesia yang berada di daerah tropis, dengan gunung-gunung dan lembah hijau yang begitu kaya dengan sumber pangan. Semua harus dijaga. Pangan harus dikembangkan dengan segala cara dari hulu-hilir melalui penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, riset dan inovasi.
Hal ini sekaligus sebagai antisipasi, ketika dampak global warming semakin mengancam ketersediaan pangan, maka bagi Indonesia yang berada di lintasan Khatulistiwa, pangan adalah masa depan bagi keunggulan negeri. Banyak ahli memperkirakan, bahwa perang masa depan bisa dipicu oleh perebutan daerah yang terbukti menjadi sumber pangan.
Karena itulah dari pangan kita gelorakan nasionalisme Indonesia. Dari pangan semangat yang diajarkan Bung Karno agar dari lidah dan perut rakyat Indonesia tidak terjajah oleh makanan impor terus kita wujudkan dengan cara-cara positif seperti riset dan inovasi serta melindungi keseluruhan ekosistem pangan Indonesia agar semakin berkemajuan, dan secara khusus bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Merdeka!!!