Jakarta, Gesuri.id - Pancasila bukan ideologi, dan tidak ada negara manapun yang ideologis kecuali Korea Utara sebagai negara fasis, dan Pancasila itu adalah kesepakatan bersama yang menuntun bangsa Indonesia. Itulah kurang lebih dari kutipan potongan pernyataan seorang Rocky Gerung, pada salah satu acara talk show di stasiun TV nasional. Menanggapi statement tersebut memang semua pihak harus bisa terbuka dalam semangat diskursus yang lebih bijak, dan pastinya wajib kritis juga atas "tendensi" dari konotasi ungkapan Rocky Gerung tersebut - dengan menekankan perspektif argumentasi yang objektif, analitik, dan konstruktif sebagai tuntutan syarat rasionalitas yang valid tentunya.
Pernyataan Rocky ini, di satu sisi bisa dianggap menarik atau mungkin saja sangat menggelitik bagi beberapa pihak. Setidaknya pertama, yang harus dicermati adalah istilah atau diksi ideologi sebagai sebuah pemaknaan dalam perjalanan pada konteks historis dialektika epistemologi, tentang dinamika pergeseran artikulasinya akibat konsekuensi logis dari kritik filosofis dan sosiologisnya. Kedua, tentang bagaimana penetapan proposisi atas istilah atau diksi ideologi pada kaidah logika resminya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) itu sendiri, yang kemudian telah menjadi familiar secara umum digunakan berdampingan di depan kata Pancasila.
Sebelumnya poin yang ingin penulis tekankan dalam menanggapi ungkapan bung Rocky adalah, "bukan hanya" Presiden RI, Joko Widodo, dan yang pertama kali menggunakan diksi "Ideologi" Pancasila. Sebagai istilah dalam ungkapan atau tradisi penulisan diksi tersebut sudah menjadi lumrah digunakan di kalangan masyarakat, hingga para sosiolog dan akademisi pemerhati pengkaji Pancasila, sebagaimana landasan konsep penjabaran atas pedoman prinsip dan asas konstitusi negara berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Sejatinya sebagai sebuah wacana pemikiran, istilah 'Ideology atau Ideologues' mengemuka pertama kalinya pada tahun 1796, dari karya filsuf Perancis bernama Antoine Destutt de Tracy, seorang aristokrat atau bangsawan terdidik. Semangat pemikirannya berangkat dari sebuah penolakan kerasnya akan segala bentuk teror dan kekerasan yang masif bergolak di negaranya masa itu pada era revolusi Perancis.
Diksi ideologi dalam sejarah perjalanan narasi pemikiran
Konsepsi pendalaman pemikiran Antoine Destutt de Tracy menjelaskan bahwa, pentingnya membangun peradaban intelektual atau budaya ilmu pengetahuan dengan membumikan filsafat dan pendidikan dalam mengatasi berbagai gejolak teror kekerasan, sebagai bentuk upaya dalam melakukan gerakan pencerahan pada masa-masa sulit revolusi di Perancis saat itu. Keseriusannya disamping mendirikan lembaga studi yang konsen pada bidang garap filsafat sosial, juga aktif menulis hingga melahirkan karya magnum opusnya seputar tema ideologi dalam empat jilid bukunya, yang berjudul 'Elemens d'Ideologie', berbahasa Perancis yang diterbitkan antara tahun 1803 hingga 1815.
Perkembangan gagasan Antoine Destutt de Tracy, kemudian dikritik oleh Napoleon Bonaparte setelah kepulangannya dari Mesir tahun 1799. Sebenarnya kalau diamati dengan teliti, hanya berangkat dari 'tendensi target politik' Napoleon saja, untuk menjaga ambisi kekuasaannya semata dan kemudian mendiskreditkan pretensi narasi ideologi yang dibangun oleh de Tracy dan rekan-rekanya. Itulah babak pertama kalinya dalam sejarah perjalananan terjadinya dinamika kritik atas istilah ideologi, dan hingga sekarang tema tersebut masih terus menjadi kajian yang relevan sebagai tuntutan dalam perkembangan berbagai analisis dalam wacana ilmu pengetahuan (Lihat, Jhon B. Thompson, The Ideology and Modern Culture Critical Social Theory in the Era of Mass Communication, Stanford University Press, California, 1990).
