Jakarta, Gesuri.id - "Gubernur, bupati, wali kota pernah tidur disini juga, Mas." Arul, kader PDI Perjuangan dari Nusa Tenggara Barat bercerita dengan antusias. Saya melongo menyaksikan tiga baris kasur bertingkat tertata berjejer memenuhi ruangan yang dicat putih.
Koper dan tas berhambur di sela-sela ranjang. Ada pula pakaian-pakaian yang tergantung di rangka besi penopang kasur, kebanyakan adalah seragam berwarna merah atau hitam.
Di pintu depan, terpampang tulisan "Mess Pria". Pintu ini tepat berhadapan dengan kamar mandi, yang berisikan bilik-bilik shower dan wc. Persis seperti di asrama manapun.
Tepat di luar mess tersebut, ada lorong yang menghubungkan banyak ruangan : Mess, ruang kelas, aula utama, juga tangga untuk turun ke bawah. Lorong itu dipenuhi foto-foto, lukisan, dan hasil kliping dari berbagai macam peristiwa politik bersejarah di tanah air.
Baca: Seno Pastikan Putra Khofifah Ingin Belajar Dari Kader PDI Perjuangan
Agak di ujung lorong, ada mess perempuan, lengkap beserta kamar mandinya. Mess ini terpisah sekitar 15 langkah dari mess laki-laki.
Di bawah, ada perpustakaan berisikan buku-buku pemikiran Bung Karno dan para tokoh bangsa. Juga ada koperasi yang menjual pernak-pernik dan kantin yang diberi nama "kantin Mustika Rasa".
Di tiap sudut, terpasang pengeras suara yang rajin mengumumkan saat para peserta harus masuk kelas, senam pagi, mengerjakan tugas, istirahat, atau menyetel lagu-lagu nasional di waktu senggang. Suasananya khas.
Di hari saya tiba, "asrama" ini tampak sibuk menampung puluhan "siswa" dari seluruh Indonesia. Mereka berlatarbelakang pengusaha, anggota dewan, pengacara, aktivis, ibu rumah tangga, mahasiswa, seniman, dan beragam profesi lainnya.
"Asrama" ini bukan sembarang asrama. Dengan segala corak nuansa dan kepadatan materi ajar yang diberikan di dalamnya, tempat ini adalah sebuah sekolah. Sekolah bagi kader-kader PDI Perjuangan.
Transformasi Menjadi Partai Pelopor
PDI Perjuangan bukan partai kemarin sore. Melalui proses sejarah yang berliku terjal selama 50 tahun, partai berlambang banteng moncong putih ini telah melalui berbagai ujian dan jebakan politik.
Ditempa dari masa penuh represi dan pembatasan Orde Baru, partai ini menarik satu garis kesinambungan sejarah dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), hasil kawin paksa kekuatan nasionalis ciptaan Orde Baru.
Kala itu, PDI belum berkesadaran penuh. Intervensi rezim membuatnya terus dilanda perpecahan, terseok-seok mencari identitas sejati.
Baru pada pergulatan masa akhir Orde Baru yang kian menuntut keterbukaan dan demokrasi, partai ini menemukan kembali identitasnya melalui kehadiran simbol politik yang begitu monumental bernama Megawati Soekarnoputri.
PDI Perjuangan lahir menjadi partai Nasionalis-Soekarnois. Dipercaya rakyat memenangkan Pemilu 1999.
Namun sejarah bergerak maju. Mempertahankan selalu lebih sulit daripada merebut.
Era disrupsi teknologi datang dengan Millenial dan Gen Z sebagai penghuninya. Generasi baru ini terbiasa dengan media sosial, jaringan internet, akses informasi tak terbatas, algoritma, dan kecerdasan buatan.
PDI Perjuangan ditantang untuk mencari format politik yang relevan. Bertahan semata-mata pada watak keras "partai wong cilik" bukanlah pilihan.
Dalam situasi itu, PDI Perjuangan dituntut menjawab spirit jaman tanpa kehilangan karakternya. Maka menempuh jalan ideologis tentu mengandung konsekuensinya : PDI Perjuangan harus menjadi partai pelopor.
Baca: Seno Ajak Generasi Muda Kota Surabaya Berani Bermimpi
Komitmen Mendidik Kader
PDI Perjuangan memilih secara serius mengkader para anggotanya. Ada kesadaran kolektif bahwa pemimpin masa depan tidak hanya dilahirkan, tetapi harus dipersiapkan.
Melalui kursus-kursus dan pendampingan secara intensif, PDI Perjuangan mendidik para kadernya untuk mampu menghayati ajaran Bung Karno dan rasa cinta tanah air dalam laku hidup sehari-hari.
Dengan demikian, setiap kader akan siap ditugaskan dalam berbagai peran, sebagai pengambil kebijakan atau mengkritik kebijakan. Tidak gagap dan tergopoh-gopoh dalam mengelola kekuasaan, menghadapi jaman.
Ketua Umum Ibu Megawati Soekarnoputri berulang kali berpesan agar para kader terus melakukan bonding. Menyatukan rasa dan pikiran antar para kader. Untuk tanah air, untuk bangsa dan negara.
Semua itu dilembagakan dalam bentuk Sekolah Partai. Berbentuk asrama dan mess yang didesain sedemikian rupa agar para kader menghayati perjuangan panjang melahirkan PDI Perjuangan dari rahim penderitaan rakyat.
Dari sekolah ini, PDI Perjuangan menggembleng calon-calon pemimpin. Menolak lahirnya pemimpin yang instan dengan menyediakan kawah candradimuka kepemimpinan melalui berbagai kelas-kelas, praktek-praktek, serta olah batin dan olahraga.
Semua itu dipersiapkan sebelum para kader diminta untuk terjun langsung turun ke bawah. Mendengarkan kebutuhan rakyat dan memperjuangkannya sepenuh tenaga dengan bekal pengetahuan yang lengkap.
Dari situ PDI Perjuangan melahirkan para pemimpin. Mengajukan nama-nama terbaik bagi rakyat untuk memilih penyambung lidahnya.
Komitmen untuk menghargai proses ini adalah keteladanan yang langka di era serba instan.
Bukan sebuah keterkejutan apabila Sekolah Partai yang digagas oleh PDI Perjuangan mampu menjadi pelopor dalam menjaga Indonesia tetap dalam kepemimpinan yang berkualitas.