Jakarta, Gesuri.id - Di sebuah pertemuan di Museum San Salvatore in Lauro, Roma, Italia, Megawati Sukarnoputri beberapa kali memeluk dan menepuk bahu Roman Oleksiv, seorang bocah penyintas perang Rusia dan Ukraina, yang bertahan dengan 45 persen tubuh yang mengalami luka bakar.
Oleksiv suka berdansa. Megawati tersenyum, dan menyebutkan kesukaan yang sama. “Be strong,” katanya kepada si bocah.
Pertemuan dengan Oleksiv dalam acara yang digagas Unbroken Kids Alliance, sebuah aliansi yang menaungi anak-anak korban perang Gaza dan Ukraina, di kawasan Salvatore, Roma, 2 Februari 2025, membuat Mega seperti tengah menapaktilasi apa yang dilakukan ayahandanya dulu: melakukan perjalanan muhibah untuk membangun dunia baru yang lebih baik.
Ini sebuah aliansi kemanusian. Bukan koalisi politik kekuasaan. Dan tidak ada yang lebih menjadi prioritas selain menyelamatkan anak-anak dari kekejaman perang hari ini. “Anak-anak korban perang adalah permata untuk masa depan peradaban yang lebih baik. Anak-anak kita akan melanjutkan misi kita membangun dunia yang lebih damai dan berkeadilan," katanya.
Baca: Ganjar Pranowo Mempertanyakan Klaim Sawit Sebagai Aset Nasional
Damai dan berkeadilan. Dua kata yang kemudian menjadi frasa ideologis perjuangan Bung Karno. “Tuan-tuan tidak berkumpul di dunia yang damai, dan bersatu dan bekerja bersama! Jurang-jurang besar dan curam menganga di antara bangsa-bangsa dan golongan-golongan bangsa,” kata Bung Karno dalam pembukaan KAA di Bandung, 18 April 1955.
Bung Karno menyadari dunia memang tak sempurna. Maka dia membangun persahabatan
yang menembus sekat-sekat kebangsaan untuk menegakkan peradaban yang dilandasi kemanusiaan. “Kita mempunyai tanggung jawab yang berat terhadap diri sendiri, terhadap dunia, dan terhadap angkatan (generasi baru) yang akan lahir,” kata Bung Karno.
Bung Karno mengingatkan bahwa, “Kita menghadapi situasi, di mana keselamatan umat manusia tidak selalu mendapat perhatian utama. Banyak orang yang berada di tempat kekuasaan yang tinggi malah lebih memikirkan tentang hal menguasai dunia.”
Baca: Ganjar Pranowo Merasa UU ITE Perlu Direvisi Kembali
Tujuh puluh tahun berlalu setelah Bung Karno berpidato di hadapan para pemimpin Asia-Afrika dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, 1955. Dunia belum sepenuhnya berubah, dan kini Megawati melanjutkan tanggung jawab sejarah dari ayahnya, untuk mengikuti apa yang disebut Bung Karno sebagai “kode moralitas tertinggi”.
“Dan mengenai politik, apakah kode moralitas yang tertinggi? Kode moralitas tertinggi ialah subordinasi, ketundukan segala sesuatu kepada keselamatan umat manusia,” kata Bung Karno, dalam pidato yang menyita perhatian dunia, yang menghasilkan tepuk tangan panjang dari delegasi Konferensi Asia Afrika.
Selama menjabat presiden, Megawati enam kali pergi ke luar negeri untuk mengunjungi 27 negara, dan turut membantu upaya reunifikasi Korea Selatan dan Korea Utara. Dia juga menjadi Ketua ASEAN pada 2003, yang memungkinkan Indonesia memprakarsai pembentukan lembaga ASEAN Security Community yang kemudian berubah menjadi jadi ASEAN Political Security Community, sebuah kerja sama negara-negara Asia Tenggara di sektor keamanan.
Semua ikhtiar Mega di masa kepresidenannya pada akhirnya mencoba mewujudkan politik luar negeri Bung Karno: menjaga dunia dari dampak pertarungan zero sum game kekuatan-kekuatan internasional. Sebuah upaya yang dilandasi tekad untuk mendapatkan kedamaian dan keadilan bagi negara-negara yang terpinggirkan, memberikan suara bagi yang bisu dan dibisukan oleh kekuasaan selama ini.