Dalam fase perjalanan sejarah peradaban intekektual selanjutnya, narasi ideologi dalam pendekatan teoritis dan metodologinya di masa periode karya Karl Marx menjadi berbeda. Muatan pada konsepnya atas 'kritik ideologi', menjadi salah satu posisi sentral pemikirannya, sebagai 'narasi penentu' pada perkembangan arah diskursus teori sosiologi di kemudian hari. Walaupun akhirnya landasan teoritisnya pada dialektika materialisme memicu ketegangan debatebel, hingga tejadinya kritik yang krusial juga terhadap pemikiran Marx itu sendiri.
Dari tinjauan garis besar perspektif historis itulah, sebagai pertanda starting point yang menjadi konsekuensi logis ketika menatap perkembangan setiap pergeseran muatan ideologi sebagai sebuah konsep. Tentang bagaimana diskursus atas diksi atau istilah ideologi dalam perkembangan narasi pemikiran, yang masih saja terus dikritisi, dielaborasi, dan diperkaya oleh para sosiolog dan filsuf hingga saat ini.
Terutama secara khusus pada pendalaman teoritis karya-karya para pemikir besar Jerman, yang dikenal sebagai pendiri serta penerus Mazhab Frankfurt (Frankfurt School), di mana konsen kajian dan penelitian utama mereka terframing sebagai teori sosial kritis. Lahirnya karya teori kritis dari para tokoh pemikir besar Jerman tersebut, dilatarbelakangi atas kegelisahan dan keprihatinan dalam menatap fenomena munculnya politik kekuasaan Fasisme dan Totalitarianisme di Eropa. Dan di saat yang sama, berkembang pesatnya arus pemikiran scientism (postivisme) yang disambut sangat meriah, dalam kebudayaan intelektual Eropa yang dimulai sejak pertengahan abad ke 19.
Sebagai tambahan catatan bahwa, periode abad ke-19 diyakini sebagai abad ideologi, karena kompleksitas perkembangan budaya intelektual mengalami puncaknya, yang berimplikasi meluasnya kajian teoritis atau gagasan besar pada bidang garap sosiologi, ekonomi, hukum, sains dan filsafat dari berbagai karya yang dipublikasikan oleh para pemikir saat itu yang hampir bersamaan (Lihat, Henry D. Aiken, The Age of Ideology, Terjemahan, "Abad Ideologi", Penerbit RELIEF Jogjakarta, 2020).
Catatan pentingnya adalah pada fase perjalanan perkembangannya kemudian, terjadi debatebel yang sangat alot antara dua arus besar aliran pemikiran, yakni teori sosial kritis versus teori sosial postivisme. Dinamika diskursus tersebut adalah yang paling mutakhir dan juga sangat rekevan hingga saat ini. Tentang kajian filosofis atas kritik pengetahuan yang terintegrasi pada interpretasi kritik ideologi. Gagasan teoritis yang dikembangkan secara mendalam oleh para tokoh pendiri dan penerus teori sosial kritis, dalam merespon dominasi arus gerakan pemikiran scientism-postivisme, setidaknya telah menjadi tema penting untuk dikaji dalam menjawab berbagai problem pada konteks modernitas keindonesiaan kita.
Melengkapi uraian tersebut, penulis secara singkat mengutip garis besar teori salah satu filsuf besar abad ini, penerus Mazhab Frankfurt Jurgen Habermas, atas subjek kajiannya tentang "kritik ideologi". Bagi Habermas, yang merupakan permasalahan serius bagi perjalanan sejarah manusia terhadap arah tujuan peradaban kemanusiaannya, adalah ketika peran fungsi nalar terabaikan pada dimensi fundamentalnya akan tuntutan tujuan makna pembebasan pada realita praxisnya, ketika fungsi nalar (rasio) terditorsi yang diakibatkan arus dominasi metodologis ilmu pengetahuan empirisme-scientism (postivisme).
Sehingga tuntutan sisi lainnya adalah bagaimana membangun fungsi rasio dalam keniscayaan refleksi filosofisnya untuk merealisasikan kebenaran, keadilan, kebaikan, kebebasan, serta makna kebahagiaan, ketika terpenjara atau terabaikan oleh implikasi "bentuk berhala" kesadaran rasio instrumental. Yakni, ketika terjadinya dominasi rasionalitas scientism (positivisme) sebagai satu-satunya cara untuk menafsirkan dan menyimpulkan realitas, yang menurut Habermas itulah bentuk penjelmaan "ideologis". Pada salah satu poin inilah, kritik ideologi yang dikembangkan dalam karya teoritisnya sebagai kritik dan koreksi atas cara pandang masyarakat moderen akibat "kesadaran delusi", atau dengan kata lain ketika rasionalitas instrumental menjadi ideologi (Lihat, Kritik Ideologi, Prof. Dr. F. Budi Hardiman, Pustaka Filsafat, Kanisius Jogjakarta 2009).
