Penasihat komunikasi Hitler, Paul Joeseph Goebbles, pernah berteori bahwa satu dusta yang disampaikan 1.000 kali bisa membuat orang percaya. Bahkan, hingga menganggapnya satu kebenaran.
Nazi, di masa itu, dibangun di atas dusta dan narasi ketakutan di satu sisi, dan di sisi lain dibangun di atas mimpi keagungan chauvinistik.
Di era modern ini, hal serupa juga menimpa Amerika Serikat. Trump, di saat kampanye Pilpres, menebar ketakutan di satu sisi, sambil di saat bersamaan menawarkan Amerika Perkasa di sisi lain.
Baca: Istilah 'Politik Genderuwo', TKN: Rakyat Jangan Takut
Menebar ketakutan untuk meraih simpati politik sama sekali tidak sehat bagi kehidupan politik bangsa. Untuk itu masyarakat harus bahu-membahu melawan narasi ketakutan dan kebencian.
Putra Sang Fajar, Presiden Pertama RI, Ir Soekarno dalam kumpulan naskah pidatonya berjudul 'Bung Karno: Setialah Kepada Sumbermu' bahkan pernah mengingatkan kebencian dapat meruntuhkan persatuan dan kesatuan Bangsa.
Soekarno menegaskan bahwa persatuan dan kesatuan merupakan satu-satunya cara agar bangsa Indonesia lepas dari penghinaan serta penindasan oleh bangsa lain.
Ia mengumpamakan bangsa Indonesia sebagai sapu lidi, yang terdiri dari beratus-ratus lidi. Jika tidak diikat, maka lidi tersebut akan tercerai berai, tidak berguna dan mudah dipatahkan.
"Tetapi jikalau lidi-lidi itu digabungkan, diikat menjadi sapu, mana ada manusia bisa mematahkan sapu lidi yang sudah terikat, tidak ada saudara-saudara," kata Soekarno. "Ingat kita kepada pepatah orang tua, rukun agawe santosa, artinya jikalau kita bersatu, jikalau kita rukun, kita menjadi kuat!" tuturnya.
Seperti diketahui, pada Jumat (9/11/18), saat acara penyerahan sertifikat hak atas tanah untuk masyarakat Kabupaten Tegal di Gelanggang Olah Raga Tri Sanja, Kabupaten Tegal, Presiden Jokowi mengatakan politik dan pesta demokrasi itu sudah semestinya disambut dan dihinggapi rasa gembira oleh masyarakat Indonesia, bukan untuk menakut-nakuti.
Presiden melihat bahwa sekarang ini banyak politikus yang pandai memengaruhi masyarakat, namun yang amat disayangkan olehnya, para pelaku politik cenderung tidak memandang etika berpolitik dan keberadaban.
"Coba kita lihat politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan dan kekhawatiran. Setelah takut, yang kedua membuat sebuah ketidakpastian. Masyarakat emang digiring untuk ke sana. Dan yang ketiga, masyarakat akan menjadi ragu-ragu," kata Presiden.
Presiden memiliki satu istilah khusus untuk menggambarkan perilaku berpolitik tak beretika yang menebar ketakutan dan kekhawatiran di tengah masyarakat.
Berangkat dari mitos Jawa mengenai makhluk halus, dirinya menyebut hal itu sebagai "politik genderuwo", politik yang menakut-nakuti.
"Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Masak masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? Itu namanya politik genderuwo, menakut-nakuti," ujar Jokowi seperti yang dirilis oleh Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin.
Simpati Politik Tak sehat
Ketua DPP Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Yayan Sopyani Al Hadi mengatakan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal politisi genderuwo itu bukanlah isapan jempol belaka.
Menurutnya, menebar ketakutan untuk meraih simpati politik sama sekali tidak sehat bagi kehidupan politik bangsa. Oleh sebab itu, ia menekankan, masyarakat harus bahu-membahu untuk melawan narasi ketakutan dan kebencian.
"Rakyat harus berdiri bersama melawan politik yang jauh dari nilai keadaban. Politik sejatinya harus dibangun dengan suka-cita, toh semua adalah anak-anak bangsa," ungkap Politisi PDI Perjuangan itu, dalam keterangan tertulisnya kepada Gesuri, Kamis (15/11).
Ia menilai, politik itu seharusnya menggembirakan. Sebab, sejatinya politik adalah cara mengelola kekuasaan untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Politik bukan sarana berburu rente untuk keluarga, kroni atau yang zaman Orba disebut sebagai KKN.
“Jadi ini bukan hal baru dalam politik. Kita harus waspada, sistem demokratis pun bisa melahirkan orang macam Hitler dan Trump. Karena ini bukan hal baru, bukan hal aneh juga bila memang ada yang menggunakan narasi yang sama di Indonesia," paparnya.
