Jakarta, Gesuri.id - Terungkapnya “pabrik” uang palsu di Perpustakaan UIN Allauddin Makassar baru-baru ini mengusik logika berpikir kita. Apalagi masih banyak pertanyaan yang belum terjawab tuntas seputar kasus yang menghebohkan tersebut, walaupun sudah 17 orang ditetapkan sebagai tersangka.
Sejauh ini kasus uang palsu di Indonesia masih didominasi oleh motif ekonomi. Belum pernah terungkap motif lain yang lebih terstruktur dan sistematis yang bahkan melibatkan otoritas tertentu, seperti yang terjadi di banyak negara lain. Amerika salah satunya.
Dalam Perang Dunia II terkenal dengan Operasi Bernhard di mana Nazi Jerman berencana untuk menghancurkan ekonomi Sekutu dengan mencetak uang palsu dalam jumlah besar. Para tahanan di kamp konsentrasi Sachsenhausen dipaksa memproduksi uang palsu USD berkualitas tinggi. Uang ini dimaksudkan untuk disebarkan di Inggris dan Amerika Serikat untuk menyebabkan inflasi.
Demikian pula kejadian Superdollar yaitu istilah yang digunakan untuk percetakan uang palsu USD pada era tahun 1980an dengan kualitas sangat tinggi, hampir tak dapat dibedakan dari uang asli, bahkan oleh para ahli. Diduga uang dollar palsu diproduksi oleh organisasi bahkan negara-negara tertentu, dengan teknologi canggih. Tujuannya tentu merusak reputasi mata uang dollar.
Itulah alasannya kenapa denominasi mata uang dollar terbesar saat ini hanya USD 100. Padahal sebelumnya ada juga mata uang USD dalam denominasi besar yang digunakan sebagai alat pembayaran. Semakin besar denominasinya, maka semakin menguntungkan untuk dipalsukan.
Pada jaman perang Iran - Irak tahun 1980 - 1988, kedua negara juga saling mencetak mata uang palsu negara lainnya dengan tujuan merusak ekonomi lawan. Iran mencetak Dinar Irak palsu dan Irak mencetak Rial Iran palsu. Jelas pemalsuan ini melibatkan otoritas tertentu dan berlangsung secara sistematis. Masih banyak contoh kejadian pembuatan uang palsu di negara lain yang memiliki motif di luar ekonomi (baca: memperkaya diri).
Untuk kasus di Makassar baru-baru ini, benarkah jumlahnya memang sangat bombastis seperti yang diberitakan di banyak media mainstream atau media sosial? Kalau sudah sampai pada ordo triliun, tentu ada hal yang perlu diwaspadai secara khusus. Selama ini peredaran uang palsu di Indonesia sangat kecil. Jumlahnya hanya beberapa lembar per sejuta lembar uang asli. Dari total uang kartal asli yang beredar sekitar Rp. 9.000an triliun, hanya sekitar Rp. 5 miliar yang palsu.
Pertanyaan berikutnya adalah sudah berapa lama perpustakaan bodong “pabrik” uang palsu ini beroperasi? Semakin lama, tentu distribusinya semakin meluas dan daya rusaknya semakin besar. Bisa juga dipastikan semakin banyak pihak lain yang terlibat, karena tidak mudah membelanjakan uang tunai dalam jumlah besar tanpa menimbulkan kecurigaan banyak pihak.
Benarkah kualitas uang palsu produksi perpustaan bodong tersebut memang sangat bagus sehingga sulit dibedakan oleh orang awam, seperti yang dikatakan oleh Rizki Ernadi Wimanda, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Selatan.
Waktu masih di Komisi VI DPR RI, saya berkesempatan melakukan kunjungan kerja spesifik ke BUMN yang ditugaskan untuk mencetak uang, yaitu Peruri. Dari anjungan pirsa kami melihat bahwa untuk mencetak uang dengan tingkat keamanan tinggi, maka dibutuhkan mesin yang sangat besar dan panjang (sampai puluhan meter), di samping bahan baku uang yang hanya khusus diperdagangkan otoritas tertentu. Kalau tiba-tiba “pabrik” uang palsu UIN bisa mencetak uang palsu yang susah dibedakan oleh awam, hanya dengan menggunakan mesin kecil berukuran 3x4 m, maka ini tentu sangat berbahaya. Bisa jadi akan memicu banyak “pabrik” baru lainnya skala UKM yang bisa merusak reputasi rupiah.
Sebagai anggota Komisi XI DPR RI saya meminta Bank Indonesia untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum agar kasus pemalsuan uang ini bisa diungkap tuntas sampai ke akar-akarnya. Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap keaslian uang kertas yang dicetak resmi. Kita cinta Rupiah. Yang asli tentu saja.