Kritik atas dominasi postivisme dalam konteks tersebut bukan berarti Habermas anti terhadap perkembangan sains atau gagasan postivisme di segala aspeknya, akan tetapi argumentasi kritiknya disematkan atas dominasi pemutlakan paradigma sains-teknologis atau positivisme. Sebagai pelengkap uraian, mengutip potongan perspektif Habermas dalam salah satu karyanya,
"Bahwa kegagalan bukan disebabkan rasionalisasi tidak bisa menjalankan fungsi-fungsinya dalam menjaga keterkaitan erat antara rasio kognitif-instrumental dengan rasio kognitif-moral praktis atas konsensus nilai-nilai luhur pada realita kehidupan sosial, tapi kegagalan akan terus terjadi karena rasionalisasi tidak bisa mengembangkan dan melembagakan seluruh dimensi rasio yang berbeda-beda dengan cara yang lebih apik. Kenyataan ini diperparah lagi akibat ketidakhadiran institusi-institusi pelindung ruang privat dan ruang publik, dari segala bentuk penindasan kolonialisasi sistem administratif ekonomi-politik. Yang telah membuat segala kemungkinan tujuan realisasi interaksi rasionalitas-komunikatif yang diharapkan akan terbangun lebih terstruktur, justru makin disingkirkan akibat dominasi "ideologisasi saintis dan teknologi", yang terjadi pada struktur masyarakat di bawah pengaruh arus kapitalisme lanjutan dan juga yang telah terjadi pada sistem masyarakat penganut Marxisme ortodoks. (Theorie des Kommunikativen Handels, Band I, Suhrkamp Verlag, 1981. Teori Tindakan Komunikatif Jilid I, Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, Kreasi Wacana, Bantul 2012).
Sebagaimana perspektif Habermas tersebut, relevansi pendekatan analisis atas diksi ideologi sebenarnya satu sisinya sangat berkaitan dengan persoalan yang urgen hingga sekarang, ketika kita menatap problematika atas pengaruh moderenitas di negara kita. Sebagai narasi kritik atas relasi peran ilmu pengetahuan dan ideologi terhadap fakta arus 'dominasi moderintas' di masyarakat, di mana hal ini sangat dimungkinkan terintegrasi pada pemetaan kajian realita sosial politik kita, berkaitan dengan berbagai problem pada setiap aspeknya. Kepentingan kajian atas implikasi arus moderintas dapat dipastikan berelasi dengan berbagai tuntutannya yang prinsipil, menyangkut setiap upaya akan tujuan "pencerahan pemikiran" atas pembumian cita-cita luhur sila Pancasila yakni, pada muatan prinsip Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan kepemimpinan, dan keadilan.
Kesimpulan
Istilah atau diksi ideologi faktanya memang menjadi sangat penting untuk dimaknai secara luas dan komprehensif, walaupun pastinya dimensi holistik (transenden) Pancasila sebagai pedoman atas asas nilai-nilai luhurnya sudah menjadi final. Akan tetapi niscaya tetap saja sangat dibutuhkan interpretasi lebih lanjut dalam rangka menjawab kompleksitas dan makin besarnya tantangan persoalan bangsa dan negara kita hari ini dan ke depannya dalam eskalasi pergaulan global. Sebagaimana yang sering ditekankan oleh Bung Karno, pentingnya tafsir progresif atas nilai-nilai luhur Pancasila, agar tidak terjadi distorsi yang justru mengeser tujuan pada esensi makna sebenarnya.
Yang harus dipahami bersama bahwa, narasi atau istilah ideologi itu memang terdapat dua pengertian dalam kenyataan interpretasinya dalam pendalaman konteks wacana filsafat dan sosiologi. Satu sisi artikulasinya untuk menopang tujuan aktualisasi atas makna "nilai idealisme" dalam konteks pengertian positifnya, serta di saat yang sama ketika "kritik harus dilakukan atas terjadinya arus dominasi bermuatan negatif", berdasarkan pertimbangan fakta perjalanan sejarah perkembangan dinamika debatel dalam analisis epistemologi.
Walaupun telah dipastikan berdasarkan konsensus bersama bahwa, sudah sangat jelas bagaimana kata ideologi pada pengertian positifnya telah dipergunakan, yakni pada tataran normatifnya dalam pemahaman umum di negara kita, ketika kata ideologi telah disematkan di depan kata Pancasila. Singkatnya dalam hal ini yang telah disepakati bersama bahwa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ideologi merupakan kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.