Berkaca pada kasus Hitler dan Trump, narasi kebencian kepada pemerintah tentu saja bertujuan untuk meraup dukungan dan memenangkan Pemilu sebagai sebuah strategi yang buruk dan jahat.
"Maka kita memahami apa yang disampaikan Pak Jokowi ini adalah politik sontoloyo dan politik genderuwo. Pak Jokowi sudah benar dan tegas, dan ini perlu disampaikan," ujar Yayan.
Jika terus dibiarkan maka NKRI akan rusak terkoyak dan tercabik-cabik. Apakah kemenangan yang diraih dari sebuah kontentasi demokrasi harus dengan mengorbankan rakyat?
Bermaksud Positif
Politikus PDI Perjuangan Maruarar Sirait menyebut ucapan Presiden Jokowi soal politik genderuwo bermaksud positif. Menurutnya, ucapan itu bermakna tidak boleh saling menakut-nakuti.
Menurut Maruarar, hal ini juga berlaku kepada timses Prabowo Subianto. "Saya rasa itu penting sekali. Kemudian mereka yang ingin mengubah prinsip bernegara, keberagaman, persatuan, saya pikir tak boleh timses Jokowi dan Prabowo melakukan seperti itu (politik genderuwo)," ujar Maruarar, Minggu (11/11).
Sebelumnya, Jokowi mengungkap adanya pihak yang melakukan 'politik genderuwo' yang suka menaku-nakuti. Meski tak menyebut nama, Jokowi menjelaskan apa yang dia maksud sebagai 'politik genderuwo'.
Baca: Jokowi: Generasi Muda Tidak Takut Politik “Genderuwo"
Maruarar menyebut politik gederuwo terjadi karena ada oknum yang menyebarkan hoax dan ujaran kebencian.
"Harusnya masing-masing capres secara terbuka menyampaikan pikiran dan komitmennya, termasuk tegas kepada tim yang melakukan itu (hoax dan ujaran kebencian). Jadi ada koreksi juga," kata dia.
Bahkan, hukuman tegas wajib diberikan kepada mereka yang melakukan politik genderuwo.
"Dua capres ini silakan pada timnya masing-masing, siap yang melakukan hoax dan ujaran kebencian harus ditindak tegas, kalau perlu dikeluarkan," tutur pria yang akrab disapa Ara itu.
Kampanye Negatif
Politikus PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko mengakui istilah politisi sontoloyo dan genderuwo yang diungkapkan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo termasuk dalam kampanye negatif. Dia mengatakan kampanye negatif diperbolehkan asal berdasarkan fakta.
"Iya, itu kampanye negatif dan kampanye negatif boleh. Kampanye negatif adalah sebuah kampanye menunjukkan kejelekkan lawan sejauh dan selama pakai fakta dan itu sah dalam politik," ujar Budiman Sudjatmiko di Hotel Le Meridien kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (14/11).
Anggota Komisi II DPR RI tersebut mengatakan yang dilarang adalah kampanye hitam atau black campaign.
"Black campaign adalah kampanye yang menjelekkan lawan dengan berdasarkan fitnah, itu enggak boleh dan kami enggak mau kami tidak mau menjelekkan lawan dengam menggunakan fitnah," katanya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menyebut, istilah politikus sontoloyo dan genderuwo yang diungkapkan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo masusk dalam kampanye negatif.
Hal itu, kata Jusuf kalla karena mengungkapkan kesalahan lawan politik.
"itu yang saling itu kampanye negatif namanya. You salah, kita ungkap kesalahan, karena itu jangan berbuat salah. salah bicara, salah tindak salah apa macam macam," kata Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden RI, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (13/11).
Baca: Pemimpin Harus Bisa Bangun Rasa Optimisme
Oposisi Belum Bisa Adu Gagasan
PDI Perjuangan merasa janggal polemik tentang politisi genderuwo terus digoreng kubu Koalisi Adil Makmur (KAM). Teranyar, polemik itu kembali dimunculkan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon melalui puisi berjudul “Ada Genderuwo di Istana”.
"Payah, bukannya stop ngomong remeh-temeh, malah keterusan," ujar Politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari, Senin (12/11).
Dia kemudian meluruskan maksud dari Presiden Joko Widodo mengumpat kata genderuwo. Menurutnya, Jokowi sebatas ingin mengajak semua pihak untuk berbicara gagasan dan program pada perhelatan Pilpres 2019, tanpa menakut-nakuti rakyat.
Namun demikian, sambung anggota Komisi XI DPR itu, kelompok oposisi masih belum bisa diajak adu ide dan gagasan. "Maksud Jokowi adalah diajak ngomong gagasan, tapi malah bicara makin nggak mutu," ujarnya.