Surabaya, Gesuri.id - Peringatan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) jatuh setiap 8 Maret. Hari yang menjadi momentum bagi perempuan seluruh dunia untuk merayakan pencapaian, mulai dari aspek politik hingga sosial, dengan misi utama untuk menyuarakan kesetaraan gender.
Perayaan hari perempuan internasional sendiri bermula pada 1905, ketika 15.000 perempuan melakukan aksi masa di New York, Amerika Serikat untuk menyuarakan haknya terkait dengan peningkatan standar upah dan pemangkasan jam kerja. Tanggal 8 Maret kemudian diakui keberadaannya oleh Perserikatan Bangsa-bangsa pada 1975.
Pada tahun 2021 ini, ketika pandemi Covid-19 masih menghadirkan ketakutan dan kepanikan yang menguras emosi, tentunya akan berimbas pada peningkatan kerentanan dan marginalisasi terhadap perempuan. Terdapat enam sektor yang terdampak pandemi covid-19 yaitu penyedia akomodasi, makanan dan minuman, perdagangan, transportasi, konstruksi, jasa, dan industri pengolangan.
Empat sektor diantara enam sektor tersebut didominasi oleh perempuan dengan mayoritas berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan umumnya paling tinggi Sekolah Menengah Atas (SMA) diantaranya penyedia akomodasi, makanan, dan minuman sebesar 58,2%, jasa sebesar 53,6%, perdagangan sebesar 49%, dan industri pengolahan sebesar 43,1% (SMERU Research Institute, 2020).
Sementara pada tenaga kesehatan, berdasarkan pemaparan dari Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, memperlihatkan bahwa perempuan merupakan ujung tombak dalam percepatan penanganan Covid-19. Data total perawat Kesehatan Covid-19 di Indonesia, 71% adalah perempuan dan hanya 29% laki-laki, angka ini tidak jauh berbeda dengan tenaga Kesehatan global yang menurut WHO, 70% adalah perempuan dan 30% laki-laki.
Fenomena dominasi pekerja kesehatan perempuan tersebut, yang umumnya berada pada level bawah dengan pendapatan rentan secara tidak langsung menunjukkan jika perempuan memiliki keterbatasan dalam kesempatan kerja dan ekonomi. Ditambah lagi, pekerjaan itu memaksa mereka untuk berada di garis depan dalam penanganan Covid-19 tersebut.
Di samping itu, beban perempuan juga semakin bertambah karena pekerjaan domestik rumah tangga, pengasuhan anak, pendampingan proses pembelajaran jarak jauh bagi anak, perawatan orang tua, perawatan anggota keluarga dan lainnya dibebankan kepada perempuan.
Kondisi rentan pada perempuan tersebut menunjukkan adanya gender inequality dan berimplikasi terhadap Kesehatan fisik dan mental perempuan, pemberian edukasi pada anak dengan risiko kerentanan penyakit yang semakin tinggi, perlindungan diri saat berbelanja di pasar untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga, dan lain sebagainya.
Krisis pandemi Covid-19 juga telah menempatkan perempuan yang kondisi sebelum krisis sudah insecure dan kini semakin tertekan oleh beberapa faktor, misalnya supply bahan pangan, cekikan kebutuhan ekonomi, dan keadaan perekonomian rumah tangga yang semakin memburuk. Selanjutnya, kebijakan belajar jarak jauh melalui daring dari rumah bagi anak yang berimplikasi pada pelimpahan tugas guru kepada orang tua, khususnya kepada perempuan sebagai sosok ibu.
Hal ini tentu saja memberikan beban tersendiri bagi perempuan, terlebih jika sekolah tidak memberikan panduan yang jelas dan rinci terkait mekanisme proses belajar. Apalagi ketika kondisi perekonomian rumah tangga menjadi lebih buruk selama pandemi, sehingga akses dan penggunaan terhadap teknologi informasi atau internet sebagai media pembelajaran daring menjadi kian terbatas.
Membangun Jejaring Solidaritas Antar Perempuan
Kesadaran untuk bergerak bersama menghadapi krisis telah memunculkan aksi koletif untuk membangun jejaring solidaritas antar perempuan. Sense of community sebagai pemicu memiliki peran yang dominan pada kondisi krisis akibat pandemi yang nantinya akan berkontribusi terhadap penguatan ikatan sosial.
Misalnya saja dalam peningkatan kapasitas perempuan, jejaring sosial yang dibangun dengan mengadakan berbagai diskusi online atau webinar dengan berbagai tema yang dianggap mampu meminimalisasi risiko kerentanan perempuan akibat pandemi Covid-19.
Tema-tema yang bisa diambil dalam webiar tentunya berkaitan dengan bagaimana mengupayakan perempuan untuk bisa berdikari di tengah pandemi, misalnya mengelola bisnis di masa pandemi sebagai upaya pemberdayaan ekonomi bagi perempuan, mengelolaan mental melalui menulis untuk pengelolaan kesehatan bagi perempuan, pertolongan psikologis pertama pada orang terdekat sebagai upaya penguatan perempuan terhadap risiko kekerasan, dan lain sebagainya. Tema-tema ini sebagai upaya awal dalam membangkitkan kesadaran untuk menggerakkan perempuan dalam gerakan membangun solidaritas perempuan.
Ketika sebelumnya pandangan masyarakat khususnya masyarakat urban di dominasi oleh kapitalisme dan individualisme, adanya krisis dengan membangun solidaritas akan beralih ke voluterisme dan kolektivisme.
Proses perubahan yang diharapkan ini merupakan bagian dari proses pembelajaran bersama, dengan latar belakang yang berbeda, mereka berinteraksi satu sama lain dan mengesampingkan kepentingan pribadi yang berujung pada rasa saling membantu, dan bersolidaritas sebagai kekuatan baru menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19.
Solidaritas juga menjadi ruang bertahan dan bahkan menyelematkan diri dari kirisis ini. Ada ikatan kasat mata di antara anggotanya tanpa mengharapkan imbalan. Pada titik ini, kebersamaan yang muncul menumbuhkan perasaan senasib yang kemudian mereka merasa menjadi bagian dari sebuah masyarakat. Hal inilah yang kedepannya dapat menjadi strategi penguatan kapasitas perempuan dalam menghadapi krisis untuk menjadi perempuan berdikari.
Selain membangun solidaritas di antara perempuan, kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang dapat dikembangkan guna memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan bagi perempuan terdapat beberapa hal pokok.
Pertama, penyediaan layanan konseling bagi perempuan. Hal ini merupakan bagian dari upaya mendukung kesehatan mental perempuan dengan mengurangi tekanan-tekanan hidup yang dialaminya selama krisis Covid-19. Kedua, meningkatkan kapasitas dan kesempatan kerja bagi perempuan dengan memberdayakan pekerja perempuan dengan keterampilan rendah melalui pelatihan berkelanjutan.
Ketiga, memberikan perhatian khusus pada sektor informal seperti UMKM yang mampu menyerap tenaga kerja perempuan agar para perempuan menjadi berdikari dan mengurangi angka pengangguran akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Keempat, dengan fokus pada pembangunan berbasis responsif gender yang memungkinkan untuk membangun resiliensi dalam masyarakat di kala pandemi dengan memusatkan pada kesehatan dan kesejahteraan individu, khususnya bagi perempuan. Kelima, membangun kesadaran di masyarakat bahwa setiap orang dapat menolong sesama yang membutuhkan, khususnya berbagi kepada kelompok rentan dan perempuan.