Jakarta, Gesuri.id - Baru-baru ini beredar survey dari LSI, sepertinya ada indikasi penurunan elektabilitas PDI Perjuangan sebesar 1,6% dari 19,3% menjadi 17,7% yang ditengarai sebagai imbas penolakan serentak kader-kader PDI Perjuangan atas hadirnya timnas Israel pada Piala Dunia U20.
Hasil survey ini juga jadi makanan empuk para ‘animal politic’ untuk memangsa PDI Perjuangan bahkan dari kelompok oposisi yang selama ini jualan pembebasan Palestina meledakkan kemarahan atas pembatalan Piala Dunia U20 dengan mengarahkan peluru politiknya ke PDI Perjuangan, hal ini dilakukan karena dendam politik juga disebabkan dengan merujak PDI Perjuangan bisa menguasai elektoral yang selama ini dikuasai PDI Perjuangan. Maka semua ramai-ramai gebukin PDI Perjuangan, dan banyak yang melupakan bahwa survey pun bisa menjadi alat kepentingan politik tertentu. Terlebih metodologi LSI dengan telpon tidak melalui tatap muka, yang otomatis banyak menimbulkan bias. Survey dengan telepon hanya cocok untuk pertanyaan konfirmatori “ya atau tidak”. Bukan untuk menanyakan persepsi pemilih terhadap pilihan partai tertentu. Karena itulah survey dengan cara itu efektif untuk memobilisasi opini atas dasar pesanan. Hasilnya jelas beda, karena segmen pemilih PDI Perjuangan berakar pada basis wong cilik dan desa-desa.
Tapi menghadapi berbagai serangan tersebut, apakah PDI Perjuangan menyesal melakukan penolakan atas Israel? Sampai sejauh ini tidak ada tanda-tanda penyesalan atau ‘buang badan’. Koster dan Ganjar yang dianggap paling bertanggung jawab atas penolakan Israel malah semakin hari memperkuat pernyataannya. Koster bahkan mengaku bangga menolak Israel dan ia menambahkan penolakannya kepada tim Israel pada ajang turnamen ANOC World Beach Games yang sedianya akan berlangsung 5-12 Agustus 2023. Koster masih memperkuat pembelaan terhadap Palestina. Sementara Ganjar hanya ketawa saja saat didesak tanggapannya soal bully terhadap dirinya atas penolakannya terhadap kehadiran timnas Israel bahkan ia menelpon Gubernur Koster untuk memperkuat penolakan tim Israel pada ajang ANOC World Beach Games. Kenapa kader-kader PDI Perjuangan keras soal Israel, karena kader-kader PDI Perjuangan melek politik soal Geopolitik Sukarno yang mereka dapatkan dari sekolah partai.
Baca: Bersuara Dalam Piala Dunia, Melawan Diamnya Kemunafikan
Ditengah serangan bully kepada Ganjar dan Koster, ternyata semesta membenarkan sikap kader PDI Perjuangan. Beberapa hari setelah pembatalan FIFA U20 di Indonesia dunia dikagetkan pada serangan tentara Israel ke stadion Palestina menyerang supporter Palestina dengan ledakan gas air mata, sebuah senggolan kedaulatan yang benar-benar menyalahi aturan kode etika FIFA, karena Palestina juga anggota FIFA, setelah itu menyusul serbuan besar tentara Israel ke Masjidil Aqsa, jama’ah masjidil Aqsa digebukin, ditembaki gas air mata dan kemarahan ini telah membuat dunia marah. Aksi Israel ini akan jadi perang besar baru di wilayah Palestina setelah Lebanon menyerang Israel dengan roket karena serbuan tentara Israel ke Masjidil Aqsa.
Dalam ranah sepakbola, FIFA dikecam publik karena tidak adil perlakuannya terhadap Rusia dan Israel yang juga berimbas pada Indonesia. FIFA juga secara telanjang memperlihatkan ketidakadilannya terhadap Indonesia dan sangat Pro Israel dengan diam saja melihat agresi militer Israel yang keterlaluan. Ketika agresi tentara Israel mengganas disertai kutukan dari PBB, FIFA tenang-tenang saja dan pilih tidak ambil pusing ini beda misalnya ketika Rusia dianggap menganeksasi wilayah Ukraina para agen-agen FIFA melakukan lobi-lobi politik melarang Rusia yang masuk babak play off kualifikasi Piala Dunia 2022 dan resmi melarang timnas Rusia. Jadi aksi Indonesia justru memperlihatkan pada dunia standar ganda FIFA yang memalukan itu.
Lalu bagaimana PDI Perjuangan mencermatinya? Kalau yang melihat dari analisa politik dan ‘dagang sapi’ diantara partai-partai politik apa yang dilakukan PDI Perjuangan dengan melakukan satu hal yang beresiko secara elektoral, tapi itu anggapan orang yang punya mindset bahwa politik adalah soal pragmatisme, soal naik turunnya suara. Ini berbeda dengan jalan politik PDI Perjuangan yang melakukan politik dengan dasar ideologi, kesadaran sejarah dan disiplin pada konstitusi. Kalau katakanlah benar terjadi penurunan sebesar 1.6%, apakah hal tersebut merugikan PDI Perjuangan? Ingat PDIP pernah mengalami masa-masa sulit ditindas jaman Orde Baru dan tetap survive karena keyakinan. Di masa SBY PDI Perjuangan selalu dicurangi, dan 10 tahun SBY berhasil menebar proyek “kriminalisasi hukum” dengan bantuan oknum KPK seperti Abraham Samad. Proyek intervensi hukum dan kecurangan Pemilu massif SBY yang sangat merugikan PDI Perjuangan dan Golkar tersebut sebentar lagi akan dibuka mantan kadernya sendiri, Anas Urbaningrum. Dari jelas, bahwa kebenaran politik menang sering muncul belakangan.
