Jakarta, Gesuri.id - RESTORAN Padang yang tersebar di seluruh penjuru dunia, bahkan sudah “go public” ke dunia, karena jumlahnya yang begitu banyak, mungkin dianggap biasa. Namun dari sudut pandang ideologis, terlebih atas pendekatan kritis dalam perspektif Pancasila, melalui Restoran Padang terkandung begitu banyak pelajaran berharga.
Pertama, nilai kesetaraan. Begitu masuk Restoran Padang, semua makanan disajikan. Penikmat kuliner tinggal duduk, dan dengan tangan terbuka memiliki hak yang sama untuk menikmati makanan yang terhidang di meja. Di sini nilai kesetaraan berbicara.
Baca: PDI Perjuangan Pastikan Tak Inginkan Presiden Tiga Periode
Kedua, keberdikarian. Restoran Padang hadir sebagai cermin semangat berdikari bangsa. Keseluruhan menu yang disajikan, murni khas nusantara. Dari pete, jengkol, aneka lauk, ikan, daging sapi, ayam, dan berbagai sayuran dengan bumbu khas nusantara. Dari pete, jengkol, aneka lauk, ikan, daging sapi, ayam, dan berbagai sayuran dengan bumbu khas nusantara. Kesemuanya berasal dari bumbu nusantara yang dikenal subur dan kaya. Bumbu-bumbuan dipadukan aneka rempah membentuk makanan bercita rasa luar biasa. Tingginya kandungan produk nusantara inilah menyebabkan mengapa Restoran Padang mendapat kehormatan sebagai simbolisasi keberdikarian nasional di bidang pangan.
Ketiga, nilai kebhinnekaan. Di seluruh pelosok nusantara, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga ke Rote, Restoran Padang berjejaring, membangun network dengan pesan kebhinnekaan. Mengapa? Ketika makan di Restoran Padang, bukankah tidak pernah terbersit pertanyaan tentang Restoran Padang dari suku apa, agamanya apa, sistem nilainya bagaimana. Tidak pernah. Di sini fakta berbicara.
Kesemuanya menyiratkan bagaimana dalam makanan yang beraneka cita rasa, kita tidak pernah membeda-bedakan. Yang ada adalah kesadaran bahwa itulah menu makanan nusantara. Di sinilah nilai kebhinnekaan itu membumi dalam praktik. Di Restoran Padang berdiri kokoh kesetaraan itu, terlepas dari berbagai persoalan politik. Sebab urusan makanan untuk perut, tidak pernah membatasi apa pilihan politiknya. Urusan cita rasa makanan semua disatukan dalam kecapan lidah nusantara.
Keempat, non diskriminasi. Dari bagaimana menu disajikan, hingga cara menyantap makanan, dan soal selera, tidak ada kata diskriminasi. Restoran Padang terbukti diterima tanpa pernah bertanya apa agama pemiliknya, juga apa pilihan politik pemiliknya. Semua diterima sebagi simbolisasi makanan Indonesia. Di Restoran Padang, sama dengan Bahasa Indonesia yang melalui Sumpah Pemuda dideklarasikan sebagai bahasa persatuan Indonesia. Saat itu tidak pernah ada yang bertanya asal-usul Bahasa Indonesia yang berasal dari rumpun bahasa Melayu.
Ketika Sumpah Pemuda berkumandang, tidak ada yang membandingkan bahwa orang Jawa atau orang Sunda, atau orang Batak, dari jumlah pengguna jauh lebih banyak dari pengguna Bahasa Melayu. Begitu mudah dan penuh kesadaran atas pentingnya persatuan yang mengikat perbedaan, Bahasa Indonesia diterima dan dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan. Lalu mengapa kini, ada sekelompok kepentingan yang membangun logika atas pendekatan mayoritas-minoritas.
Legitimasi sepertinya dinarasikan hanya diukur dari perspektif banyak sedikit klaim suara mayoritas. Kenapa gagasan tentang pentingnya hikmat kebijaksanaan, the quality of values, dan hidup rukun saling bergandengan tangan kemudian harus dibedakan atas dasar suku, agama, status sosial, dan antar golongan.