Diluar analisis di atas, banyak elit Partai yang melupakan kekuatan semesta yang ikut mendukung sikap PDI Perjuangan yang menolak Israel, meski PDI Perjuangan tidak pernah menolak U20, bahkan memberikan dukungan, sampai memindahkan HUT ke-50 di Kemayoran karena menjaga kesiap-siagaan Gelora Bung Karno.
Dengan keyakinan PDI Perjuangan, maka dunia akan melihat sebentar lagi sayap kanan Israel, pimpinan Benyamin Netanyahu akan rontok. Disitulah PDI Perjuangan akan dicatat sebagai Partai yang paling kokoh dalam menjaga prinsip dan konsistensi garis kebijakan politik luar negeri bebas aktif. PDI Perjuangan pun akan semakin tegak berkibar karena yang dipegang adalah substansi kebangsaan didasari atas kesadaran Nasionalis-Sukarnois.
Ditengah serangan bully pada PDI Perjuangan soal Israel, kini pelan-pelan persepsi publik berbalik setelah dunia menyaksikan kebiadaban Israel.
Baca: Wabup Sujiwo Santuni Anak Yatim & Duafa di Sungai Raya Dalam
Sekarang ini harus diakui sebagian besar rakyat Indonesia terutama generasi baru terasing dengan pemikiran Sukarno, yang menurut saya dari sekian pemikiran Sukarno salah satunya yang paling cemerlang adalah Geopolitik yang anti pada Nekolim. Dan sampai detik ini Israel adalah alat Nekolim di Timur Tengah yang juga melakukan politik penjajahan di wilayah Palestina bahkan semakin parah dibanding masa Sukarno, Gamal Abdel Nasser di tahun 1960-an. Selama 74 tahun berita serbuan Israel ke wilayah Palestina, pembunuhan-pembunuhan, aneksasi wilayah yang menyebabkan ratusan ribu penduduk Palestina mengungsi dan terciptanya kamp-kamp pengungsian, bahkan Israel pernah bertanggung jawab atas pembantaian di kamp Sabra dan Shatilla, Lebanon di tahun 1982. Berita soal ini menjadi biasa dan terbiasa lama-lama penjajahan dan politik apartheid Israel di tanah Palestina dianggap suatu hal yang lumrah.
Disinilah peran penting PDI Perjuangan yang terus menghidupkan pemikiran Sukarno terutama geopolitiknya memiliki arti penting membangunkan kesadaran rakyat Indonesia. “Bahwa Indonesia harus aktif dalam perdamaian dunia dan mendukung kemerdekaan negara-negara terjajah”. Dan soal geopolitik Sukarno bukanlah soal nostalgia tapi soal realitas tata hubungan internasional yang didasari pada Ko-Eksistensi, “Lu Ada, Gua Ada”.
Penolakan Indonesia pada Israel adalah sesuatu yang benar, dan kebenaran pada akhirnya yang menang. Jadi bagi elit Partai ataupun elit lembaga survey yang kini sudah menjadi kepentingan “industri elektoral”, berpolitiklah dengan mata hati. Saya pribadi percaya dengan kepungan, dan serangan atas dasar survey yang tidak terlepas dari kepentingan politik tersebut, PDI Perjuangan justru akan menjadi semakin solid. Berbagai upaya yang mengadu domba PDI Perjuangan dengan Jokowi juga tidak akan berhasil, karena dengan caranya sendiri, PDI Perjuangan selalu tampil menjadi benteng yang paling tangguh bagi Jokowi, sementara Partai lain merapat ke Jokowi hanya karena kepentingan kuasa dan kapital. Apa yang terjadi justru akan semakin mensolidkan PDIP sebagai Partai yang paling konsisten dalam perjuangan menjaga marwah negeri di dunia internasional. Jadi bagi yang rame-rame menghantam PDI Perjuangan, siap-siaplah kecewa, karena PDI Perjuangan dengan ilmu kapasnya justru akan menyerap energi serangan itu, menjadi daya agilitas, daya survive dan kemampuan menyesuaian diri, serta kecepatan gerak elektoral yang sulit tertandingi.
Sementara Megawati yang sudah terkenal dengan kontemplasi politiknya yang dalam, daya analisa politiknya yang tajam dalam serta kedisiplinannya memegang konstitusi sebagai alam sadar berpolitiknya, melihat kehadiran tim Israel di Indonesia adalah kesalahan dan renungan itu dibayar kontan oleh Israel dalam hitungan hari setelah pembatalan Piala Dunia FIFA U20 di Indonesia dengan menyerang stadion dan Masjid Al Aqsa di Palestina. Dimana sontak seluruh dunia mengecam. Jadi Megawatilah yang sebenarnya konsisten menjaga Jokowi agar dia bisa semakin mendekati kualifikasi kepemimpinan Bapaknya.
Pada akhirnya, atas kesatupaduan dengan rakyat, PDI Perjuangan terus menyampaikan politik kebenaran. Dengannya PDI Perjuangan berani berteriak lantang, Satyam Eva Jayate, bahwa pada akhirnya, kebenaranlah yang akan menang…
Oleh : Anton DH Nugrahanto.