Belajar dari daya terima Restoran Padang di seluruh pelosok Indonesia, seharusnya bangsa Indonesia menangkap pentingnya esensi rasa, kualitas hidup dalam kebersamaan, bukannya kemudian malah membikin jurang pembeda. Dari daya terima Restoran Padang secara luas, bangsa Indonesia bisa belajar tentang kebersamaan, kesetaraan, tanpa memfanatikkan makanan atas dasar kedaerahan.
Lalu mengapa ketika Pangkostrad Letjen TNI Dudung yang mengingatkan agar dalam kehidupan beragama pun hendaknya hindari berbagai bentuk fanatisme yang berlebihan, tiba-tiba ada yang sepertinya kebakaran jenggot lalu memberikan tafsir yang berbeda tanpa pijakan semangat kebangsaan? Bukankah TNI doktrinnya jelas. Ekstrim kiri dan ekstrim kanan bertentangan dengan Pancasila.
Jadi ketika terkait dengan membangun Jiwa Persatuan, lalu Pangkostrad mengingatkan bahwa segala sesuatu yang berlebihan tidak baik bagi kepentingan bersama, itu masuk dalam bagian koridor tugas TNI yang selalu mengedepankan keselamatan bangsa di atas segalanya. Dalam konteks itu, apa yang disampaikan Jendral Dudung, sama saja dengan analogi makanan padang, ketika salah satu bumbu berlebihan, maka cita rasanya juga akan mengacaukan perpaduan.
Baca: Megawati Dengan Tegas Menolak Wacana Jokowi 3 Periode
Belajar nilai-nilai yang penting dalam kehidupan berbangsa, Restoran Padang membuktikan dirinya telah membumikan Pancasila. Di sinilah mengapa Bung Karno tidak mau disebut sebagai pencipta Pancasila. Sebab Bung Karno sadar, bahwa sebagai falsafah, nilai, tuntunan hidup, Pancasila telah menyatu dalam kalbunya bangsa.
Pancasila telah menjadi jiwa gotong royong yang nampak dalam pembumian sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan Kebangsaan, Musyawarah, dan Keadilan Sosial. Karena itulah yang dilakukan Bung Karno adalah menggali, menggali, dan menggali dari sejarah peradaban bangsa. Pancasila dengan demikian bukan hanya falsafah, dasar, namun juga pandangan hidup, di mana di dalamnya ada semangat, ada dialektika peradaban, sehingga pantas disebut sebagai puncak dari ideologi-ideologi dunia yang saat itu hanya dibedakan antara blok barat yang kapitalis- liberalis, dan blok timur yang komunis.
Pancasila berada dalam tingkatan peradaban di atas kedua ideologi tersebut yang prakteknya hanya menciptakan kolonialisme dan imperialisme, sementara Pancasila terus berjuang bagi persaudaraan dunia yang lebih damai dan berkeadilan. Jadi dengan wajah Pancasila yang membumi dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara, mengapa masih saja ada yang tidak menerima Pancasila dan terus melakukan gugatan terhadap kebenaran ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa yang begitu majemuk yang ada di negeri tercinta.
Kini semakin jelas bahwa Pancasila telah membentuk wajah NKRI. Tidak ada NKRI tanpa Pancasila. Karena itulah daripada memusingkan orang yang hanya sekedar berkata beda, lebih baik mari kunjungi Restoran Padang, sambil merasakan betapa Indonesia hadir sebagai bangsa yang dikaruniai kekayaan cita rasa kuliner yang begitu beragam. Kesemuanya memperkuat identitas nasional, tanpa penyeragaman. Betapa nikmat makanan nusantara. Gunakan alam pikir dan alam rasa, sambil mencecap keberagaman Indonesia. Merdeka!!!
(*) Artikel dimuat pada kolom Opini “Suara Kebangsaan” Pos Kota, 19 September 2021.